Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata
***Perempuan dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya itu mulai berjalan menuju ke ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu sebuah ruangan kosong yang tidak pernah ditempati itu. "Bu Yura bilang pintu ini tidak pernah dibuka, dikunci pula dari luar. Kata beliau juga kuncinya gak tahu ada dimana. Terus kenapa waktu itu kebuka ya? Siapa yang buka?" gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya pada gagang pintu itu. Mencoba menekan engsel pintu itu, rupanya terkunci. Keinara pernah mendengar Yura menutup pintu ini, tapi setelah dicobanya untuk dibuka kembali, secara ajaib pintu itu terkunci. Kejanggalan pada ruangan itu seakan siapa saja tak boleh memasukinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. "Ya udah deh, mungkin kamarnya emang dibiarin gitu aja," gumamnya yang lalu membersihkan lemari kecil di ruang tamu, di samping ruangan misterius itu. Hal aneh kembali terjadi, tepat saat gadis itu membersihkan debu-debu di atas lemari kecil itu, terdengar suara decit pintu yang te
"Apa alasannya dia gak ngebolehin Kak Kei nemenin kamu main?" Pertanyaan itu kembali terlontar di mulut Keinara dengan perasaan yang masih syok. "Itu karena Kak Kei lagi hamil anaknya," jawab Vanya dengan rintihan. Entah gadis itu harus mempercayai cerita anak asuhnya, tapi yang dikatakan seorang anak kecil bukanlah isapan jempol belaka. Semua menjadi nyata tatkala sang pengasuh mulai merasakan sesuatu yang menggelitiki di dalam perutnya. Kepalanya menunduk ke arah perut yang mulai membuncit meski tak besar. "Nggak ... nggak mungkin! Aku gak mau hamil." Bulir air mata itu mulai keluar dari matanya yang bening, sedang Vanya juga ikut menangis karena cemas dengan keadaan kakak asuhnya. Keinara tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung bayi setan dari sosok yang entah apa namanya. Tentunya perut yang semakin membesar itu diketahui oleh Yura dan Lian. Kejadian yang amat janggal, terlebih semenjak Keinara dikatakan hamil, semakin banyak teror tak masuk akal di dalam r
Seketika Vanya menoleh ke arah sang pengasuh, tapi tatapannya terfokus pada perut Keinara yang semakin lama membesar dan menggembung. Hujan keringat di tubuh gadis itu membuat si anak asuh merasa cemas. Beranjak dari tempat tidur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seperti terdapat tangan yang memeganginya, suara gadis kecil yang malang itu pula seakan dibungkam. Sementara sang pengasuh berusaha untuk terbangun dari mimpi buruknya, berjuang untuk bangun. Namun saat netra indah terbuka, sosok wajah setengah hancur itu berada dekat dengannya. Keinara merasa sangat ketakutan, apalagi Vanya yang hanya bisa menangis. Tubuh sang pengasuh cantik itu seakan terbelenggu oleh tubuh aneh Kiyo. Jari-jemari bercakar yang mengusap perutnya membuatnya semakin mengembang. Melihat sang jin pelindungnya tengah menyerang pengasuhnya, Vanya berusaha untuk bersuara memanggil Kiyo agar menghentikannya. "K ... Ka ... Kak." Suaranya tertahan, tapi ia tak mudah menyerah. Seraya dalam hati berdoa agar gang
Di sepanjang perjamuan malam itu, mata sang nenek terfokus pada perut pengasuh Vanya yang membuncit. Tatapan sinis dan penuh kecurigaan itu membuatnya salah paham dengan menantunya sendiri. "Sudah berapa bulan?" tanyanya pada Keinara. "Sudah enam bulan." Gadis itu menunduk seraya mengusap perutnya. Sang nenek kembali bertanya, tapi kali ini pertanyaan itu akan menguras hati gadis muda. Wanita tua itu seperti menuduh Lian telah berselingkuh dengan Keinara. "Kamu hamil sama siapa?" Sontak Keinara tersentak mendengarnya lalu memasang wajah sendu. Tak disangka apa yang ditanyakan nenek dari Vanya itu telah membuat murka Kiyo. Diliriknya makhluk yang sudah memasang wajah amarahnya ke arah sang nenek. "Bu, gak baik tanya begitu." Yura menghentikan tindakan ibunya itu, tapi jika seorang wanita sudah curiga tentu akan sulit untuk mereda. "Apa kamu gak curiga sama suamimu, Yur?" "Tapi---""Seorang gadis pengasuh, wajahnya cantik pula. Pasti dia suka merebut suami orang, mana mungkin ng
Keinara terhenyak sesaat mendengar bisikan itu. Raganya seakan dibawa melayang menuju ke sebuah tempat yang entah apa namanya. Ia tersadar bahwa dirinya sudah tak ada lagi di dalam kamar kosong, melainkan berada di luar rumah dengan suasana yang berbeda. Matanya menatap sekeliling, melihat bahwa rumah yang kini menjadi milik keluarga Lian tampak berbeda dan di belakang bangunan antik itu terdapat sebuah pondok mebel. Suara deru mesin pemotong kayu terdengar keras dan di sela-sela suara itu telinganya mendengar jeritan kesakitan seorang pemuda. "JANGAAAAAAN! SAKIIIIIIIIT!"Teriakan yang begitu memilukan itu membuat perhatian Keinara terpancing dan segera berlari menuju ke halaman belakang rumah. "Haaah? Apa ini?!"Keinara membulat matanya melihat kejadian yang menyeramkan. Seorang pemuda tampan sudah mulai menemui ajalnya, keadaannya begitu memprihatinkan. Mesin pemotomg kayu itu telah memotong beberapa bagian tubuhnya hidup-hidup.Tubuh pemuda itu hampir terbelah dan lehernya nyari
"Astaga! Ibu!" Yura bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju ke kamar ibunya. Dengan mata kepalanya yang melihat keadaan sang ibu begitu memprihatinkan. Tubuhnya kejang, suaranya tertahan seperti dicekik, matanya melotot menatap ke langit sembari tangannya menunjuk ke sisi kamar. "Ibu, kenapa? Ibu, sadar, Bu!" Yura berusaha menenangkan sang nenek, tapi kejang wanita itu tak bisa dihentikan. Sang ibu muda itu segera menghubungi suaminya, takut jika sesuatu hal terjadi pada ibunya dan ia butuh bantuan Lian. Tangannya gemetar menggenggam ponsel, sambungan telpon kini mulai terhubung."Halo? Pa, cepetan pulang. Ibu kejang-kejang!" tangis Yura yang mulai merasa cemas. Kabar darurat ini tentunya membuat Lian ikut khawatir, ia segera menghubungi dokter untuk datang ke kediamannya itu sedang dirinya bergegas pulang sembari berharap sesuatu yang lebih buruk tak akan terjadi. *Beralih pada suasana perkuliahan, Keinara terduduk. Tangannya menggenggam sebuah pensil dan melukiskan se
Yura dan Vanya mulai panik, sedang Keinara mulai melayang ke arah mereka dengan penuh amarah. Wanita muda itu berusaha untuk membuka pintu, tapi tak berhasil. Suara teriakannya sambil menggebrak-gebrak pintu terus dilakukan agar suaminya mendengar, tapi semua sia-sia karena tak ada siapapun yang dapat mendengar."PAAA, TOLOOONG!""Papa ... tolongin kami ... huhuhu."Vanya menangis seraya berlindung di tubuh ibunya, sesekali ia melihat ke arah Keinara yang sudah berdiri tepat di depannya. Rupa cantik itu berubah menjadi menyeramkan, kedua bola mata sang pengasuh berubah menjadi putih, lidahnya yang panjang mulai menjulur lalu melilit kaki Yura hingga wanita itu terjerembab. Begitu erat lilitan itu sampai-sampai tak dapat bangkit, tubuh sang ibu muda sedikit terseret. Wanita itu kini menjerit keras kesakitan membuat putri kecilnya menangis, tapi ia harus bertindak demi menyelamatkan ibunya. "Kak Kiyo jahat! Aku benci Kak Kiyo!" Vanya melontarkan semua rasa bencinya pada sang sahabat