"Ada Kak Kiyo di situ," bisik Vanya sambil membenamkan wajahnya ke leher pengasuhnya.
Nama yang tentunya sudah ia dengar kesekian kalinya, tapi gadis itu kini tak antusias untuk menyambut "sahabat"nya dengan riang. Keinara merasakan aura gadis kecil yang begitu dikekang oleh seseorang di luar keluarganya.
Romanya seakan mendeteksi sesuatu yang mengintainya di belakang. Ruangan gelap yang nampak sepi seakan tak ada kehidupan, merasa bahwa ada seseorang di dalam sana. Namun, siluet samar menggambarkan sesosok pemuda tertunduk lalu menatap ke arahnya dengan tatapan marah.
Suara derap langkah dari arah ruangan itu semakin lama, semakin mendekat. Meskipun samar, tapi Keinara dapat memdengar suara hembusan napas yang kuat seakan gembira menemukan mangsa. Gelap sendu hari itu memambah aura mencekam.
PLAK, PLAK, PLAK!
Samar terdengar suara kepakan yang semakin keras dan cepat.
"Ayo, Kak!" Vanya menarik tangannya menjauh dari ruang tamu.
Gadis itu tak berani lagi untuk menoleh ke belakang. Mereka melangkah melewati dapur menuju ke halaman belakang.
"Tunggu, Van!" serunya sembari mengatur napas.
"Kita di sini dulu aja ya, Kak," ujar gadis kecil itu seraya terduduk.
"Ada apa emangnya?"
"Kak Kiyo, mau nyerang Kakak."
Gadis itu hanya terdiam sembari mengatur napas yang begitu sesak di dada. Mengintip ke dapur, tampak semuanya baik-baik saja. Keinara mengajak Vanya untuk masuk ke dalam ruangan yang remang di pagi hari.
*
Suara burung hantu dalam kegelapan, sepi merambat ke segala penjuru desa. Satu-persatu warga mulai menutup jendela dan pintu sejak senja tiba. Waktu dimana tubuh manusia harus merebahkan dirinya, meng-istirahatakan tenaganya.
Keinara membasuh wajahnya di wastafel beberapa kali, suara keran air itu terdengar di tengah sunyinya dunia. Ruang kamar mandi yang menggema cukup membuatnya memberanikan diri melakukan rutinitasnya.
Tangannya meraih pasta dan sikat gigi, menggosok gigi-gigi putih itu seraya memandangi bayangannya di cermin. Ujung matanya menangkap sesuatu yang melesat melewati pintu toilet, menyebrangi cahaya ruangan itu.
"Dek Vanya!" serunya menembus sepi.
Segera ia menyelesaikan urusannya di toilet. Dibasuhnya kembali wajah cantiknya, kemudian mengeringkannya dengan handuk. Waktu di dalamya terasa lama sampai dirinya membuka mata melihat ke arah cermin.
"Hah!" Tubuhnya serasa lemas melihat sosok pemuda berwajah hancur itu berdiri di belakangnya.
Ia menoleh, tapi tampak tak ada seorang pun yang berpijak di sana. Hanya dirinya.
"Cuma perasaanku aja," gumamnya.
Sesegera mungkin untuk pergi ke kamar dan merebahkan diri. Bulu roma yang berdiri setiap kali malam tiba, suara langkah kakinya berpijak di lantai. Ruangan yang gelap dengan hawa malam dingin.
Keinara terus memeluki tubuhnya sepanjang jalan menuju ke kamar. Ia sangat lega dirinya telah menjangkau ruangan pribadinya itu.
"Saatnya tidur."
Tubuhnya menoleh tepat saat ia memasuki ruangan, sosok misterius itu nampak dari kejauhan. Matanya samar menatap dengan ketajaman membuat si gadis gemetar. Tubuhnya serasa terpatri, kaku tak bisa bergerak sedangkan sosok itu semakin lama bergerak mendekatinya.
Gadis manis itu tetap tak dapat bergerak, seakan dirinya membeku. Matanya tak dapat menutup, ia tak dapat menoleh. Sosok itu semakin lama, semakin berjalan ke arahnya dan jaraknya mulai dekat.
Darah yang mengucur dari wajah sosok itu mentes hingga ke lantai. Belatung dan cacing-cacing kecil menghiasi wajahnya yang hancur itu. Napas Keinara tersengal, keringat dingin mengucur deras. Semakin dekat dan dekat hingga tubuhnya merasa lemas.
"Jangan ... j ... jangan!"
Berusaha menggerakkan tubuhnya terus -menerus sambil melirik ke sosok yang semakin mendekatinya. Sosok itu terbang melesat ke arahnya, sangat amat cepat bagai angin kencang.
Ia melayang lalu mendarat, berhenti di depannya dengan jarak yang sangat tipis. Jantung Keinara bagaikan ingin copot melihat sosok dengan rupa yang tak karuan. Hantu itu mulai mendekat ke wajahnya dengan suara yang amat pelan seperti angin yang membawanya.
"Jangan lupakan aku, Kei."
Bisikan itu membuat tubuhnya meremang, sosok itu berangsur menghilang bersamaan gadis itu terlentang di atas lantai tak sadarkan diri.
Perkataan dari sosok itu masih terngiang-ngiang di kepalanya, bahkan esok pagi suara itu masih berdengung seakan sosok pemuda itu mengenalinya.
Melihat isi kulkas yang kosong, menandakan dirinya harus membeli sesuatu untuk dimasak. Melangkahkan kaki menuju ke tempat kios bahan masakan itu berada, melihat suasana yang benar-benar membuatnya harus mengingat sesuatu.
"Keinara? Kamu Keinara, 'kan?"
Seorang wanita paru baya tampak mengenali dirinya, tapi gadis itu tak bisa mengingat apapun. Ia hanya mengangguk pelan lalu kembali melangkah. Kios itu berada di ujung jalan desa, tampak para wanita di sana berkumpul dan terkejut melihat Keinara.
Mereka mematung penuh haru, tapi dirinya masih tak mengerti. Dalam kebingungan itu, seorang wanita bersimpuh di depannya.
"Keinara, akhirnya kamu kembali."
Wanita itu menangis histeris sembari bersujud di kakinya seolah harapannya terwujud.
~***~
Gadis itu terpaku, matanya menatap dengan perasaan campur aduk. Kakinya berusaha menghindar, tapi cengkeraman wanita itu sangat kuat. Serasa betisnya digenggam erat sampai tulangnya mati rasa. Bagai diperas oleh tangan-tangan kejam, serasa cairan merah mengucur dari sana. Suara wanita paru baya yang menangis itu semakin lama berubah menjadi jeritan dicampur dengan tawa. "Bu, anda kenapa?" Keinara mencoba untuk menyadarkan wanita itu dari sujudnya. Perlahan telapaknya mengusap bahu sang ibu rumah tangga, sentuhannya disambut dengan tawa. Suara seperti retakan terdengar ketika wanita itu menoleh ke wajahnya dengan perlahan. Mata yang memutih dan senyum penuh kekejaman tergambar di wajah hancur wanita itu. "KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA PERGI!" ucap wanita itu dengan suara berat. Seketika Keinara mematung, ia mengalihkan pandangan ke arah wanita-wanita yang berkumpul di sana. Raut-raut menyeramkan itu tertangkap oleh matanya, keadaan wanita-wanita itu tak jauh berbeda. Mereka melotot
Yura berlari kencang sambil melupakan keberadaan sang kakek misterius itu. Suara teriakan gadis itu semakin mengeras menggema di ruang-ruang rumah. "Kei!" jerit wanita itu mendapati Keinara tengah kerasukan. Dari bola matanya yang memutih, ada sebuah raut kemarahan dan rasa bangga. Gadis itu telah dikuasai sepenuhnya oleh sosok halus yang merasukinya. Sementara itu, warga yang mengantar Keinara ke rumah Vanya merasa tak kuasa menahan berat tubuh sang pengasuh cantik itu, ditambah tubuhnya terus meronta-ronta."LEPASIN!" jerit gadis itu sambil menepis pegangan para warga. Tepisan itu begitu kuat sampai-sampai para warga terpental sedikit jauh. Tubuh Keinara melayang, suara tawanya kencang membahana seperti tawa seorang pria. Ia berjalan tanpa sadar menuju ke pekarangan belakang rumah, sedang Yura dan yang lain mengikuti gadis itu. Perempuan muda nan cantik itu berdiri mematung menghadap pohon, kemudian berjongkok dan mencakar-cakar gundukan tanah di bawah pohon itu sambi meraung. S
"Pa, lihat, Pa!" seru wanita itu sambil terus menatap ke arah ranjang tidur. Lian terkejut saat ia melihat hal yang tak akan pernah ia lupakan. Pasangan suami-istri itu memandang dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Keinara melayang di atas ranjang. Gadis itu tampak lemas tak berdaya dan matanya terpejam. "Tidak mungkin," gumam Lian menenangkan pikirannya yang tetap tak percaya dengan semua hal janggal itu. Aroma semerbak kayu yang tengah dibelah itu tercium sangat kuat di sekeliling kamar sang pengasuh. Pandangan pasutri itu tiba-tiba kabur, tangan mereka mencoba meraih tubuh Kei. Samar sosok hitam muncul seakan menggendong tubuh gadis itu. Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Hingga titik dimana mereka lebih melebarkan mata, tubuh yang lemas itu serasa kaku seketika. Di hadapan mereka bukanlah sosok manusia. "GADIS INI MILIKKU!"Suara berat menggelegar, tapi sebaliknya suara pasangan suami-istri seakan dibungkam dan mereka tak bisa membangunkan Keinara. Mereka terpaku mel
Keinara merasa ragu untuk keluar dari rumah itu setelah kejadian semalam, ditambah gangguan yang menyerangnya sering kali ia dapatkan. Baik siang maupun malam, makhluk halus di dalam sana seakan tak ingin dirinya tenang. Meski pemikiran untuk dropout dari tempatnya berkuliah terus mengitari kepalanya, tapi seorang dosen mencegahnya untuk pergi dari sana. Itulah mengapa pagi ini, dirinya sudah siap untuk berangkat kuliah. "Bu, saya pamit kuliah dulu ya?" Dijabatnya tangan sang nyonya rumah kemudian diciumnya tangan lembut itu. Yura merasa sangat cemas dengan keadaan pengasuh putrinya, ia tak khawatir akan terjadi sebuah hal buruk menimpanya. "Kamu yakin mau berangkat ke kampus, Nak?" tanya wanita itu dengan perasaan yang dilema di antara kekhawatiran. "Iya, Bu. Saya yakin. Cuma bentar aja, kok, nanti saya balik lagi." Ucapan Keinara itu sedikit membuat hatinya tenang, tapi dirinya juga masih mencemaskan gadis itu. Hingga waktu dimana Yura harus melepas Keinara untuk pergi sejenak
Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata
***Perempuan dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya itu mulai berjalan menuju ke ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu sebuah ruangan kosong yang tidak pernah ditempati itu. "Bu Yura bilang pintu ini tidak pernah dibuka, dikunci pula dari luar. Kata beliau juga kuncinya gak tahu ada dimana. Terus kenapa waktu itu kebuka ya? Siapa yang buka?" gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya pada gagang pintu itu. Mencoba menekan engsel pintu itu, rupanya terkunci. Keinara pernah mendengar Yura menutup pintu ini, tapi setelah dicobanya untuk dibuka kembali, secara ajaib pintu itu terkunci. Kejanggalan pada ruangan itu seakan siapa saja tak boleh memasukinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. "Ya udah deh, mungkin kamarnya emang dibiarin gitu aja," gumamnya yang lalu membersihkan lemari kecil di ruang tamu, di samping ruangan misterius itu. Hal aneh kembali terjadi, tepat saat gadis itu membersihkan debu-debu di atas lemari kecil itu, terdengar suara decit pintu yang te
"Apa alasannya dia gak ngebolehin Kak Kei nemenin kamu main?" Pertanyaan itu kembali terlontar di mulut Keinara dengan perasaan yang masih syok. "Itu karena Kak Kei lagi hamil anaknya," jawab Vanya dengan rintihan. Entah gadis itu harus mempercayai cerita anak asuhnya, tapi yang dikatakan seorang anak kecil bukanlah isapan jempol belaka. Semua menjadi nyata tatkala sang pengasuh mulai merasakan sesuatu yang menggelitiki di dalam perutnya. Kepalanya menunduk ke arah perut yang mulai membuncit meski tak besar. "Nggak ... nggak mungkin! Aku gak mau hamil." Bulir air mata itu mulai keluar dari matanya yang bening, sedang Vanya juga ikut menangis karena cemas dengan keadaan kakak asuhnya. Keinara tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung bayi setan dari sosok yang entah apa namanya. Tentunya perut yang semakin membesar itu diketahui oleh Yura dan Lian. Kejadian yang amat janggal, terlebih semenjak Keinara dikatakan hamil, semakin banyak teror tak masuk akal di dalam r
Seketika Vanya menoleh ke arah sang pengasuh, tapi tatapannya terfokus pada perut Keinara yang semakin lama membesar dan menggembung. Hujan keringat di tubuh gadis itu membuat si anak asuh merasa cemas. Beranjak dari tempat tidur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seperti terdapat tangan yang memeganginya, suara gadis kecil yang malang itu pula seakan dibungkam. Sementara sang pengasuh berusaha untuk terbangun dari mimpi buruknya, berjuang untuk bangun. Namun saat netra indah terbuka, sosok wajah setengah hancur itu berada dekat dengannya. Keinara merasa sangat ketakutan, apalagi Vanya yang hanya bisa menangis. Tubuh sang pengasuh cantik itu seakan terbelenggu oleh tubuh aneh Kiyo. Jari-jemari bercakar yang mengusap perutnya membuatnya semakin mengembang. Melihat sang jin pelindungnya tengah menyerang pengasuhnya, Vanya berusaha untuk bersuara memanggil Kiyo agar menghentikannya. "K ... Ka ... Kak." Suaranya tertahan, tapi ia tak mudah menyerah. Seraya dalam hati berdoa agar gang