Share

Amplop yang menipis

"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. 

"Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. 

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. 

"Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. 

"Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. 

Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. 

Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan atau tidak, seenggaknya usaha dulu. 

Tring

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan W******p dari WAG keluarga mas Ilham.

[Jadi gimana ini, @ratna, kok nggak jawab lagi?] 

Kupijat keningku pelan. Mbak Meta me mention namaku dalam percakapannya. 

Tadi malam mereka memang ramai berdiskusi soal haulan almarhum bapak. Setelah dimusyawarahkan, sepakat aku dan mas Ilham mesti menyumbang empat juta. Rupanya acara haulan tersebut akan diadakan besar-besaran. Dengan pengajian dan mengundang ustad ternama. 

Baru saja kugerakkan jariku untuk mengetik pesan. Namun pada layar ponsel terlihat mas Ilham tengah mengetik. Aku tak sabar menunggu balasannya. Ingin tahu, apa jawabannya. 

[Tenang aja. Nanti sore aku transfer uangnya.] 

Deg

Lututku terasa lemas membaca balasan dari suamiku. Dan aku urung mengetik karena sudah terwakilkan oleh mas Ilham. 

[Oke deh. Aku tunggu ya, Ham. Jangan sampe nggak!] 

Balas mbak Meta disertai emot peluk. 

Aku yang hendak memasak air untuk kopi mas Ilham, lantas segera menaruh panci kembali dan melangkah ke lantai dua. Aku harus bicara dengannya!

"Mas, apa-apaan sih kamu?!" Bentak ku. 

Mas Ilham yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk, menoleh padaku. 

"Kamu punya uang dari mana?!" Lanjutku. 

"Duit pesangon masih ada enam juta, kan? Pake itu dulu. Mana sini!" Jawabannya membuat dadaku sesak menahan marah.

"Mas, kamu benar-benar sudah keterlaluan! Kenapa mesti maksain kalau memang nggak ada? Tinggal jawab jujur sama mereka, aku rasa mereka nggak akan memaksa!" Sahutku. 

"Aku nggak akan kasih uangnya sama kamu! Bila perlu, biar aku yang ngomong sama mereka kalau kamu udah nggak kerja sejak beberapa bulan lalu!" Lanjutku seraya berbalik. Namun mas Ilham segera meraih tanganku dan mencengkeramnya. 

"Awas kalau kamu berani ngomong, aku nggak segan ...

"Apa?!" Tantangku saat ia menghentikan ucapannya. 

"Kamu mau menceraikan aku, cuma gara-gara ngadu yang sebenarnya?!" Kubalas tatapannya tanpa takut. Mungkin sudah terlalu lelah menghadapinya. 

Mas Ilham menghentakkan kaki, lantas melemparkan handuk dan kembali menghampiriku. 

"Sudahlah Rat, jangan memancing emosiku terus menerus. Mana duitnya, sini. Nanti aku ganti lagi." Ujarnya dengan suara sedikit lebih pelan. Aku mendengus kesal. 

"Nggak mas. Kalau memang mas Ilham bisa ganti duitnya, kenapa nggak mas cari saja buat keluargamu!" Jawabku kemudian berlalu pergi. 

Masih kudengar suamiku berbicara di dalam kamar sana. Namun tak kupedulikan. Segera aku menuju dapur dan mencuci piring. Niat membuat kopi untuknya, malah tidak kukerjakan. Sudah terlanjur malas dan kecewa karena sikapnya. 

*

Aku tengah menunggu putriku pulang. Mas Ilham sudah tak ada dirumah ketika aku pulang dari warung Bu Nina. Namun sisa asap rokoknya masih tertinggal menyesaki ruang makan. Artinya, belum lama ia pergi. 

Sembari meluruskan badan yang sejak pagi mengerjakan tugas rumah, aku melanjutkan membaca novel di salah satu platform menulis favoritku. Meski sebetulnya pekerjaan rumah tidak terlalu banyak, namun karena besarnya rumah ini, tetap saja kubersihkan setiap hari agar tak ada bagian-bagian yang rusak karena tak terjamah.

Tring

Tak lama sebuah pesan masuk di notif ponselku. 

[Nih, udah aku transfer ya mbak.] 

Keningku mengkerut. Rasa penatku sedari tadi seketika sirna. Kuperbesar foto bukti transferan dari mas Ilham, empat juta lima ratus ribu rupiah! 

Ya Allah, dia bahkan melebihkan uang dari yang sudah dijatahkan oleh kakak-kakaknya. 

[Kok lebih Gope, Ham?] 

Pesan mbak Meta kembali masuk.

[Iya udah nggak apa-apa. Lebihnya bisa buat beliin ibu sesuatu. Kamu yang atur aja deh mbak.]

Ya Allah, semudah itu mas Ilham memberikan uang lima ratus ribu pada ibunya. Sementara aku dan anaknya harus bisa mengirit-irit jatah makan. 

"Eh mama, pantesan aja dari tadi nggak nyahutin. Mama lagi main hape!" Suara Azizah membuatku terkejut. Gadisku segera meraih tanganku dan menciumnya. Lalu membuka sepatu dan duduk di sampingku. 

"Ya Allah, Zizah pulang dari tadi?" Tanyaku. Kuletakkan ponsel di atas meja.

"Iya. Mama nggak denger sih." Ujarnya sembari cemberut. 

"Hihi, maafin mama. Ayo sana ganti baju, habis itu kita jalan-jalan." 

"Jalan-jalan? Kemana?" Azizah nampak antusias. Aku mengangguk seraya tersenyum. 

"Pokoknya, kita jalan-jalan aja. Zizah boleh beli apa yang Zizah mau." Jawabku sembari tersenyum. 

"Sekalian kita makan siang di luar." 

"Horeee! Oke ma, Zizah ganti baju sekarang!" Seru nya kemudian berlari dengan penuh semangat. 

Aku terhenyak. Kasihan sekali Zizah. Sudah lama anak itu tidak menikmati makan di luar. Tepatnya sejak mas Ilham sibuk bekerja, hingga suamiku itu kini menganggur. 

"Zizah, mama ke warung Bu Nina dulu ya!" Seruku dari bawah.

"Iya ma!" Akupun lantas bergegas keluar rumah untuk menemui Bu Nina dan meminta sejumlah uang. 

Kami memang belum sempat ke bank untuk membuka rekening. Jadi ya terpaksa aku meminta uang cash pada Bu Nina. 

*

Sejenak ku enyahkan semua perasaan kesalku terhadap mas Ilham. Aku dan Zizah pergi dengan menaiki angkutan umum. Aku khawatir tiba-tiba mas Ilham pulang dan melihat kami jika menyewa taksi atau grab. 

Azizah begitu bersemangat. Kami jalan-jalan ke mall dan membeli apapun yang Zizah butuhkan.

Meski agak khawatir saat pulang mas Ilham sudah dirumah, namun akhirnya aku punya ide. Untuk menyimpan dulu belanjaan kami dirumah Bu Nina. 

Seusai makan siang, kami melanjutkan berjalan-jalan mendatangi stand kue dan jajanan yang ada di mall. Akan kupuaskan Azizah dengan semua yang dia mau. 

Sementara itu, sedari tadi ponselku berdering. Aku yakin itu mas Ilham, namun biarlah. Aku sedang tak ingin suasana bahagiaku bersama Zizah terganggu olehnya. 

"Zi, kita pulang yuk. Udah sore. Nanti takut papa keburu pulang." Ajakku. 

"Emang, mama nggak bilang ke papa?" Tanyanya sembari melumat es krim. 

"Nggak. Papa sibuk kerja. Yuk, ini bawa." Aku menyodorkan satu kantong yang paling ringan untuk dibawanya. 

Kami pulang kembali dengan menumpang angkutan umum. Berharap semoga mas Ilham memang sedang tidak narik. Bisa berabe jika dia melihat begitu banyak belanjaan yang kami beli. 

"Lho, kok berhenti disini, ma?" Tanya Zizah saat ku stop angkot di depan warung Bu Nina. 

"Iya. Mama mau belanja dulu. Ayo." Jawabku seraya menunduk keluar dari angkot. Zizah mengikutiku dari belakang. 

"Assalamualaikum!" 

"Waalaikumsalam. Eh kalian sudah pulang?! Gimana jalan-jalannya, Zizah? Seru?" Bu Nina semringah. Ia keluar dari dalam warungnya. 

"Iya Bu. Seru! Ini belanjaan Zizah semua." Sahut putriku. Aku dan Bu Nina saling pandang sambil saling melempar senyum. 

"Zizah tunggu disini sebentar. Mama mau ambil uang, ini nggak cukup buat belanja." Pintaku. Zizah mengangguk. Ia dan Bu Nina duduk dibangku depan warung miliknya. 

Aku segera berlari pulang. Sekedar memastikan apakah mas Ilham sudah pulang atau belum. 

Kunci rumah masih berada di bawah pot bunga, artinya aman. Suamiku masih di luar. Segera aku kembali menemui Zizah. 

"Bu Nina, saya beli beras dua liter ya." Ujarku begitu sampai di warung. Bu Nina mengangguk lantas menyuruh pelayannya mengambilkan pesanan. 

Tak berapa lama, kulihat sebuah mobil truk berhenti di rumah seberang. Menurunkan beberapa barang. 

"Oh, itu tetangga baru ya, Bu?" Tanyaku. Bu Nina mengangguk.

"Iya. Baru akan pindah besok lusa, katanya." Sahut Bu Nina. Aku mengangguk.

"Jadi berapa Bu?" Sebaiknya ku akhiri obrolan ini. 

"Jadi dua puluh ribu, Ratna." 

Aku merogoh uang dalam dompet dan menyerahkannya pada mbak Tinah. Kemudian berpamitan pada Bu Nina. 

Aku meminta Azizah untuk tidak bercerita pada papanya soal jalan-jalan hari ini. Untung saja Zizah mau mengerti. Termasuk ketika aku memintanya untuk menyembunyikan keperluan Zizah yang dibelinya tadi.

*

Usai shalat magrib, aku bermaksud untuk menghitung uang di dalam amplop. Sisa uang pesangon mas Ilham tempo hari. Namun seketika tubuhku teras kaku, ketika tidak kutemukan amplop tersebut. 

Aku segera mengeluarkan seluruh isi laci. Nihil. Mungkin aku lupa, lalu kucari di dalam lipatan pakaian. Tanganku menyentuh sesuatu di balik lipatan baju mas Ilham. Lalu segera kutarik, amplop! Benar, itu amplop yang berisi uang. 

Aku mengernyit. Kenapa amplopnya terlihat tipis sekali? 

Pikiranku mulai tidak enak. 

Jangan-jangan …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status