Share

Jatah Secangkir Beras Di Rumah
Jatah Secangkir Beras Di Rumah
Author: Bulan sapasi

Perseteruan

"Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. 

Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini.

"Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu.

Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. 

Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut.

*

"Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya.

Aku menoleh lalu tersenyum dan mengangguk. Bu Nina rupanya habis membuang sampah, terlihat tangannya memegangi tong sampah plastik.

"Iya Bu. Ini, gula darahku sedikit naik, katanya makan daun pepaya bagus buat nurunin gula." Sahutku berbohong. 

Bu Nina adalah tetangga sekaligus pemilik warung. Beliau seorang janda beranak tiga yang ke semuanya sudah menikah dan tinggal di luar kota. Beliau sangat baik padaku. Pada semua orang juga. Namun kurasa padaku lebih.

Jika pemilik warung lain dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak menerima hutangan, Bu Nina malah sering sekali menawariku untuk mengambil dulu keperluan. Bisa jadi karena aku sering bekerja padanya. Sebagai buruh cuci hampir setahun ini.

Namun aku cukup tahu diri. Hutang belanjaanku padanya sudah menumpuk. Tak ingin lagi menambah hutang meskipun beliau selalu menawari. 

Bu Nina juga merupakan satu-satunya tetangga yang mengetahui keadaan keluarga kami yang sesungguhnya. Sebab kadang kala aku sudah tak kuat menanggung seorang diri, sedangkan disini aku hanya ikut mas Ilham. Bu Nina sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri.

"Suamimu kemana? Tumben tadi ibu lihat pakaiannya agak rapi?" Tanyanya kemudian. 

"Angkotnya sedang mogok Bu. Mungkin baru Minggu depan mulai jalan lagi." Jawabku pelan sekali. Takut ada orang lain yang mendengar. Bu Nina mengangguk-angguk.

"Oh ya sudah, kalau begitu ibu pulang duluan ya. Takut ada yang ke warung." Pamitnya. Aku mengangguk. Namun kemudian Bu Nina menghentikan langkah dan berbalik lagi.

"Kalau butuh apa-apa, kamu temui ibu aja. Jangan sungkan." Ujarnya dengan seulas senyum merekah dibibirnya. Aku mengangguk serta membalas senyumnya.

"Injih, Bu." Jawabku pelan. 

*

"Makanan kambing masih kau masak, setiap hari pula!" Teriakan mas Ilham yang disertai suara tudung saji yang dibanting, membuatku menghentikan mencuci pakaiannya beberapa detik. 

"Punya otak itu dipake mikir, Ratna! Udah tau suami nganggur, harusnya kau inisiatif cari duit! Jangan bisanya cuma nadah, ngeluh, nangis! Muak lama-lama aku sama kamu!" Lanjutnya. 

Kesabaranku rasanya sudah di ujung tanduk. Semakin lama kudiamkan lelaki itu, semakin pula mas Ilham semena-mena memperlakukanku.

Aku berdiri setelah kulempar celana dalamnya yang sedang kusikat, ke lantai. Kemudian membasuh tangan dan berjalan tak sabar guna menghampirinya. 

"Mas, jika aku tidak menggunakan otakku buat mikir nyari duit, kamu pikir tivi yang kamu tonton itu, kamu bisa ngecash hape kamu itu, pakai apa? Listrik dari mana? Beli token duit dari mana?!" Teriakku. Aku sudah benar-benar lelah. 

"Oh oh oh, baru bisa ngehasilin duit dari nge babu aja udah bangga? Merasa jadi wanita hebat, heh?!" Mas Ilham berdiri begitu dekat denganku. Bahkan napasnya yang memburu seolah menampar-nampar wajah ini.

"Aku bukan mau membanggakan diri sendiri, mas! Tapi mas Ilham dari dulu selalu bilang kalau aku bisanya cuma minta! Giliran aku menghasilkan duit, mas Ilham tak pernah mau mengakui, malah masih juga salah dimatamu!" Teriakku tak kalah keras.

Mas Ilham tak menjawab lagi ucapanku. Pria itu segera berlalu ke kamar kami yang letaknya berada di lantai dua dan kembali membanting pintu. 

*

Aku, Ratna. Berusia dua puluh tujuh tahun. Aku dan mas Ilham menikah sepuluh tahun yang lalu tanpa resepsi. Hanya pernikahan sederhana itupun hanya dihadiri oleh beberapa orang saksi. 

Aku adalah anak tunggal kesayangan bapak. Apapun yang aku inginkan, bapak sekuat tenaga memberikannya. Apalagi, aku sudah tak lagi memiliki ibu. Sebab beliau telah lama wafat.

Tapi itu dulu sekali.

Dulu sebelum bapak menikah lagi dengan ibu tiriku, aku satu-satunya yang paling dimanjakan oleh bapak. Apapun yang kuinginkan, bapak selalu membelikannya. 

Namun semenjak bapak menikahi wanita dua anak dengan yang paling besar seusiaku, perhatian bapak kurasakan mulai berkurang. Apalagi, kejudesan ibu tiriku semakin membuatku tak betah tinggal dirumah ketika itu. 

Aku kabur dari rumah. Puncaknya setelah aku bertengkar dengan Rima, anak ibu tiriku. Aku melarikan diri ke kota yang saat ini kutinggali bersama mas Ilham. 

Aku bekerja disebuah kantin dimana mas Ilham seringkali datang untuk makan siang atau sekedar mengobrol menghabiskan waktu istirahat bersama kawan-kawannya. Dan dari pertemuan singkat itulah yang akhirnya membawa kami pada pernikahan. 

Bapak dan istri serta anak-anak tiri bapak sebenarnya tahu keberadaanku. Namun sepertinya bapak terlalu penakut dan lebih memilih menuruti ucapan istrinya untuk tidak menemuiku. Pun sebaliknya, akupun enggan menemuinya. 

Dulu, mas Ilham bekerja sebagai manajer di salah satu perusahaan alat berat. Namun karena suatu hal, mas Ilham akhirnya dipecat. 

Kini mas Ilham bekerja menjadi sopir angkot milik temannya. Sopir cabutan, mereka menyebutnya. Jadi, bukan sopir tetap yang diberi satu angkot untuk narik. Melainkan sebagai sopir cadangan jika sopir inti sedang tidak narik.

Mas Ilham sebetulnya terlahir dari keluarga kaya raya. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dan rumah dua tingkat yang kami tempati ini merupakan hadiah pernikahan dari bapak mertuaku ketika beliau masih hidup dulu. Sedangkan ibu, sikapnya biasa saja padaku. Tidak baik sekali, atau jahat sekali. Standar. Namun sebagai seorang mantu, aku sudah dan sedang mencoba menjadi menantu yang baik seperti semestinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status