"Pa, lihat, Pa!" seru wanita itu sambil terus menatap ke arah ranjang tidur.
Lian terkejut saat ia melihat hal yang tak akan pernah ia lupakan. Pasangan suami-istri itu memandang dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Keinara melayang di atas ranjang. Gadis itu tampak lemas tak berdaya dan matanya terpejam.
"Tidak mungkin," gumam Lian menenangkan pikirannya yang tetap tak percaya dengan semua hal janggal itu.
Aroma semerbak kayu yang tengah dibelah itu tercium sangat kuat di sekeliling kamar sang pengasuh. Pandangan pasutri itu tiba-tiba kabur, tangan mereka mencoba meraih tubuh Kei. Samar sosok hitam muncul seakan menggendong tubuh gadis itu.
Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Hingga titik dimana mereka lebih melebarkan mata, tubuh yang lemas itu serasa kaku seketika. Di hadapan mereka bukanlah sosok manusia.
"GADIS INI MILIKKU!"
Suara berat menggelegar, tapi sebaliknya suara pasangan suami-istri seakan dibungkam dan mereka tak bisa membangunkan Keinara. Mereka terpaku melihat wujud pemuda dengan wajah setengah hancur.
"KALIAN MEREBUT TEMPAT INI DARIKU, MAKA GADIS INI AKAN KUREBUT DARI KALIAN!"
Yura ber-isyarat mengatakan "jangan" pada makhluk itu.
Siksaan yang terasa bagai neraka, Lian merasa ia mulai percaya dengan keberadaan tak kasat mata. Di saat mereka berada di dalam ruang dilema yang tipis, adzan subuh berkumandang.
Makhluk itu menghilang, semua siksaan itu telah hilang. Tubuh sang pengasuh yang melayang kini jatuh tepat di atas ranjangnya.
"Kei!" Segera mereka menghampiri tubuh gadis itu. Yura mendekapnya dengan sangat erat.
*
Kejadian semalam membawa trauma bagi Lian, terlebih ia akan meninggalkan anak dan istrinya pagi ini untuk pergi ke luar kota.
"Kamu yakin gak ikut?" tanya sang suami pada istrinya.
"Aku gak mau terjadi apa-apa sama Vanya dan Kei, Pa. Jadi, aku di sini aja," jawab Yura seraya memberikan tas kopernya pada Lian.
Pria itu berpesan agar istrinya segera meminta tolong pada siapapun ketika mereka dalam bahaya, sedang wanita itu mengangguk paham.
Tiba saatnya Lian harus pergi. Kepergian sang ayah disambut dengan lambaian tangan anak dan istrinya. Kini, Yura harus menghadapi sesuatu hal yang tak lazim di pikirannya.
Waktu yang terus berjalan membawanya kembali pada malam kelam. Wanita muda itu bersama putri semata wayangnya terduduk bersantai. Vanya begitu antusias meninta ibunya untuk menceritakan sebuah dongeng Putri Cantik dan Pangeran Buruk Rupa.
Di bawah lampu yang remang, Yura membacakan dongeng itu pada anaknya. Anak mungil itu begitu tenang mendengarnya.
" ... Dan akhirnya, kutukan yang ada di tubuh pangeran hilang. Pangeran dan sang putri cantik hidup bahagia selamanya."
Sang ibu muda itu kini mulai menutup buku, lalu melihat wajah Vanya yang tersenyum.
"Aku jadi ingat sesuatu," ujar gadis kecil itu seraya mencoba mengingat sesuatu.
"Emangnya ingat apa?"
Sekelebat gadis baru saja melewati mereka, tampak Keinara yang berjalan ke arah dapur.
"Kei, kamu mau kemana?"
Gadis itu tak membalas pertanyaan dari Yura, ia terus berjalan. Ibu dan anak itu segera membuntuti perempuan manis berkulit putih itu. Langkah Keinara membawa mereka ke dapur.
Kedua kaki dan tubuh ramping itu mematung di depan pintu menuju ke pekarangan belakang. Yura mendekatinya.
"Kei?" Telapaknya menepuk lembut bahu sang pengasuh.
DWAAAR!
Wajah wanita berbaju hitam itu terperangah melihat kejadian yang tak kalah mengejutkan. Keinara dengan satu tangan kosongnya membuka pintu yang sudah dikunci sampai terlepas dan terpental sedikit jauh. Gadis itu tak sadar berjalan ke luar pekarangan yang gelap dan hanya diterangi lampu teras.
"Keii!" seru Yura seraya berjalan cepat mengejar.
Sang pengasuh tak sedikit pun menoleh bahkan sudah dipanggil beberapa kali. Keinara hanya mematung menghadap ke arah pohon besar tinggi menjulang, sebuah hal tak terduga dilakukan oleh gadis itu.
Dengan mata kepalanya sendiri, Keinara melepas semua pakaiannya hingga telanjang bulat. Raganya yang bersih itu tengkurap di atas gundukan tanah besar di bawah pohon tersebut. Vanya berlari dan bersembunyi di sebalik tubuh ibunya.
"KEINARAAA!" jerit Yura, tapi gadis itu tak mendengarnya dan terus melakukan hal aneh di atas gundukan tanah.
Gerakannya yang seperti berrsetubuh dengan gundukan itu, suara desahan bersama erangan seorang pria tak kasat dimatanya. Segera sang nyonya menghentikannya. Digendongnya Vanya lalu berlari meminta tolong pada warga.
Menembus gelapnya malam seraya menjerit tanpa henti berhasil membuat para warga berkumpul mengerumuninya. Dengan napasnya yang tersengal, ia menjelaskan tentang keadaan Keinara yang begitu janggal.
"Pengasuh anak saya kesurupan lagi," ucapnya.
Para warga mulai berjalan cepat menuju ke rumah Yura, tepatnya di pekarangan belakang rumah. Bahkan saat warga datang pun Keinara masih melakukan hal tak senonoh itu di depan mereka meski tanpa sadar.
"Tolong pengasuh anak saya, Pak," tangisnya memohon.
Para pria sedikit merasa ragu untuk mendekati gundukan itu, mereka seakan mengetahui hal mengerikan di dalamnya. Namun apa mau dikata, mereka harus menyelamatkan seorang gadis asing yang sedang kerasukan.
Perlahan mereka mendekati Keinara dan gundukan itu. Dengan tiba-tiba gadis itu menoleh ke arah mereka sembari mengerang. Dari mulutnya keluar darah hitam yang begitu kental menetes hingga ke akar pepohonan yang amat besar itu.
Matanya yang memutih menatap warga dengan raut kemarahan yang mendalam. Lengkingan tawa menggelegar menembus sunyi membuat nyali mereka menciut. Mau tak mau, mereka harus menolong Keinara.
Di saat yang bersamaan, seorang cenayang sakti itu datang kembali tanpa ada yang mengundang. Seakan tahu apa yang terjadi, tanpa sepatah kata ia mulai menyadarkan gadis itu.
"Dia bukan milikmu dan tempatmu bukan di sini. Keluarlah!"
"AAAAAAAAAAAAAAA!" jerit iblis di dalam raga gadis itu, terdengar begitu kesakitan.
Sang Cenayang terus mencengkeram kepala Keinara hingga gadis itu tak sadarkan diri, segera Yura mengambil pakaiannya kemudian para warga membawanya masuk ke dalam rumah.
Lagi dan lagi, gadis itu tersadar dengan perasaan yang bingung melihat banyak orang.
"Kamu istirahat dulu, Kei," ucap wanita itu sambil merebahkan tubuh pengasuh anaknya.
~***~
Keinara merasa ragu untuk keluar dari rumah itu setelah kejadian semalam, ditambah gangguan yang menyerangnya sering kali ia dapatkan. Baik siang maupun malam, makhluk halus di dalam sana seakan tak ingin dirinya tenang. Meski pemikiran untuk dropout dari tempatnya berkuliah terus mengitari kepalanya, tapi seorang dosen mencegahnya untuk pergi dari sana. Itulah mengapa pagi ini, dirinya sudah siap untuk berangkat kuliah. "Bu, saya pamit kuliah dulu ya?" Dijabatnya tangan sang nyonya rumah kemudian diciumnya tangan lembut itu. Yura merasa sangat cemas dengan keadaan pengasuh putrinya, ia tak khawatir akan terjadi sebuah hal buruk menimpanya. "Kamu yakin mau berangkat ke kampus, Nak?" tanya wanita itu dengan perasaan yang dilema di antara kekhawatiran. "Iya, Bu. Saya yakin. Cuma bentar aja, kok, nanti saya balik lagi." Ucapan Keinara itu sedikit membuat hatinya tenang, tapi dirinya juga masih mencemaskan gadis itu. Hingga waktu dimana Yura harus melepas Keinara untuk pergi sejenak
Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata
***Perempuan dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya itu mulai berjalan menuju ke ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu sebuah ruangan kosong yang tidak pernah ditempati itu. "Bu Yura bilang pintu ini tidak pernah dibuka, dikunci pula dari luar. Kata beliau juga kuncinya gak tahu ada dimana. Terus kenapa waktu itu kebuka ya? Siapa yang buka?" gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya pada gagang pintu itu. Mencoba menekan engsel pintu itu, rupanya terkunci. Keinara pernah mendengar Yura menutup pintu ini, tapi setelah dicobanya untuk dibuka kembali, secara ajaib pintu itu terkunci. Kejanggalan pada ruangan itu seakan siapa saja tak boleh memasukinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. "Ya udah deh, mungkin kamarnya emang dibiarin gitu aja," gumamnya yang lalu membersihkan lemari kecil di ruang tamu, di samping ruangan misterius itu. Hal aneh kembali terjadi, tepat saat gadis itu membersihkan debu-debu di atas lemari kecil itu, terdengar suara decit pintu yang te
"Apa alasannya dia gak ngebolehin Kak Kei nemenin kamu main?" Pertanyaan itu kembali terlontar di mulut Keinara dengan perasaan yang masih syok. "Itu karena Kak Kei lagi hamil anaknya," jawab Vanya dengan rintihan. Entah gadis itu harus mempercayai cerita anak asuhnya, tapi yang dikatakan seorang anak kecil bukanlah isapan jempol belaka. Semua menjadi nyata tatkala sang pengasuh mulai merasakan sesuatu yang menggelitiki di dalam perutnya. Kepalanya menunduk ke arah perut yang mulai membuncit meski tak besar. "Nggak ... nggak mungkin! Aku gak mau hamil." Bulir air mata itu mulai keluar dari matanya yang bening, sedang Vanya juga ikut menangis karena cemas dengan keadaan kakak asuhnya. Keinara tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung bayi setan dari sosok yang entah apa namanya. Tentunya perut yang semakin membesar itu diketahui oleh Yura dan Lian. Kejadian yang amat janggal, terlebih semenjak Keinara dikatakan hamil, semakin banyak teror tak masuk akal di dalam r
Seketika Vanya menoleh ke arah sang pengasuh, tapi tatapannya terfokus pada perut Keinara yang semakin lama membesar dan menggembung. Hujan keringat di tubuh gadis itu membuat si anak asuh merasa cemas. Beranjak dari tempat tidur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seperti terdapat tangan yang memeganginya, suara gadis kecil yang malang itu pula seakan dibungkam. Sementara sang pengasuh berusaha untuk terbangun dari mimpi buruknya, berjuang untuk bangun. Namun saat netra indah terbuka, sosok wajah setengah hancur itu berada dekat dengannya. Keinara merasa sangat ketakutan, apalagi Vanya yang hanya bisa menangis. Tubuh sang pengasuh cantik itu seakan terbelenggu oleh tubuh aneh Kiyo. Jari-jemari bercakar yang mengusap perutnya membuatnya semakin mengembang. Melihat sang jin pelindungnya tengah menyerang pengasuhnya, Vanya berusaha untuk bersuara memanggil Kiyo agar menghentikannya. "K ... Ka ... Kak." Suaranya tertahan, tapi ia tak mudah menyerah. Seraya dalam hati berdoa agar gang
Di sepanjang perjamuan malam itu, mata sang nenek terfokus pada perut pengasuh Vanya yang membuncit. Tatapan sinis dan penuh kecurigaan itu membuatnya salah paham dengan menantunya sendiri. "Sudah berapa bulan?" tanyanya pada Keinara. "Sudah enam bulan." Gadis itu menunduk seraya mengusap perutnya. Sang nenek kembali bertanya, tapi kali ini pertanyaan itu akan menguras hati gadis muda. Wanita tua itu seperti menuduh Lian telah berselingkuh dengan Keinara. "Kamu hamil sama siapa?" Sontak Keinara tersentak mendengarnya lalu memasang wajah sendu. Tak disangka apa yang ditanyakan nenek dari Vanya itu telah membuat murka Kiyo. Diliriknya makhluk yang sudah memasang wajah amarahnya ke arah sang nenek. "Bu, gak baik tanya begitu." Yura menghentikan tindakan ibunya itu, tapi jika seorang wanita sudah curiga tentu akan sulit untuk mereda. "Apa kamu gak curiga sama suamimu, Yur?" "Tapi---""Seorang gadis pengasuh, wajahnya cantik pula. Pasti dia suka merebut suami orang, mana mungkin ng
Keinara terhenyak sesaat mendengar bisikan itu. Raganya seakan dibawa melayang menuju ke sebuah tempat yang entah apa namanya. Ia tersadar bahwa dirinya sudah tak ada lagi di dalam kamar kosong, melainkan berada di luar rumah dengan suasana yang berbeda. Matanya menatap sekeliling, melihat bahwa rumah yang kini menjadi milik keluarga Lian tampak berbeda dan di belakang bangunan antik itu terdapat sebuah pondok mebel. Suara deru mesin pemotong kayu terdengar keras dan di sela-sela suara itu telinganya mendengar jeritan kesakitan seorang pemuda. "JANGAAAAAAN! SAKIIIIIIIIT!"Teriakan yang begitu memilukan itu membuat perhatian Keinara terpancing dan segera berlari menuju ke halaman belakang rumah. "Haaah? Apa ini?!"Keinara membulat matanya melihat kejadian yang menyeramkan. Seorang pemuda tampan sudah mulai menemui ajalnya, keadaannya begitu memprihatinkan. Mesin pemotomg kayu itu telah memotong beberapa bagian tubuhnya hidup-hidup.Tubuh pemuda itu hampir terbelah dan lehernya nyari
"Astaga! Ibu!" Yura bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju ke kamar ibunya. Dengan mata kepalanya yang melihat keadaan sang ibu begitu memprihatinkan. Tubuhnya kejang, suaranya tertahan seperti dicekik, matanya melotot menatap ke langit sembari tangannya menunjuk ke sisi kamar. "Ibu, kenapa? Ibu, sadar, Bu!" Yura berusaha menenangkan sang nenek, tapi kejang wanita itu tak bisa dihentikan. Sang ibu muda itu segera menghubungi suaminya, takut jika sesuatu hal terjadi pada ibunya dan ia butuh bantuan Lian. Tangannya gemetar menggenggam ponsel, sambungan telpon kini mulai terhubung."Halo? Pa, cepetan pulang. Ibu kejang-kejang!" tangis Yura yang mulai merasa cemas. Kabar darurat ini tentunya membuat Lian ikut khawatir, ia segera menghubungi dokter untuk datang ke kediamannya itu sedang dirinya bergegas pulang sembari berharap sesuatu yang lebih buruk tak akan terjadi. *Beralih pada suasana perkuliahan, Keinara terduduk. Tangannya menggenggam sebuah pensil dan melukiskan se