Share

Acara haul

Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya.

"Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. 

"Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. 

"Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. 

"Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. 

"Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. 

"Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. 

"Papa bisa marah kalau kita gak ikut. Ayolah, Zizah ganti baju dulu. Pakai gamis yang kemarin mama cuci, ya." Zizah mengangguk malas. 

*

"Lho Rat, masa Zizah dipakein gamis belel gitu!" Mas Ilham meneliti Zizah dari atas hingga bawah. 

"Memangnya Zizah punya gamis berapa banyak?" Sahutku. Kusampirkan tas kecil di pundak ini. 

"Kamu jangan mendustakan rezeki, Ratna! Dulu waktu hidup kita masih normal, selalu kuberi uang khusus buat beli baju." Elaknya. Aku tersenyum sinis. 

"Iya. Itu tahun berapa? Mas pikir tubuh Zizah gak tambah tinggi dan gede? Kalo ngomong itu dipikir dulu!

"Ini kita jadi pergi gak?" Lanjutku. Mas Ilham mendengus kesal. Mau tak mau ia mesti pergi membawa anak istri yang penampilannya sangat sederhana. Tentu saja untuk ukuran seorang manajer, di mata keluarganya. 

**

"Assalamualaikum." Kami tiba dirumah ibu ketika disana sudah terlihat ramai. Tak lupa sebelumnya kami mampir mengambil pesanan kue basah mas Ilham. Lelaki itu bungkam sewaktu kutanya uang dari mana. Jelas saja ini mencurigakan.

"Waalaikumsalam. Eh kalian! Ya ampun Ratna, itu gamis Zizah udah kekecilan gitu masih aja dipakein? Pasti sesak banget itu!" Belum apa-apa mbak meta sudah mengomentari baju anakku. 

"Tau tuh si Ratna, disuruh siap-siap dari pagi malah santai. Giliran mau pergi sibuk sendiri, sampai nyari baju satu anak aja kerepotan!" Mas Ilham menyahut tanpa menoleh padaku. 

Gemas, dan ingin rasanya kuhardik suamiku itu, kalau nggak melihat banyak kerabat ibu disana. 

"Dahlah, baju aja pake dibahas. Rat, tolong bawa kuenya ke dapur. Bentar bude nyusul." Untung ada bude Dahlia yang berhasil menghentikan ocehan mereka. Aku mengangguk, sambil ku ikuti langkahnya. Masih kudengar mereka berbisik-bisik. 

"Rat, kamu nggak pake perhiasan? Duh Rat, di momen seperti ini kamu malah terlihat lusuh begitu. Bikin malu. Kamu kan menantu perempuan ibu satu-satunya, jaga harga diri suamimu dong!" Ibu berkata sambil mengupas melon.

Kuhela napas dalam. Dan kuhentikan sejenak kegiatanku menata kue. Bude Dahlia sesekali melirik padaku.

"Semua uang gaji suami kan, pastinya dipegang istri semua. Masa buat diri sendiri aja pelit, bagaimana sama keluarga mertua!" Sungut ibu sambil lalu. 

"Sabar, Rat. Mertuamu memang begitu. Gak usah diambil hati." Gumam bude Dahlia. Aku cuma tersenyum. 

**

Acara haulan bapak mertuaku sedang dimulai. Kami semua beserta kerabat lain berkumpul di ruang tengah. Sementara para bapak yang sedang baca doa berada dimulai dari teras depan sampai memenuhi ruang tamu. Rumah ibu memang cukup luas, sehingga cukup muat untuk diisi oleh orang banyak.

Dari kejauhan ibu melambaikan tangan. Aku mengangguk lalu dengan membungkukkan badan melewati semua orang. Kami duduk berkumpul di atas karpet. 

"Siapin prasmanan. Sama sekian kamu hitung besek, takut kurang." Pintanya. Aku mengangguk. Tak lama Zizah muncul dari pintu belakang. 

"Mama, Zizah laper." Bisiknya. Aku menoleh kiri kanan, kemudian kutuntun gadis kecilku ke ruang prasmanan. Kuambil piring dan menciduk nasi. 

"Zizah mau makannya sama apa?" Tanyaku. 

"Semur daging, boleh?" Tanyanya seraya menatapku.

Aku tersenyum kemudian mengangguk. Kuambil kan dua potong daging dan kuminta Zizah makan di kamar belakang yang berdampingan dengan dapur. Tempat menaruh bumbu-bumbu. Miris sebetulnya, namun lebih baik cari aman ketimbang nanti ibu muncul dan …

"Ada suara sendok? Apa jangan-jangan kucing?" Ibu menajamkan pendengarannya. Aku sudah deg-degan dibuatnya. Namun diam saja. 

Ibu malah melangkah ke kamar samping, dan tertegun di ambang pintu.

"Astagfirullah Zizah, kamu udah makan duluan? Rat! Ratna!" Aku memejamkan mata sejenak. Mengatur napas dan melangkah menemui mereka. Kulihat Zizah mengkeret ketakutan. 

"Apa-apaan ini?" Ibu menyilang tangan dan menatap kami secara bergantian. 

"Zizah belum makan siang Bu. Makanya tadi Ratna tawari makan." Sahutku. 

"Kamu kan tahu Rat, tamu di depan itu banyak. Bagaimana kalau dagingnya habis? Ibu bukan pelit atau larang Zizah makan, tapi mbok ya nanti saja gitu, kalau acara sudah selesai!" Cerocosnya. 

"Ada apa sih, Fat?" Bude Dahlia menyembul dari ruang lainnya. Ibu menggedik ke arah Zizah. Zizah masih menggenggam sendok dengan wajah ketakutan. 

"Astagfirullah Fatimah, coba kau lihat wajah cucumu? Cuma gara-gara si Zizah makan, lalu kamu sampai segitunya bikin cucumu shock?" Bude Dahlia menggeleng-gelengkan kepala. 

"Bukan masalah daging atau masakannya, mbak. Tapi kebiasaan. Acara belum juga selesai, sudah diduluin. Gak baik, gak sopan namanya. Dan lagi kalau kurang, nanti yang malu siapa? Aku aku juga!" Jelasnya membela diri. Bude Dahlia mengembuskan napas panjang. 

"Ya Allah Fatimah, sebanyak apa sih yang dimakan cucumu? Jangan keterlaluan kamu, Fat. Si Ilham juga ada ikut bantu urunan, buat biaya acara ini 'kan?" Mendengar pembelaan bude Dahlia, ibu sepertinya tak suka. Sambil berdecak dan menghentak, beliau pergi meninggalkan kami yang saling pandang tak percaya. 

"Anak manis, lanjut lagi maemnya ya. Jangan dengerin ucapan nenekmu." Hibur bude Dahlia. 

"Zizah sudah kenyang." Ucapnya lirih. Diletakkannya pelan piring yang masih berisi sepotong daging dengan nasi beberapa suapan lagi. Aku dan bude Dahlia saling pandang.

"Biar nanti mertuamu bude kasih pelajaran. Dia sudah keterlaluan, dan sesekali memang harus dikasih pelajaran." Bisik bude.

Aku lagi-lagi cuma tersenyum. Namun jika sekali lagi keluarga mertua membuat masalah denganku ataupun Zizah, jangan pikir aku akan diam saja. Bude Dahlia benar, kami harus memberi mereka pelajaran.

"Zizah, ini minum dulu. Ayo kita pulang. Nanti kita beli makanan apapun yang Zizah mau." Bisikku. Azizah tersenyum mendengar ucapanku. Kemudian mengangguk seraya mengambil Aqua gelas dari tanganku. 

Segera kulepas apron dari tubuhku, lalu kulempar begitu saja di atas meja makan. Kita lihat, seberapa murka mereka padaku setelah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status