Share

BAB 3

"Aaaaaaaa!" jerit gadis itu membuat si anak asuh berlari menghampirinya.

"Kak Kei kenapa?" Vanya menepuk bahu sang pengasuh. 

Kepalanya menoleh dengan wajah yang pucat lalu melihat lagi foto itu. Terlihat baik-baik saja, tak ada yang salah dengan barang itu. 

"Gak apa-apa, Sayang," sahut Keinara menoleh ke arah Vanya.

Gadis itu menoleh ke arah anak asuhnya, tapi yang ia dapat adalah sesuatu yang lebih mengerikan. Tubuhnya terpaku, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, membeku bagai es. Kini, yang di hadapannya bukanlah Vanya, melainkan makhluk berwajah hancur menatap ke sudut ketakutannya dengan senyum mengerikan. 

"Mau main, Kak?" Suara anak kecil itu berubah berat membuat mulutnya yang membungkam ingin berteriak. 

"HAHAHAHAHAHAHA!"

***

Keinara terperanjat dalam kegelapan kamar, terbangun dengan keringat yang membasahi dahi. Mimpi menyeramkan seperti amat nyata, tangannya yang merasakan pecahan foto itu masih terasa.

Gadis muda itu mengusap wajahnya dengan kasar, menyilakan rambut poninya ke belakang. Suara yang amat bising seperti seseorang membelah kayu di pagi subuh, tambah dengan bau kayu jati yang semerbak tercium hingga ke kamar. Keinara tak mempermasalahkan itu karena yang ada di pikirannya adalah toko mebel yang tak jauh dari rumah Yura. 

Ia melangkah menuju ke dapur, tampak seorang wanita dengan baju tidur tengah menyiapkan sarapan. 

"Eh, Kei, kamu bangun?" tanya Yura sambil menoleh ke arahnya. 

"Iya, Bu."

Dahinya mengernyit, corong telinganya terfokus mendengar suara bising gergaji mesin yang terdengar dari kejauhan. Bau kayu jati juga masih tercium aromanya, ini seakan janggal bagi Keinara karena jarak toko mebel itu sedikit jauh dari rumah itu. Mustahil jika bau kayu tercium hingga ke tempatnya memijak kecuali jika ada penebang kayu jati.

"Tumben pagi-pagi udah ada yang motong kayu."

Yura menoleh ke arah gadis itu dengan raut heran penuh kebingungan. 

"Motong kayu?"

"Iya. Ibu gak denger?" 

Yura tambah kebingungan, telinganya yang sudah meruncing itu tak bisa mendengar apapun selain suara ayam jago yang berkokok. 

"Jangan bercanda, Kei. Saya gak dengar apa-apa, lho." 

Kini, giliran Keinara yang keheranan. Jika Yura tak bisa mendengar, lalu suara bising itu datang darimana? 

"Lagian, mana ada toko mebel yang buka jam segini."

Penjelasan sang ibu muda cukup membuatnya membungkam. Suara gergaji mesin sudah tak terdengar lagi, ia merasa bahwa itu adalah halusinasinya. Segera ditepis pikiran itu darinya dan bergegas membantu Yura. 

"Kei, saya mau pergi sama Bapak ke rumah orangtua saya. Kamu jaga Vanya, ya," ujar Yura berpesan. 

"Vanya gak ikut, Bu?" tanya gadis itu seraya membawa hidangan ke atas meja makan. 

"Belakangan anak saya gak mau diajak." 

Sang pengasuh hanya mengangguk pelan, meski di hatinya ada rasa cemas yang tak karuan apalagi ia hanya berdua dengan Vanya. Lebih mengejutkannya, pasutri itu akan berada di sana selama dua minggu. Ini adalah sebuah tantangan dimana teror sudah dimulai, jika ia tak berani mengutarakan maka selamanya Keinara akan terjebak. 

Tepat pukul tujuh pagi, Yura dan Lian berangkat menuju ke rumah sang nenek. Tangan mereka melambai seiring mobil berjalan dan akhirnya gadis kecil itu ditinggal bersama sang pengasuh. 

"Kak Kei, kita main yuk."

Gadis itu membalas dengan anggukan. Mereka memutuskan untuk bermain rumah-rumahan dan berperan sebagai ibu dan anak. Keinara berusaha menghilangkan sikap canggungnya jika berhadapan dengan anak kecil, apalagi mereka ditinggal berdua saja. 

Vanya datang membawa boneka kesayangannya, kemudian duduk di pangkuan pengasuh cantiknya itu. Anak itu hanya terdiam dan merasakan tubuhnya begitu dingin. 

"Dek Vanya, kapan kita mainnya?" tanya Keinara dengan perasaan heran penuh kecanggungan. 

Gadis mungil itu terdiam seribu bahasa sampai kesunyian di ruang tamu itu merambat, perlahan kepalanya menoleh ke arahnya. Tatapan mata kecil melekat, menatap kepada wajah cantiknya, kini ia merayap ingin memeluk Keinara. Telapak tangan mungil sesekali menyentuh dadanya yang menggembul, meremas dengan penuh semangat hingga Keinara sadar bahwa ada sesuatu yang salah pada anak asuhnya. 

"Kak Keinara!" 

Suara teriakan dari gadis kecil membuatnya tersadar, ia menoleh cepat ke belakang. Raga Vanya begitu nyata di netranya, jantungnya seperti berhenti seketika. 

"Kakak nunggu aku ya?" 

Mulutnya masih terdiam, ia kembali melihat ke depan. Sosok Vanya yang ada di pangkuannya hilang, ia kembali menoleh ke arah sang anak asuh yang merasa keheranan. 

"B-bukannya kamu ada di sini?" 

"Maksud Kak Kei apa? Vanya kan dari tadi ke dapur."

Kepalanya tak bisa mencerna apapun, jelas yang dipangkuannya adalah Vanya. Punggung tangannya kini mencoba meraba dan merasakan suhu tubuh gadis kecil itu, terasa hangat. Kini, ia termenung dengan semua keanehan ini. 

"Kakak gak apa-apa, 'kan?" tanya Vanya yang mulai mencemaskannya. 

"Nggak apa-apa. Ayo, kita main." 

Permainan akhirnya dimulai juga, berharap dengan bermain ia akan melupakan semua kejadian itu. Tinggal berdua bersama anak kecil tak terlalu buruk baginya, belum lagi ia pernah meminta seorang adik. Namun, jika hanya tinggal berdua dengan seorang anak kecil yang peka pada sekitar ia pasti akan mendapat kisah yang mengerikan.

Di pertengahan permainan, Vanya menatap lurus ke suatu arah. Rautnya berubah panik, kepalanya menggeleng pertanda ia sedang menolak sesuatu. Berkali-kali tangannya melambai cepat dan berteriak seperti mengusir sesuatu. 

"Kakak janji gak boleh nakal. Aku nanti ngambek!" bentak gadis kecil itu.

"Kamu ngomong apa sih, Dek?" 

"Aku gak ngomong sama Kak Kei, tapi ngomong sama dia." Telunjuk Vanya mengarah pada sesuatu tepat di belakang Keinara. 

Ia menoleh ke tempat dimana anak asuhnya menunjuk, tapi di sana tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. Hanya ada ruangan kosong yang terbuka dan itu sangatlah gelap. 

"Kakak gak lihat apa-apa," ujarnya sambil menoleh kepada gadis berusia enam tahun itu.

"Memangnya kamu lihat apa?" imbuh Keinara bertanya.

Kepala Vanya menunduk, ia seakan tak berani melihat lagi ke ruangan kosong itu. Wajahnya mulai pucat, perlahan mendekat dan memeluk tubuhnya sambil menangis. Segera ditenangkannya sang anak asuh, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. 

Dalam tangisnya ia berbisik ke telinga Keinara, merintih ketakutan. 

~***~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status