Share

BAB 4

"Ada Kak Kiyo di situ," bisik Vanya sambil membenamkan wajahnya ke leher pengasuhnya. 

Nama yang tentunya sudah ia dengar kesekian kalinya, tapi gadis itu kini tak antusias untuk menyambut "sahabat"nya dengan riang. Keinara merasakan aura gadis kecil yang begitu dikekang oleh seseorang di luar keluarganya. 

Romanya seakan mendeteksi sesuatu yang mengintainya di belakang. Ruangan gelap yang nampak sepi seakan tak ada kehidupan, merasa bahwa ada seseorang di dalam sana. Namun, siluet samar menggambarkan sesosok pemuda tertunduk lalu menatap ke arahnya dengan tatapan marah. 

Suara derap langkah dari arah ruangan itu semakin lama, semakin mendekat. Meskipun samar, tapi Keinara dapat memdengar suara hembusan napas yang kuat seakan gembira menemukan mangsa. Gelap sendu hari itu memambah aura mencekam. 

PLAK, PLAK, PLAK! 

Samar terdengar suara kepakan yang semakin keras dan cepat. 

"Ayo, Kak!" Vanya menarik tangannya menjauh dari ruang tamu. 

Gadis itu tak berani lagi untuk menoleh ke belakang. Mereka melangkah melewati dapur menuju ke halaman belakang. 

"Tunggu, Van!" serunya sembari mengatur napas. 

"Kita di sini dulu aja ya, Kak," ujar gadis kecil itu seraya terduduk. 

"Ada apa emangnya?" 

"Kak Kiyo, mau nyerang Kakak."

Gadis itu hanya terdiam sembari mengatur napas yang begitu sesak di dada. Mengintip ke dapur, tampak semuanya baik-baik saja. Keinara mengajak Vanya untuk masuk ke dalam ruangan yang remang di pagi hari. 

*

Suara burung hantu dalam kegelapan, sepi merambat ke segala penjuru desa. Satu-persatu warga mulai menutup jendela dan pintu sejak senja tiba. Waktu dimana tubuh manusia harus merebahkan dirinya, meng-istirahatakan tenaganya. 

Keinara membasuh wajahnya di wastafel beberapa kali, suara keran air itu terdengar di tengah sunyinya dunia. Ruang kamar mandi yang menggema cukup membuatnya memberanikan diri melakukan rutinitasnya. 

Tangannya meraih pasta dan sikat gigi, menggosok gigi-gigi putih itu seraya memandangi bayangannya di cermin. Ujung matanya menangkap sesuatu yang melesat melewati pintu toilet, menyebrangi cahaya ruangan itu. 

"Dek Vanya!" serunya menembus sepi. 

Segera ia menyelesaikan urusannya di toilet. Dibasuhnya kembali wajah cantiknya, kemudian mengeringkannya dengan handuk. Waktu di dalamya terasa lama sampai dirinya membuka mata melihat ke arah cermin. 

"Hah!" Tubuhnya serasa lemas melihat sosok pemuda berwajah hancur itu berdiri di belakangnya. 

Ia menoleh, tapi tampak tak ada seorang pun yang berpijak di sana. Hanya dirinya. 

"Cuma perasaanku aja," gumamnya.

Sesegera mungkin untuk pergi ke kamar dan merebahkan diri. Bulu roma yang berdiri setiap kali malam tiba, suara langkah kakinya berpijak di lantai. Ruangan yang gelap dengan hawa malam dingin. 

Keinara terus memeluki tubuhnya sepanjang jalan menuju ke kamar. Ia sangat lega dirinya telah menjangkau ruangan pribadinya itu. 

"Saatnya tidur." 

Tubuhnya menoleh tepat saat ia memasuki ruangan, sosok misterius itu nampak dari kejauhan. Matanya samar menatap dengan ketajaman membuat si gadis gemetar. Tubuhnya serasa terpatri, kaku tak bisa bergerak sedangkan sosok itu semakin lama bergerak mendekatinya. 

Gadis manis itu tetap tak dapat bergerak, seakan dirinya membeku. Matanya tak dapat menutup, ia tak dapat menoleh. Sosok itu semakin lama, semakin berjalan ke arahnya dan jaraknya mulai dekat. 

Darah yang mengucur dari wajah sosok itu mentes hingga ke lantai. Belatung dan cacing-cacing kecil menghiasi wajahnya yang hancur itu. Napas Keinara tersengal, keringat dingin mengucur deras. Semakin dekat dan dekat hingga tubuhnya merasa lemas. 

"Jangan ... j ... jangan!" 

Berusaha menggerakkan tubuhnya terus -menerus sambil melirik ke sosok yang semakin mendekatinya. Sosok itu terbang melesat ke arahnya, sangat amat cepat bagai angin kencang. 

Ia melayang lalu mendarat, berhenti di depannya dengan jarak yang sangat tipis. Jantung Keinara bagaikan ingin copot melihat sosok dengan rupa yang tak karuan. Hantu itu mulai mendekat ke wajahnya dengan suara yang amat pelan seperti angin yang membawanya.

"Jangan lupakan aku, Kei."

Bisikan itu membuat tubuhnya meremang, sosok itu berangsur menghilang bersamaan gadis itu terlentang di atas lantai tak sadarkan diri. 

Perkataan dari sosok itu masih terngiang-ngiang di kepalanya, bahkan esok pagi suara itu masih berdengung seakan sosok pemuda itu mengenalinya. 

Melihat isi kulkas yang kosong, menandakan dirinya harus membeli sesuatu untuk dimasak. Melangkahkan kaki menuju ke tempat kios bahan masakan itu berada, melihat suasana yang benar-benar membuatnya harus mengingat sesuatu. 

"Keinara? Kamu Keinara, 'kan?" 

Seorang wanita paru baya tampak mengenali dirinya, tapi gadis itu tak bisa mengingat apapun. Ia hanya mengangguk pelan lalu kembali melangkah. Kios itu berada di ujung jalan desa, tampak para wanita di sana berkumpul dan terkejut melihat Keinara. 

Mereka mematung penuh haru, tapi dirinya masih tak mengerti. Dalam kebingungan itu, seorang wanita bersimpuh di depannya. 

"Keinara, akhirnya kamu kembali."

Wanita itu menangis histeris sembari bersujud di kakinya seolah harapannya terwujud.

~***~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status