Terjerat Cinta Bos Suami

Terjerat Cinta Bos Suami

Oleh:  Az Zidan  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
7 Peringkat
24Bab
438Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Kecelakaan yang dialami oleh Ranu, suaminya, membuat kehidupan Akarsana jungkirbalik. Ia diwarisi utang menumpuk, cicilan motor, rumah serta seorang anak. Kebahagiaan yang baru dilewati Akarsana selama delapan bulan itu terenggut secara paksa. Saat tidak menemukan titik terang atas permasalahannya, Akarsana dipertemukan dengan Tirtha, bos dari suaminya. Menjadi seorang Office girl di kantor Tirtha, membuat Akarsana dan Bosnya terjerat ke dalam hubungan yang tidak mereka sangka.

Lihat lebih banyak
Terjerat Cinta Bos Suami Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Iiq Iqmarina
cerita seru banget kak
2024-02-16 10:48:43
0
user avatar
Yosi Yunus
aku suka Next!
2024-02-16 10:46:11
0
user avatar
Kaze Kazama
seru, kapan update lagi, Thor
2024-02-16 10:44:59
0
user avatar
Charlotte Pattern
Otor satu ini selalu bikin kisah yang sangat menarik
2024-02-16 10:43:54
0
user avatar
Brahma Wijaya
Cerita yang menarik, Next!
2024-02-16 10:42:03
0
user avatar
Anggi Rianty
Seru jugaa! Ayo ikutan baca
2024-02-14 05:45:12
0
default avatar
Shely
ih ayo lanjut lagi yang banyak kak
2024-02-10 08:06:51
2
24 Bab
1 : Kabar Duka
Hari ini resto benar-benar ramai, hingga semua karyawan harus sibuk ke sana kemarin tanpa kenal lelah. Tidak terkecuali Akarsana."Mbak!" panggil pengunjung yang baru saja duduk, mengangkat tangan menarik langkah Akarsana agar datang padanya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Ia datang dengan membawa buku berukuran sebesar telapak tangan."Iya, Nona. Mau pesan apa?" tanya Akarsana sopan.Dua sejoli itu tampak berdiskusi untuk membicarakan pesanan. Akarsana mencatat apa yang mereka ingin. Berikut dengan toping apa saja yang tidak diinginkan, serta tingkat kematangan untuk olahan daging."Terima kasih," kata si cantik berkata sipit di depan Akar."Sama-sama, mohon ditunggu!" pinta Akar."Pelayan!" teriak orang berikutnya. Akar mengangguk disusul dengan senyuman yang manis. Sebelum mendekat pada pelanggan berikutnya, Akar mendekat pada meja yang terhubung dengan para koki. Ia memberikan secarik kertas itu dan kemudian berlari kecil, siap untuk mencatat pesanan lagi."Apa yang ingin And
Baca selengkapnya
2 : Kenyatahan Pahit
2Tirtha membuka pintu rumahnya dan sudah mendapati pria paruh baya berkacamata di ruang tamunya. Pria itu tersenyum tipis dan mendekati sang ayah.“Pa? sudah lama?” sapa Tirtha. Pria itu menunduk untuk mencium tangan ayahnya.“Ibumu sakit. Anak macam apa kamu?! Dia wanita yang melahirkan dan besarin kamu, Tirtha!” geramnya. Merasa bahwa anaknya sangat tidak tahu malu.“Maaf, Pa. Tirtha akan pulang.”“Emang udah seharusnya kamu pulang, Tirtha! Hartamu nggak bakal kamu bawa mati. Harusnya kamu bisa memprioritaskan ibumu!” amarah pria itu masih meletup tidak tertahankan.“Maaf, Pa.” kepalanya tertunduk, ia tidak pernah dekat dengan pria itu. Tirtha canggung dengan ayahnya sendiri.“Aku tunggu besok di rumah! Kalau kamu tidak juga pulang, tidak usah kembali sekalian, Tir! Di rumah kami masih punya keluarga terbaik!” sarkasnya. Lantas ia pun keluar dari rumah anak kandungnya sendiri.Tirtha mengembuskan napasnya dengan kasar, lega sekaligus tidak enak hati. Dia sudah lama tidak menelepon
Baca selengkapnya
3 : Pekerjaan Baru
Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya
Baca selengkapnya
4 : Remaja Badung
Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.“Mau bertemu siapa, Mbak?”“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi,
Baca selengkapnya
5 : Sepeda Butut
Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua
Baca selengkapnya
6 : Tertipu
Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel
Baca selengkapnya
7 : Merindukanmu
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Baca selengkapnya
8 : Jangan Mesum!
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
Baca selengkapnya
9 : Sombong
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Baca selengkapnya
10 : Mantan Istri
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status