Share

Rencana kedatangan ibu mertua

"Mama kok bengong? Papa marahin mama lagi, ya?" Azizah, gadis manis hasil dari pernikahanku dengan mas Ilham, tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. 

"Nggak kok, sayang. Mama cuma sedikit ngantuk." Jawabku sambil mengusap pipinya yang sedikit chubby. 

Azizah memang baru berusia sembilan tahun. Namun terkadang masih manja dan sering gelendotan. 

"Ya udah mama tidur. Zizah mau ngerjain PR di ruang tamu. Jadi, kalo papa pulang nggak usah teriak-teriak manggil mama." Ucapan putriku sungguh membuat nyeri dada ini. 

"Nggak ah. Mama mau tidur di sofa aja. Sambil nemenin Zizah ngerjain tugas sekolah. Yuk." Ajakku seraya berdiri. Azizah mengangguk, dan kami melangkah menuju ruang tamu yang cukup besar dengan sofa terbaik. 

Bapak mertuaku dulu memang memberi rumah ini berikut isinya. Lengkap, semuanya ada. Dari tempat tidur, kulkas, bahkan mesin cuci dan televisi besar pun kami miliki. Namun sayang, sudah hampir satu tahun kami terpaksa harus hidup sederhana. Tepatnya ketika mas Ilham dipecat dari tempat kerjanya.

Kami hanya menonton televisi saat Azizah benar-benar bosan. Bahkan mencuci baju pun aku tak berani menggunakan mesin cuci. Pemborosan listrik.

Kulkas?

Kulkas terpaksa tetap menyala karena jika dimatikan takut justru malah rusak. Walau isinya cuma ada air minum berbotol-botol. 

Aku bukan tak mau berusaha dan memanfaatkan yang ada. Misal, saat satu bulan lalu kuutarakan niat untuk berjualan minuman serbuk di teras rumah, mas Ilham mengamuk dan tak memberi aku izin. Ia khawatir ibunya datang lalu melihat keadaan kami yang kesusahan. 

"Kamu mau bikin aku malu, hah?!" Teriaknya kala itu. 

Aneh memang, aku tak mengerti kenapa mas Ilham menutupi keadaan kami kepada keluarganya. Bahkan di WAG keluarga, ia masih berpura-pura punya banyak uang dan jabatan. 

Pernah juga ku utarakan soal itu. Namun lagi-lagi saranku hanya dibalas dengan halauan tangan. 

Padahal niatku bukan ingin dikasihani, tapi setidaknya mereka, keluarganya tahu bahwa keadaan kami benar-benar susah. Dan tidak melulu mengajak kami arisan dengan jumlah uang yang tidak sedikit. Setidaknya tak sedikit untuk ukuran kami yang untuk makan esok hari saja masih belum tahu harus bagaimana.

Mungkin sebetulnya keputusan mas Ilham ada bagusnya, ia tidak ingin aib rumah tangganya menjadi beban pikiran ibunya yang sudah sepuh. Itupun jika dia bisa bersikap manis padaku, atau setidaknya tidak kasar padaku. Sudahlah hidup susah, disakiti pula. 

*

"Nih, belanja ke pasar!" Mas Ilham melemparkan uang dua lembar seratus ribuan ke dalam pangkuanku. 

"Hari ini sudah mulai narik, mas?" Tanyaku. 

"Nggak usah banyak tanya! Beli daging dan masak rendang. Jangan lupa sambal goreng kentang sama emping. Beli buah juga buat cuci mulut!" Sahutnya. Aku mengernyit. Sepertinya aku tahu ada apa. 

"Mas, ibu mau kesini?" Tanyaku cemas. 

"Iya. Besok pagi-pagi ibu mau menginap tiga hari. Itu duit nggak mau tahu harus cukup buat suguhan makan ibu selama disini!" Dadaku langsung sesak mendengarnya. 

Uang dua ratus ribu harus cukup untuk menu makan kesukaan ibu? Selama tiga hari? 

Sehari tiga kali makan, berarti sembilan kali makan? 

Maasya Allah, 

Aku mengurut kening yang tiba-tiba terasa nyeri. Mas Ilham menatapku. 

"Kenapa? Jangan bilang kurang!" 

"Tapi mas, mau dibolak balik juga ini uang nggak bakalan cukup buat tiga hari masak menu kesukaan ibu!" Sahutku. 

"Kamu hitung-hitungan sama orang tuaku?!" 

Lagi lagi salah. Sudahlah, aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatan ketika terdengar salam dari luar. Azizah pulang sekolah. Aku tak ingin ia mendengar kami selalu ribut.

**

Aku menatap jam di dinding. Pukul satu siang. Kalau ke pasar jam segini, biasanya pedagang daging sudah habis. Paling-paling mereka mulai buka lagi sebelum magrib hingga tengah malam.

Aku menghitung semua yang harus kubeli. Tetap saja uang pemberian mas Ilham tidak akan cukup meski sudah kucatat semua bahan yang akan kubeli dengan nominal paling minim. 

"Lho Rat, kok kamu belum berangkat?" Mas Ilham menguap. Tubuhnya tak memakai baju, mungkin kepanasan sehabis tidur siang karena cuaca di luar amat mentereng. 

"Mas, ini aku bingung. Uang yang mas...

"Cukup! Aku nggak mau tahu, pokoknya itu duit mesti cukup buat bekal makan ibu selama disini!" Bantahnya. Aku berdiri dan menghampirinya.

"Baik. Aku akan cukup-cukupkan uang dari kamu, mas. Tapi biar aku yang atur apa saja yang sekiranya cukup buat bekal ibu." Aku menyilang tangan di dada.

"Atau kamu sendiri yang ke pasar buat belanja semuanya. Ini catatannya." Lanjutku. Lalu kuletakkan secarik kertas berisi catatan yang harus dibeli beserta uang pemberian darinya.

"Ya nggak bisa gitu juga dong, Rat! Mana bisa aku ke pasar. Ngarang aja!" Sahutnya. 

"Ya sudah, makanya terserah aku harus bagaimana. Toh ibu juga aku yakin, nggak bakal protes kok aku suguhin apapun!" Ketusku. 

Mas Ilham sepertinya tak suka dengan jawabanku. Namun aku tahu dia tak punya pilihan lain lagi. 

"Harusnya itu mikir, mikir, mikir! Kemana kek cari tambahan. Istri nggak ada guna!" Gerutunya seraya meninggalkanku. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap punggung suamiku.

Sejenak kuedarkan pandangan. Lalu mataku tertuju pada televisi besar yang entah kapan terakhir dinyalakan. Andai saja mas Ilham menurunkan sedikit egonya, kenapa sih nggak jual aja sebagian barang-barang yang ada di rumah ini. Ketimbang pusing nyari uang yang belum jelas. 

Toh Zizah juga nggak terlalu suka nonton tv. Dia lebih senang bermain dengan anak-anak tetangga di luar rumah. 

Kuembuskan napas berat, lalu segera keluar rumah untuk mengangkat jemuran. Sambil menunggu waktu jelang sore.

"Mbak Ratna!" Aku menoleh. Mbak Pipin, tetangga depan rumahku sudah berdiri di depan pagar.

"Ya mbak, ada apa?" Jawabku. Sambil mendekap cucian, aku berjalan menghampirinya. 

"Mau ikut paket lebaran, nggak?" Tanyanya. Mbak Pipin memang dikenal sebagai tukang kredit merangkap pemegang arisan, paket lebaran dan lain-lain. 

"Wah, nggak dulu deh mbak. Sudah ikut arisan keluarga mas Ilham." Tolakku sambil senyum.

"Elaah arisan sama paket lebaran mah ya beda dong! Ayo ikut aja yuk, lumayan hitung-hitung nabung." Ujarnya sedikit memaksa. Kupaksakan untuk kembali tersenyum.

"Maaf nggak dulu mbak. Lain kali ya." Mbak Pipin berdehem dengan bibir sedikit manyun. 

"Ya udah." Jawabnya singkat lantas pergi begitu saja. Sekali lagi kugeleng-gelengkan kepala.

*

"Wah, mama masak enak?!" Zizah menjulurkan kepala di ambang pintu sambil menghidu aroma rendang yang menguar. 

Aku tersenyum miris. Sudah lama memang, kami tidak menikmati masakan enak.

"Eh, anak mama kok belum bobo?"

"Belum, ma. Habis wangi banget sih masakan mama. Aku jadi laper deh!" Jawabnya sambil cemberut. 

"Ya ampun, anak mama kasian banget sih! Ayo kalau Zizah mau makan. Ambil piringnya sana. Tapi, Zizah makannya pelan-pelan ya." Pintaku sedikit bergumam. Zizah mengangguk kemudian mengambil piring dan menyerahkannya padaku.

"Lho memangnya kenapa mah? Mmm takut papa marah ya?" Tanya Zizah. Matanya menatap tanganku yang menciduk sepotong rendang untuknya. 

"Kalau gitu, Zizah nggak jadi aja deh makan dagingnya. Makan kuahnya aja. Zizah takut mama dimarah papa." Lanjutnya.

Darahku berdesir. Azizah tahu persis bagaimana sikap mas Ilham padaku. Aku juga merasa berada di posisi yang serba salah. Jika tak diberitahu, aku takut mas Ilham tiba-tiba muncul dan memarahinya. Tapi dikasih tahu, kasihan Azizah. Makan Pun mesti sembunyi-sembunyi.

"Ya nggak lah, Zizah. Mama suruh Zizah makan pelan-pelan, ya supaya Zizah nggak tersedak." Jawabku seraya tersenyum. 

"Besok pagi nenek mau kesini. Mau menginap tiga hari." Lanjutku. Kuletakkan gelas berisi air minum untuk Zizah. Ia makan begitu lahap. 

"Wah, nenek?" Hanya itu respon yang ia berikan. 

Aku mengernyit, kemudian duduk di sampingnya, di kursi yang lain. Sambil berharap cemas semoga mas Ilham jangan dulu pulang sebelum Azizah selesai makan. 

Sejak ia dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja dulu, selain pemarah mas Ilham juga jadi pelit dalam segala hal. Bukan hanya padaku, tetapi juga pada anaknya sendiri. 

"Zizah mau nambah?" Tanyaku saat kulihat isi piringnya telah tandas. Azizah menggeleng.

"Nggak ah ma, udah kenyang." Sahutnya lantas gegas mencuci tangan serta piring sekaligus. Aku memang mengajarkan Azizah mengerjakan pekerjaan rumah, namun dalam batas kemampuannya.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status