Share

Kemunculan mbak Rini membawa misteri

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. 

"Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. 

"Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku.

"Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. 

"Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. 

"Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. 

"Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas.

"Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku.

"Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa hasilin duit gak seberapa aja, udah serasa paling teraniaya!" Ucapnya sengit. 

"Mas, aku ini istrimu. Wanita yang mestinya kau bahagiakan. Kamu itu bukannya gak mampu, tapi memang gak ada niat buat bahagiakan anak istri ...

"Buktinya kamu jor-joran bela-belain ini itu buat keluargamu. Sedangkan aku dan anakmu, kau siksa setiap hari!" Aku sudah tak bisa lagi menahan emosi dalam dada. 

"Udahlah Ratna, aku ngantuk!" Mas Ilham menarik selimut lalu menutupi tubuhnya. Aku berjengat, lantas pergi keluar kamar. Lebih baik aku tidur di luar atau bersama Zizah. 

**

Aku menyiapkan sarapan untuk Zizah. Segera kubawa ke kamar dan memintanya menghabiskan sarapan di dalam saja. Zizah bertanya kenapa mesti dikamar, namun tak kuhiraukan. Setelah sarapan, segera kuajak dia berangkat sekolah. Sekalian aku ke rumah Bu Nina. 

Kami turun tangga, kulihat mas Ilham sudah ada di bawah.

"Mana sarapan?" Tanyanya. Aku bergeming. Kuseret tangan Zizah pelan untuk segera pergi. 

"Istri durhaka!" Serunya. Wajahku merah padam. Ingin rasanya kulawan namun tak ingin Zizah sedih melihat pertengkaran kami. Jadi kuabaikan dan terus berjalan keluar rumah. 

""Zizah berangkat hati-hati ya nak." Pesanku. Zizah mengangguk. Gadis kecilku mencium tangan ini kemudian berangkat dengan sepedanya. Kutatap punggungnya hingga menjauh, lalu bergabung dengan teman-teman lainnya. 

"Asalamualaikum." 

"Waalaikumsalam. Eh kamu, Rat." Bu Nina sedang membereskan dagangannya. Aku segera duduk dibangku panjang menunggu wanita itu menyelesaikan pekerjaannya. 

Beberapa saat kemudian, 

"Kenapa, pagi-pagi sudah cemberut gitu?" Tanya Bu Nina. Aku mengembuskan napas berat. 

Kemudian kuceritakan masalahku. Tentang uang pesangon yang diambil mas Ilham demi membayar uang urunan keluarganya. Bu Nina nampak menggeleng-geleng. 

"Keterlaluan betul suamimu, Rat. Jadi maumu apa sekarang?" Tanya Bu Nina. 

"Ratna juga bingung, bu. Jika Ratna bilang soal uang pemberian bapak, Ratna takut mas Ilham akan semakin semena-mena. Tapi jika tidak, mau sampai kapan kami hidup seperti ini?" Keluhku. Bu Nina meraih tanganku dan mengusap pelan.

"Yang sabar. Menurut ibu, jangan sampai Ilham tau sedikitpun. Seperti rencana semula, puaskan dan kenyangkan perut kalian saat Ilham keluar rumah." Aku mengangguk mendengar ucapannya. Bu Nina benar, aku harus kuat. Jika mas Ilham masih belum bisa merubah sifatnya, maka aku akan tetap berpura-pura tak punya uang sepeserpun. 

**

[Ham, jam berapa kalian datang?] 

Sebuah pesan kuterima. Sudah kuduga, pasti dari salah satu keluarga mas Ilham. Aku bergeming, hanya menyimak dan menunggu jawaban pria yang sejak aku kembali dari Bu Nina, sudah tak ada dirumah. 

Tring

[Sore, mbak. Aku masih sibuk dikantor.] 

Aku mengangkat sebelah bibir ini.

Kantor gundulmu!

[Oke. Kita tunggu. Jangan lupa bawain kue-kue yang kubilang kemarin ya.] 

Kue kue? Kue apa? Masa uang empat juta lima ratus masih juga harus bawa kue-kue?

[Tenang aja. Semua sudah kupesankan. Tinggal ambil sekalian nanti jalan.] 

Balasan mas Ilham. Darahku kembali mendidih. 

Segera kubuka chat dengannya. 

[Kue apa? Duit dari mana lagi, mas?!] Terkirim. 

Tak butuh waktu lama, mas Ilham terlihat sedang mengetik. 

[Gak usah rese!] Balasnya. 

Astagfirullah, ini orang semakin hari semakin bebal saja. Kuhela napas dalam-dalam, lalu kuembuskan pelan.

Tenang Ratna, biarkan suamimu mencari seribu cara dan alasan untuk membahagiakan keluarganya. Sampai nanti lelaki itu kena batunya. 

[Semua kebutuhan dapur sudah habis. Kirim aku uang sekarang juga.] Kuketik pesan untuknya. 

[Gak usah masak. Aku makan di luar. Buat Zizah, kamu kan kerja jadi buruh cuci. Masa iya nggak cukup.] 

Balasan mas Ilham membuat dadaku semakin bergemuruh. Kuelus dada berulang kali. Kuletakkan ponsel segera begitu terdengar suara salam dari luar. 

"Assalamualaikum!" 

"Waalaikumsalam." Aku mengernyit. Seorang wanita sebayaku berdiri di depan pagar. Segera kutemuinya. 

"Mbak Ratna kan ya?" Sapanya. Aku mengangguk. 

"Saya Rini. Tetangga baru. Kebetulan suami saya satu kantor dengan mas Ilham. Namun mas Ilham belum tau kalau kita ternyata satu kompleks. Kemarin sempat mau ngontrak di kompleks dekat kantor, tapi disini lebih murah. Yowes akhirnya pilih pindah kesini." Ucapnya sambil senyum. 

Deg

Maksudnya satu kantor? Apa teman mas Ilham di kantor lama? 

"Oh gitu. Mari silahkan masuk, mbak." Aku segera membuka pintu pagar. Dan mengajaknya masuk. 

"Ini sedikit kue, mbak." Mbak Rini meletakkan bungkusan di atas meja. 

"Repot-repot. Makasih banyak mbak." Ucapku. 

"Cuma sedikit. Nggak sebanding dengan kebaikan mas Ilham pada keluarga kami." 

Deg

Jantungku terasa berhenti berdetak kedua kalinya. 

"Mas Ilham itu orang baik. Walaupun orang baru di kantor, kemarin waktu orangtua mas Damar sedang sakit dan butuh biaya, mas Ilham menawari kami pinjaman." Ucapan mbak Rini semakin membuatku bingung.

"Jadi, kami merasa kehutangan budi. Makasih banyak loh mbak. Eh ya ngomong-ngomong, nanti mbak ikut juga kan acara jalan-jalan perusahaan?" Lagi, aku semakin bingung dibuatnya. Apa mungkin sebetulnya mas Ilham memang sudah bekerja lagi? 

"Oh eh belum tau, mbak. Mas Ilham belum cerita soal jalan-jalan. Memang kapan toh?" Tanyaku. 

"Waah masa belum dikabari. Bulan depan. Ke Puncak, mbak." Sahutnya. Aku mengangguk.

"Mungkin mas Ilham lupa belum kasih tau." Sahutku. 

"Iya sih. Mas Ilham kan tangan kanannya direktur perusahaan. Jadi mungkin terlalu sibuk sampai lupa memberitahu mbak Ratna." 

"Kalau gitu saya permisi, mbak. Assalamualaikum." Pamitnya. Aku mengangguk.

"Iya mbak. Makasih lho. Waalaikumsalam." Sahutku. Lalu kuantar mbak Rini hingga pagar. 

Seperginya wanita itu, pikiranku kembali berputar. Mas Ilham, apa yang sebetulnya dia sembunyikan dariku? Sejak kapan dia kembali bekerja? 

Jadi ternyata begini kamu sekarang di belakangku, mas? Baik. Kamu jual aku beli! 

Toh sekarang aku serba kecukupan di luar pengetahuan mu. Aku akan mencari tahu apa yang sebetulnya kamu lakukan padaku di luar sana. 

Aku mengembuskan napas panjang. Sama sekali tak menyangka mas Ilham tega membohongiku soal pekerjaannya. Lalu jika bukan untuk kami, untuk siapa dia memperjuangkan semuanya? 

Kenapa dia mesti membohongiku bahwa dirinya sekarang sudah kembali bekerja? 

Apa selama ini aku selalu menuntut sesuatu yang berlebihan? Kurasa tidak. Pantas saja dia selalu mencemooh pekerjaanku. Padahal selama ini aku bekerja sebagai buruh cuci, yang semata demi menutupi kebutuhan keluarga. Hasil keringatku dimakan oleh kami bersama. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status