Seorang pria mengendarai mobilnya, kendaraan itu melaju kencang di antara kegelapan hutan. Begitu mencekam jalanan itu, tetapi tak membuatnya berhenti untuk terus melaju.
Semua terlihat baik-baik saja sampai mobilnya harus mengerem secara tiba-tiba. Seperti ada benda yang terjatuh menimpa atap mobilnya. Hal itu membuat pria tersebut harus mengecek keluar.
Aneh. Itulah yang ia rasakan saat menengok ke arah atap mobil, tidak ada satu pun benda ataupun hewan yang jatuh. Ditatapnya sekeliling, hutan itu terasa sunyi dan tak ada satu pun mobil yang melewati jalanan sepi itu selain dirinya.
Pria tersebut berusaha menepis semua pikiran buruk dan kembali masuk ke dalam mobil. Ia melirik ke kaca spion, tubuhnya seketika saja membeku. Mulutnya pun seakan terkunci.
Terdapat sosok aneh dan asing tengah menatapnya tajam. Setengah dari wajah itu hancur dan terlihat begitu menyeramkan.
"KALIAN HARUS BERTANGGUNG JAWAB!"
Dengan tiba-tiba makhluk itu berubah wujud menjadi lebih besar dan tinggi. Rambutnya yang berwarna coklat terurai panjang. Dengan sekonyong-konyong sosok itu pun menyerang pria tersebut.
Raungan kencang melolong panjang di kegelapan malam.
***
Sudah sebulan brosur lowongan pekerjaan menjadi pengasuh untuk Vanya disebarkan. Akan tetapi, tak ada satu pun orang yang berminat mengasuh gadis kecil berusia enam tahun tersebut.
Lian dan Yura merasa putus asa, terlebih lagi karena melihat tingkah putri mereka yang semakin lama semakin mengkhawatirkan saja. Belum lagi, gangguan aneh yang selalu terjadi di rumah tempat mereka tinggal sekarang.
Keluarga Lian baru saja pindah di rumah baru itu beberapa hari yang lalu, sebab rumahnya yang lama tidak layak lagi untuk dihuni. Membeli rumah itu pada seseorang yang menawarkannya dengan harga murah tentunya membuat Lian tergiur. Tanpa berpikir terlalu panjang, dirinya membeli rumah tersebut. Semenjak di sinilah perubahan tingkah Vanya yang semakin berubah, berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Putri semata wayang pasangan suami-istri tersebut kerap kali berbicara sendiri, bahkan bersosialisasi dengan tetangga pun ia enggan. Mereka mencoba untuk menggunakan jasa pengasuh, tetapi entah mengapa beberapa berganti pengasuh, tidak satu orang pun yang merasa betah dan akhirnya bergiliran memilih untuk berhenti bekerja. Desas-desus mengatakan bahwa rumah yang mereka tempati saat ini penuh dengan gangguan gaib. Entah benar atau tidak.
"Apa tidak sebaiknya kita pindah saja dari sini? Mama merasa sangat aneh dengan rumah ini," tutur Yura kepada suaminya, tapi masih saja tak digubris oleh pria itu.
"Kamu itu, lho. Terlalu percaya sama omongan orang. Sudahlah, yang penting kita bisa tinggal. Urusan Vanya biar Papa yang pikirkan."
"Kamu selalu saja menjawab hal yang sama, Pa. Aku jadi muak ngomong sama kamu!" cetus Yura.
Wanita itu lalu beranjak dari ruang TV dengan penuh rasa kesal di dalam hatinya. Ia nencoba menenangkan pikirannya dengan menjenguk sang putri di kamar.
Yura melangkahkan kaki di lorong menuju kamar putrinya. Entah mengapa lantai itu terasa begitu dingin di telapak kakinya. Wanita itu merasakan sesuatu yang tak biasa, seolah-olah ada seseorang memperhatikan dirinya dari kejauhan. Suara langkah kakinya di atas lantai pun terdengar ramai, seperti ada seseorang yang mengikuti di belakangnya.
Suara langkah itu semakin mendekat, tapi Yura tak berani untuk menoleh. Tiba-tiba jantungnya terasa berdegup dengan kencang. Entah mengapa lorong itu terasa semakin memanjang dan pintu kamar Vanya semakin menjauh, sesegera mungkin diraihnya gagang pintu lalu membukanya.
"Vanya!" seru sang ibu dengan deru napas terengah-engah.
"Iya, Ma. Ada apa?" tanya sang putri.
Melihat mata putrinya, Yura mencoba untuk menenangkan diri dan dengan perlahan ia melangkah masuk. Wanita itu memberanikan nyali untuk menoleh ke belakang. Entah mengapa suara langkah yang tadinya mengikuti seakan berangsur menghilang.
"Gak ada apa-apa, Sayang. Kamu kok belum tidur?" tanya Yura sembari menetralisir perasaan yang tidak keruan tadi.
"Nungguin Kak Kiyo, Ma," jawab gadis berusia 6 tahun tersebut.
Sekali lagi, mata Yura mencoba melirik ke arah lorong yang gelap. Seperti ada sosok yang mengintip mereka dari balik dinding hingga tiba-tiba wajah pucat menyeramkan itu mulai terlihat dengan jelas membuat Yura terpaku dengan mata yang membulat sempurna.
*
Langit pagi itu terlihat mendung. Suasana di sekitar rumah pun terasa begitu sunyi. Yura melamun. Ia teringat akan sosok semalam yang membuat wanita itu tak dapat memejamkan mata semalaman. Dadanya terasa sesak di kala mengingat rumah yang sepi, hanya ada ia dan putrinya di saat ini.
Ting .... Tong!
Suara bell rumah yang keras mengejutkan wanita itu. Ia menghentikan sejenak kegiatan mencuci piring. Kemudian berlari kecil menyambut tamunya.
Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berwajah cantik, rambutnya panjang terurai, dan sedikit pirang dengan bandana berwarna pink. Gadis tersebut mengenakan setelan kemeja putih dan rok selutut berwarna hitam. Ia tampak membawa berkas dengan map coklat di depan dadanya.
"Permisi, apa benar ini rumah Bapak Liando Brawijaya?" tanya gadis itu dengan sopan.
"Benar. Saya istrinya," sahut Yura seraya menatap gadis itu dengan mengulas seuntai senyuman.
"Salam kenal, Bu. Nama saya Keinara dan ingin melamar kerja menjadi pengasuh Dek Vanya." Gadis yang ternyata bernama Keinara itu memperkenalkan diri. Matanya tampak menatap sekeliling rumah. Ia merasa tidak asing dengan rumah tersebut. Gadis cantik itu seperti melayang ke suatu waktu yang lampau tatkala melihat suasana rumah tersebut.
"Mbak, kenapa bengong?" tanya Yura, "ayo, masuk!" ajaknya tanpa menunggu jawaban sang gadis.
Keinara melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Akan tetapi, sekali lagi Keinara merasa dirinya sudah pernah memasuki rumah itu.
"Keinara Maria Rosalinda, usia 19 tahun. Kenapa kamu mau melamar menjadi pengasuh Vanya?" tanya Yura sambil memegangi surat lamaran kerja milik Keinara.
Gadis iy tersenyum ramah. "Saya ingin belajar menjadi seorang ibu yang baik seperti mendiang ibu saya dan saya juga ingin punya penghasilan meski bekerja menjadi pengasuh," jawab Keinara dengan padat dan lugas.
"Kamu yakin?" tanya Yura memastikan.
Keinara mengangguk pelan, meski dalam hatinya merasa ragu. Rumor tentang rumah itu sudah beredar cukup luas dan ketika melihatnya, Keinara seakan ditarik kembali pada masa lalu yang ia lupakan. Entahlah ... ia pun tidak memahami hal itu.
Yura meraih jemari gadis tersebut sembari melebarkan senyuman. Wanita itu senang, akhirnya ada lagi yang melamar menjadi pengasuh sang putri. Ia berharap kali ini pengasuh anaknya akan betah di rumahnya.
Genggaman tangan itu seakan menyalurkan kekuatan bagi Keinara. Hal kecil itu membuat hatinya yakin. Tatapan penuh harap dari wanita di hadapannya pun membuat ia merasa dibutuhkan di rumah tersebut.
"Kei, lihat mata saya. Kamu benar yakin mau mengasuh anak saya dan tinggal di sini?" tanya Yura sekali lagi. Ia tahu, isu tentang keanehan rumahnya sudah meluas di luar sana.
"Saya yakin, Bu. Saya benar-benar yakin," jawab Keinara.
Wanita berusia 29 tahun itu kemudian menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan lega.
"Saya mau mengatakan sesuatu sama kamu dan kamu harus ingat apa yang saya katakan. Sebelum kamu, sudah banyak pengasuh Vanya yang mau merawatnya tapi mereka semua mengundurkan diri."
"Saya tahu itu, Bu. Saya akan mencoba untuk menjadi pengasuh yang baik untuk Dek Vanya."
Mendengar jawaban Keinara yang memuaskan, genggaman itu dilepaskan dengan senyuman semringah Yura. Hari ini dan detik ini, gadis itu akan menjadi pengasuh baru putrinya. Ia menaruh harapan besar di pundak Keinara, sang pengasuh baru.
~***~
Menginjakkan kaki di tempat kerja, untuk pertama kalinya Keinara harus berada di sana. Keluarga yang ramah menyambut baik kedatangan gadis itu."Vanya, kenalin. Ini namanya Kak Keinara, dia jadi teman baru kamu." Langkah gadis itu perlahan mendekati sang pengasuh, menjabat tangannya yang halus lalu menciumnya."Halo, Kak Keinala, aku Vanya." "Iya, Cantik, panggil aja Kak Kei. Oh, ya, Kakak punya sesuatu buat kamu." Sebuah kotak mainan berisi boneka Barbie diberikannya pada gadis itu. Senyum tipis tersungging di wajahnya, tatapan sayu Vanya mengarah padanya mengisyaratkan tanda terima kasih. Setelah pertemuan itu, Yura mulai mengantarnya ke kamar baru sang pengasuh yang sudah disiapkan untuknya."Ini kamar kamu, Kei. Semoga kamu betah ya," ucap Yura menunjukkan kamar baru Keinara. Menelisik ke dalam ruangan itu membuatnya merasa familiar akan sesuatu hal di masa lampau, tapi ia melupakannya. Yura meminta izin untuk meninggalkan Keinara di sana, tinggal-lah ia seorang diri. Sunyi ya
"Aaaaaaaa!" jerit gadis itu membuat si anak asuh berlari menghampirinya."Kak Kei kenapa?" Vanya menepuk bahu sang pengasuh. Kepalanya menoleh dengan wajah yang pucat lalu melihat lagi foto itu. Terlihat baik-baik saja, tak ada yang salah dengan barang itu. "Gak apa-apa, Sayang," sahut Keinara menoleh ke arah Vanya.Gadis itu menoleh ke arah anak asuhnya, tapi yang ia dapat adalah sesuatu yang lebih mengerikan. Tubuhnya terpaku, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, membeku bagai es. Kini, yang di hadapannya bukanlah Vanya, melainkan makhluk berwajah hancur menatap ke sudut ketakutannya dengan senyum mengerikan. "Mau main, Kak?" Suara anak kecil itu berubah berat membuat mulutnya yang membungkam ingin berteriak. "HAHAHAHAHAHAHA!"***Keinara terperanjat dalam kegelapan kamar, terbangun dengan keringat yang membasahi dahi. Mimpi menyeramkan seperti amat nyata, tangannya yang merasakan pecahan foto itu masih terasa.Gadis muda itu mengusap wajahnya dengan kasar, menyilakan ram
"Ada Kak Kiyo di situ," bisik Vanya sambil membenamkan wajahnya ke leher pengasuhnya. Nama yang tentunya sudah ia dengar kesekian kalinya, tapi gadis itu kini tak antusias untuk menyambut "sahabat"nya dengan riang. Keinara merasakan aura gadis kecil yang begitu dikekang oleh seseorang di luar keluarganya. Romanya seakan mendeteksi sesuatu yang mengintainya di belakang. Ruangan gelap yang nampak sepi seakan tak ada kehidupan, merasa bahwa ada seseorang di dalam sana. Namun, siluet samar menggambarkan sesosok pemuda tertunduk lalu menatap ke arahnya dengan tatapan marah. Suara derap langkah dari arah ruangan itu semakin lama, semakin mendekat. Meskipun samar, tapi Keinara dapat memdengar suara hembusan napas yang kuat seakan gembira menemukan mangsa. Gelap sendu hari itu memambah aura mencekam. PLAK, PLAK, PLAK! Samar terdengar suara kepakan yang semakin keras dan cepat. "Ayo, Kak!" Vanya menarik tangannya menjauh dari ruang tamu. Gadis itu tak berani lagi untuk menoleh ke belaka
Gadis itu terpaku, matanya menatap dengan perasaan campur aduk. Kakinya berusaha menghindar, tapi cengkeraman wanita itu sangat kuat. Serasa betisnya digenggam erat sampai tulangnya mati rasa. Bagai diperas oleh tangan-tangan kejam, serasa cairan merah mengucur dari sana. Suara wanita paru baya yang menangis itu semakin lama berubah menjadi jeritan dicampur dengan tawa. "Bu, anda kenapa?" Keinara mencoba untuk menyadarkan wanita itu dari sujudnya. Perlahan telapaknya mengusap bahu sang ibu rumah tangga, sentuhannya disambut dengan tawa. Suara seperti retakan terdengar ketika wanita itu menoleh ke wajahnya dengan perlahan. Mata yang memutih dan senyum penuh kekejaman tergambar di wajah hancur wanita itu. "KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA PERGI!" ucap wanita itu dengan suara berat. Seketika Keinara mematung, ia mengalihkan pandangan ke arah wanita-wanita yang berkumpul di sana. Raut-raut menyeramkan itu tertangkap oleh matanya, keadaan wanita-wanita itu tak jauh berbeda. Mereka melotot
Yura berlari kencang sambil melupakan keberadaan sang kakek misterius itu. Suara teriakan gadis itu semakin mengeras menggema di ruang-ruang rumah. "Kei!" jerit wanita itu mendapati Keinara tengah kerasukan. Dari bola matanya yang memutih, ada sebuah raut kemarahan dan rasa bangga. Gadis itu telah dikuasai sepenuhnya oleh sosok halus yang merasukinya. Sementara itu, warga yang mengantar Keinara ke rumah Vanya merasa tak kuasa menahan berat tubuh sang pengasuh cantik itu, ditambah tubuhnya terus meronta-ronta."LEPASIN!" jerit gadis itu sambil menepis pegangan para warga. Tepisan itu begitu kuat sampai-sampai para warga terpental sedikit jauh. Tubuh Keinara melayang, suara tawanya kencang membahana seperti tawa seorang pria. Ia berjalan tanpa sadar menuju ke pekarangan belakang rumah, sedang Yura dan yang lain mengikuti gadis itu. Perempuan muda nan cantik itu berdiri mematung menghadap pohon, kemudian berjongkok dan mencakar-cakar gundukan tanah di bawah pohon itu sambi meraung. S
"Pa, lihat, Pa!" seru wanita itu sambil terus menatap ke arah ranjang tidur. Lian terkejut saat ia melihat hal yang tak akan pernah ia lupakan. Pasangan suami-istri itu memandang dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Keinara melayang di atas ranjang. Gadis itu tampak lemas tak berdaya dan matanya terpejam. "Tidak mungkin," gumam Lian menenangkan pikirannya yang tetap tak percaya dengan semua hal janggal itu. Aroma semerbak kayu yang tengah dibelah itu tercium sangat kuat di sekeliling kamar sang pengasuh. Pandangan pasutri itu tiba-tiba kabur, tangan mereka mencoba meraih tubuh Kei. Samar sosok hitam muncul seakan menggendong tubuh gadis itu. Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Hingga titik dimana mereka lebih melebarkan mata, tubuh yang lemas itu serasa kaku seketika. Di hadapan mereka bukanlah sosok manusia. "GADIS INI MILIKKU!"Suara berat menggelegar, tapi sebaliknya suara pasangan suami-istri seakan dibungkam dan mereka tak bisa membangunkan Keinara. Mereka terpaku mel
Keinara merasa ragu untuk keluar dari rumah itu setelah kejadian semalam, ditambah gangguan yang menyerangnya sering kali ia dapatkan. Baik siang maupun malam, makhluk halus di dalam sana seakan tak ingin dirinya tenang. Meski pemikiran untuk dropout dari tempatnya berkuliah terus mengitari kepalanya, tapi seorang dosen mencegahnya untuk pergi dari sana. Itulah mengapa pagi ini, dirinya sudah siap untuk berangkat kuliah. "Bu, saya pamit kuliah dulu ya?" Dijabatnya tangan sang nyonya rumah kemudian diciumnya tangan lembut itu. Yura merasa sangat cemas dengan keadaan pengasuh putrinya, ia tak khawatir akan terjadi sebuah hal buruk menimpanya. "Kamu yakin mau berangkat ke kampus, Nak?" tanya wanita itu dengan perasaan yang dilema di antara kekhawatiran. "Iya, Bu. Saya yakin. Cuma bentar aja, kok, nanti saya balik lagi." Ucapan Keinara itu sedikit membuat hatinya tenang, tapi dirinya juga masih mencemaskan gadis itu. Hingga waktu dimana Yura harus melepas Keinara untuk pergi sejenak
Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata