Share

Penyesalan Jojo

Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.

Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya. 

[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?]

[Belum pulang, Ma. Lembur.]

[Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.]

[Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.]

[Lho, kenapa?]

[Ini 'kan selain anak pertama aku dan Mas Jojo juga cucu pertama untuk Mama, Papa, Ibu, Bapak. Mas Jojo nggak mau aku kecapean. Jadi dia mau aku berhenti aja, biar lebih fokus menjaga kehamilan ini.]

Sari terpaksa berbohong agar membuat kedua orang tuanya tenang dan senang. Kedua orang tuanya hingga memuji perhatian Jojo, menantu satu-satunya mereka yang sangat baik di mata. 

Setelah mengobrol beberapa menit, mereka pun mengakhiri panggilan. Sari melihat jam pada gawainya. Lalu, membuka aplikasi percakapan. Mencari nomor telepon suaminya. Tidak ada pesan dari lelaki itu. 

[Mas, kamu malam ini pulang?]

Sari menggeleng dengan pesan yang siap dikirim. Pertanyaan apa itu, pikirnya. Ia ingin segera tidur. Setidaknya jika mengetahui suaminya tidak pulang, bisa terlelap segera. Namun, Sari urungkan dan kembali menghapusnya. 

Wanita itu membawa bantal serta selimut ke depan ruang tamu, lalu tidur di sofa. Berjaga jika nanti Jojo pulang, ia tidak akan susah dibangunkan. 

Dua jam berlalu. Waktu jam pulang Jojo tiba. Sari pun telah terlelap. Tidak ada tanda kepulangan Jojo. Lelaki itu turun seperti biasa di halte perumahannya. Namun, setelah jalanan tampak sepi, tak lama Erika datang menggunakan sepeda motor. Mereka pun pulang ke kosan Erika. 

***

"Sari hamil," ucap Jojo. Lelaki itu baru selesai membersihkan diri setelah pulang kerja dan menghampiri Erika yang berbaring di ranjang dengan bermain gawai. 

Kekasihnya itu segera menghentikan jemarinya yang sedari tadi sibuk. Lalu, mengalihkan pandangan ke arah Jojo. 

"Terus? Apa semua itu akan membatalkan rencana pernikahan kita?"

"Aku rasa iya, setidaknya menanti hingga dia melahirkan."

"Maksud kamu gimana?" Ia beranjak dari ranjang, duduk bersandar pada dinding. Matanya pun terbelalak, kesal. Menatap Jojo yang merubah rencana tanpa berdiskusi dengannya dulu. 

"Aku nggak bisa menceraikan dia jika sedang hamil. Kau tahu itu 'kan?"

"Ya, apa salahnya kalau tetap menikah. Nanti 'kan bisa kau menceraikannya setelah melahirkan."

Jojo terdiam, tidak menjawab apapun ucapan Erika. Ia memunggungi kekasihnya dan mencoba memejamkan mata. Mungkin tidur solusi terbaik untuk saat ini, pikirnya. 

Namun, Erika menarik tubuh Jojo. Meminta lelaki itu menghadap ke arahnya.

"Kita belum selesai bicara. Kenapa kamu tinggal aku tidur?"

"Aku capek. Besok kita bahas lagi, ya? Ini juga sudah larut. Aku harus berangkat pagi besok."

Erika segera meninggalkan Jojo. Ia bangkit dari ranjang. Mengambil sekotak rokok dari nakas beserta korek gas. Lalu, keluar kamar. 

Jojo yang tengah merasakan tubuhnya sangat lelah, membiarkan gadisnya pergi. Ia merasa sangat butuh beristirahat. Bahkan tubuhnya terasa sangat dingin, tidak seperti biasanya. Ia mencoba tidur, agar esok pagi bisa lebih fit. 

Satu jam berlalu, Jojo merasakan tubuhnya semakin dingin hingga menggigil. Ia pun tidak dapat tertidur pulas. Wajahnya terasa sangat panas. Perlahan Jojo membuka mata, mencari keberadaan Erika. Namun, kekasihnya itu tidak ada di kamar. 

Sambil tertatih, Jojo mencoba bangkit dari ranjang. Membuka pintu dan mendapati Erika yang tengah menghisap batang nikotin. Tak hanya itu, gadis itu ditemani oleh sebotol minuman beralkohol. Jojo menggeleng. Mengajaknya masuk. Namun, Erika marah. Ia menolak dan tetap tinggal di luar sambil menenggak botol itu. 

"Hon, aku pulang saja kalau begitu, ya?"

"Hah? Pulang?" Tawa Erika terdengar. Tergelak-gelak menatap wajah pacarnya yang telah memerah seperti udang rebus. 

Jojo mengabaikan Erika, ia kembali masuk ke kamar. Mengambil barang-barangnya. Jojo segera memesan ojek online. Lalu, meninggalkan Erika begitu saja yang masih mabuk di depan kamarnya.

Rasa sakit dan tidak enak pada tubuhnya yang Jojo rasakan membuat ia teringat pada Sari. Membutuhkan bantuan dari wanita itu. Sepanjang perjalanan ia membayangkan Sari yang memeluk hangat tubuhnya dan merawat. 

Beberapa menit berlalu, Jojo telah tiba di depan rumah. Dengan tubuh bergetar, ia melangkah perlahan. Hingga sampai di depan pintu. Kakinya tak kuat lagi menopang. Ia bersandar pada dinding sambil mengetuk pintu. Sari yang terlelap di sofa segera beranjak kalau mendengar ketukan. Ia segera membuka kunci. 

Lelaki di balik pintu itu hampir terjatuh, dengan sergap Sari menangkapnya dan menggiring Jojo ke kamar. Ia memegang wajah Jojo yang terasa sangat panas tetapi tangannya dingin. Bahkan keringat bercucuran dari pelipisnya. 

"Mas, kamu kenapa?"

Jojo hanya menggeleng mendapati tanya itu. Matanya tak tahan menahan kantuk. Akan tetapi, terasa sangat panas saat ia pejamkan. Hingga air mata pun menggenang dan menetes. 

Sari berlari ke dapur, mencari es dari kulkas serta kain bersih. Tak lupa ia membawa air hangat beserta obat demam. Sari mendudukan tubuh Jojo, lalu meminta lelaki itu meminum obat. Lalu, membaringkan tubuh Jojo lagi dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan kain tebal.

Dengan sabar, Sari mulai mengompres kepala Jojo. Hingga lelaki itu mengeluarkan suara dengkuran yang artinya telah tertidur lelap. 

Sari menoleh ke arah jam dinding. Pukul 1 dini hari. Hatinya bertanya, mengapa Jojo baru pulang. Namun, ia mengangguk paham dan yakin bahwa suaminya sempat pulang ke kos Erika. Sari tak peduli, ia membaringkan tubuhnya di sebelah Jojo. Memeluk lelaki itu, berharap bisa menurunkan panasnya. 

***

"Ndok, jam berapa ini? Kenapa kamu nggak bangunin aku?" teriak Jojo.

Tubuh lemasnya ia paksakan berjalan menuju toilet dan hendak mandi. Saat menyadari matahari telah masuk menyinari ruang-ruang rumah melalui jendela. Namun, Sari yang sedang di dapur, segera menghampiri dan mencegah. 

"Kamu nggak usah masuk hari ini, Mas."

"Kamu mau aku dipecat?"

"Aku udah minta tolong Roni untuk sampaikan ke atasan kamu kalau kamu sakit."

"Roni? Hebat! Mulai berani kamu temui dia?"

"Astaga, Mas. Bukan waktunya untuk bertengkar. Kamu lihat badan kamu, masih lemas begitu. Muka kamu aja masih pucat. Hari ini kamu nggak usah kerja, aku akan antar kamu ke klinik. Sekarang sarapan dulu, yuk?" Sari menuntun Jojo perlahan. Duduk di kursi makan. 

Jojo terdiam, ia baru teringat kejadian semalam. Demam tinggi menyerangnya. Erika bukannya menolong, malah ngambek dan memilih mabuk dan tidak mempedulikan kondisi Jojo. 

Jojo pun mulai teringat siapa wanita yang justru memberinya obat, memeluknya semalaman dan mengompres kepalanya. 

Sari menyiapkan sup ke mangkuk dan segera ia suguhkan ke hadapan Jojo. Tak lupa ia menyiapkan teh hangat. 

"Kita sarapan dulu. Setelah ini siap-siap berangkat berobat." 

Jojo tidak menjawab. Ia terdiam menatap Sari. Hatinya bertanya-tanya, mengapa wanita yang selalu ia bohongi masih saja bisa bersikap manis. Apakah sebaik itu hati Sari, terbuat dari apa. Tanya Jojo berulang. 

"Loh, kok, bengong, Mas?" Sari menatap Jojo. "Aku suapin?"

Sari bergegas mengambil sendok yang berada di mangkuk Jojo. Namun, Jojo menghentikan tangannya. Ia mengambil alih sendok itu. 

"Aku bisa sendiri," ucap Jojo. Sari kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan makan. "Kamu nggak kerja?" tanya Jojo. 

"Nggak. Nggak usah tanya yang tidak penting dulu. Bagi aku sekarang yang terpenting adalah kesembuhanmu."

"Kenapa kamu peduli banget? Kita akan segera bercerai, lho."

"Se-ge-ra," ucap Sari dijeda. "Belum terjadi 'kan? Artinya kita masih memiliki hubungan resmi. Aku nggak peduli itu, Mas. Yang terpenting sekarang kamu sehat dulu. Masalah cerai, nanti kita bicarakan lagi setelah kelahiran anak kita."

Jojo tidak habis pikir dengan ucapan Sari. Rasa bersalah semakin membuatnya terdiam, tidak dapat berkata-kata. Jojo merasa ada yang salah dengan dirinya. Namun, kembali ia tidak dapat memahami. Mengapa rasa cinta kepada Erika begitu dalam. Gadis itu selalu muncul dalam pikirannya dan menggoda. Berbeda dengan Sari, ia sangat membencinya. Meski wanita yang telah syah menjadi istrinya itu selalu bersikap baik, manis, dan mampu menerima ia apa adanya. 

Bersambung….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status