Yura dan Vanya mulai panik, sedang Keinara mulai melayang ke arah mereka dengan penuh amarah. Wanita muda itu berusaha untuk membuka pintu, tapi tak berhasil. Suara teriakannya sambil menggebrak-gebrak pintu terus dilakukan agar suaminya mendengar, tapi semua sia-sia karena tak ada siapapun yang dapat mendengar."PAAA, TOLOOONG!""Papa ... tolongin kami ... huhuhu."Vanya menangis seraya berlindung di tubuh ibunya, sesekali ia melihat ke arah Keinara yang sudah berdiri tepat di depannya. Rupa cantik itu berubah menjadi menyeramkan, kedua bola mata sang pengasuh berubah menjadi putih, lidahnya yang panjang mulai menjulur lalu melilit kaki Yura hingga wanita itu terjerembab. Begitu erat lilitan itu sampai-sampai tak dapat bangkit, tubuh sang ibu muda sedikit terseret. Wanita itu kini menjerit keras kesakitan membuat putri kecilnya menangis, tapi ia harus bertindak demi menyelamatkan ibunya. "Kak Kiyo jahat! Aku benci Kak Kiyo!" Vanya melontarkan semua rasa bencinya pada sang sahabat
Yura bersimpuh di depan putrinya seraya mengatakan sesuatu tentang Kiyo, bagaimana pun juga mereka harus terbebas dari teror ini. "Kamu gak rela Kak Kiyo pergi?" Wanita itu memandangi wajah putrinya lekat-lekat.Kepala gadis kecil itu menggeleng, kini rautnya menunjukkan ada sebuah tekanan yang tergambar jelas. Vanya seakan diintai oleh sesuatu yang tak kasat mata, tentunya adalah Kiyo yang seakan mengikuti langkahnya dengan penuh amarah. Gadis itu kemudian berbisik ke telinga ibunya, mengatakan perihal Kiyo."Kak Kiyo pengen sama Kak Kei terus."Kalimat yang jelas, tapi Vanya tidak bida mengatakannya dengan rinci. Yura memandang ke arah Lian dengan penuh tanda tanya tersimpan di kepala mereka. *Hujan deras disertai petir yang menyambar ke segala arah. Pasangan suami istri itu terduduk di ruang tamu membahas perkataan Vanya, meski cukup singkat tapi Yura mulai mengerti apa maksudnya. "Kiyo sepertinya jatuh cinta pada Keinara, dia tidak mau beranjak dari rumah ini." Kepala Lian me
"Maaf, maksud anda apa ya?" Keinara merasa kebingungan, tapi lagi-lagi Zein hanya bisa tersenyum lalu mengusap kepala gadis itu dengan lembut. "Ah, gak apa-apa. Kamu jangan pikirkan itu," ujarnya. Lian kini memgantar Zein berkeliling ruangan demi ruangan, terutama yang sering mendapat gangguan arwah penasaran Kiyo. Sesekali Vanya melarang mereka untuk mendekat ke titik dari sudut ruangan, gadis itu berkata Kiyo akan marah jika mereka mendekati titik yang sering muncul penampakan pemuda itu. Meski ragu, tapi Zein menuruti apa kata dari si gadis kecil itu. Mereka melanjutkan berkeliling sampai akhirnya mereka kembali ke ruang tamu. "Jadi gimana, Pak Zein?"Pria yang kira-kira berusia lebih dari Lian itu menopang dagunya seraya berpikir, mata keriputnya mulai menatap sekeliling ruangan hingga tertuju pada salah satu kamar yang ada di ruang tamu itu. Langkahnya mendekati pintu itu lalu menyentuh telapaknya di sana. Mata terpejam, seketika kejadian demi kejadian menyeramkan itu terlih
Kerumunan orang yang penasaran itu memenuhi halaman belakang rumah, tak sedikit pula ada yang membantu proses penggalian itu. Yura segera membawa Vanya dan Keinara menjauh dari tempat mereka terduduk, sedang Zein mulai merapalkan sebuah mantera dan berkomat-kamit berdoa. "Apa ini berhasil?" tanya Keinara yang sedikit cemas entah mengapa. Tepat setelahnya, sang bayi yang digendongnya mulai menangis kencang. Seberusaha mungkin pengasuh muda itu menenangkannya, tapi tetap bayi itu terus menangis dengan suara yang nyaring. "Kei, apa gak sebaiknya kita bawa masuk saja," usul Yura. Wanita itu merasakan ada hawa yang tak baik setelah gundukan tanah itu digali, pikirnya bayi itu merasakannya. Samar ujung mata Yura menangkap sosok seorang kakek tua berdiri dari kejauhan melihat mereka. Wanita itu cepat menyadari bahwa itu adalah Ki Jatmika. "Keinara, Vanya, kalian masuk ke dalam. Nanti Mama nyusul," titahnya pada mereka. Yura mengendap melangkah, tatapannya terfokus pada sang kakek. Dari
Suasana semakin kacau di halaman belakang, Lian merasa amat terpukul dengan kejadian ini. Zein meminta untuk dihentikan penggalian ini karena semakin tak kondusif, tapi ada sebuah kendala yang tak wajar di sana. "Kenapa kalian masih di situ? Ayo, naik ke permukaan!" titah pria itu. "Tubuh kami tidak bisa digerakkan!" Semua orang yang ada di sini terkejut, segera mereka mencoba untuk menolong dua penggali. Sementara itu mereka yang kerasukan segera dibawa ke rumah cenayang, sisanya Zein akan menanganinya. Mata batinnya mengatakan roh-roh jahat itu seakan diperintah oleh sosok yang lebih kuat dari mereka. Salah satu roh merasuki raga seorang gadis, terus memberontak tak ingin disembuhkan. "AKU TAK INGIN KELUAR DARI SINI!"Suara bariton itu tak membuat Zein gentar, telapaknya menempel di dahi gadis itu seraya merapalkan mantera agar roh itu tenang. "Sekarang katakan, siapa yang menyuruhmu kemari?" Alih-alih menjawab, roh yang merasuki tubuh itu malah tertawa menggelegar di dalam r
Genggaman yang lembut itu membuat Keinara mengingat sesuatu, dirinya juga pernah seperti ini dahulu tapi entah dengan siapa. Sementara Kiyo mengajaknya berkeliling desa dan suasananya membuat gadis itu pangling, ia tak yakin jika dirinya berada di dunianya sendiri. "Lumayan beda," ucapnya. "Ya, Kei. Ini adalah suasana jaman dahulu desa tempat kita tinggal."Kiyo menunjuk ke arah sebuah pohon yang menjadi tempat pertama kali pemuda itu bertemu dengan Keinara saat masih kecil. Pohon itu adalah kenangan bagi Kiyo dan pemuda itu selalu menanti sang gadis pengasuh sampai dirinya tiada pun penantian itu masih dilakukannya. "Kamu ingat tempat itu? Kita dahulu pernah bertemu di sana."Keinara menatap ke arah pohon besar itu, diingatannya ia pernah bertemu seorang anak lelaki misterius. Seperti hologram yang menunjukkan memori, bayangan dua anak kecil yang terduduk saling bercengkrama. Di titik ini, Keinara mulai mengingatnya. Kembali Kiyo mengajaknya ke tempat-tempat penuh kenangan. Semu
Keinara tak mengerti apa yang terjadi, tapi saat sebuah cahaya menyilaukan matanya dan membawanya kembali ke di masa ia hidup, seluruh orang di rumah Lian mengelilingi raganya. "Kak Kei!" seru Vanya menghamburkan diri ke pelukan pengasuhnya. Gadis itu menatap sekeliling. Dalam ingatannya sebelum memasuki masa lalu, dirinya terduduk di dekat tangga dan diserang oleh gadis yang kerasukan. Ia mendapati dirinya berada di dalam kamar. "Kei, syukurlah kamu sadar. Sudah dua hari ini kamu tak sadarkan diri," ujar Yura membuat gadis itu terkejut. "Apa, Bu? D-dua hari?" Kepalanya begitu pusing, ia tak mengerti apa yang terjadi. Semua begitu cepat dan Keinara juga belum sempat melepas rindu. Suara tangis bayi mulai terdengar memilukan, seakan haus pelukan ibunya. Segera Keinara beranjak dari tempat tidurnya untuk menghampiri bayinya.Banyak hal yang terjadi selama dua hari itu. Teror dari penghuni rumah yang menuntut balas semakin menjadi semenjak gundukan tanah di bawah pohon besar itu di
"Permisi. Ada yang bisa kami bantu, Mas?" Pria muda itu tak sedikitpun membuka mulut, membuat hawa sekitar semakin suram. Sekali lagi mereka mencoba bertanya hingga akhirnya pria muda itu mulai menjawab. Dengan suara yang pelan dan lirih, pria itu mengatakan maksud kedatangannya. "Antarkan saya ke toko mebel."Tiga pria yang tengah berpatroli desa itu saling menatap dengan raut keheranan, pasalnya semenjak tragedi terbunuhnya Kiyo, toko mebel itu tutup sampai saat ini. Tak pernah ada yang membicarakan atau bertanya tentangnya karena ada suatu hal yang membuat mereka semua ketakutan. "M-maaf, Mas. Tapi di sini gak ada toko mebel sama sekali. Dulu pernah ada, tapi sekarang ditutup.""Oh, gitu ya~." Suaranya yang begitu lirih bersamaan dengan kepalanya yang menoleh perlahan ke arah tiga pria itu. Pria asing itu menunjukkan sebuah kejutan yang membuat ketiganya merasa ketakutan, bahkan tak mampu bergerak. Dengan wajah yang setengah hancur dan kedua bola matanya yang keluar menoleh ke