Share

7 : Merindukanmu

Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.

Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.

Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.

Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.

“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.

“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.

“Ma— maafkan saya, Pak,” sesalnya. Siapa dia? Siapa Tirtha yang harus datang kudu bilang-bilang padanya? Agar mereka bisa memainkan peran kerja sungguh-sungguh?

Tanpa menimpali ungkapan laki-laki berkemeja sky blue itu, Tirtha lekas memasuki lift untuk menuju ke ruangannya.

“Bapak sudah kembali?” sapa Maya saat melihat bosnya sudah ada di belakang meja kerjanya. Keterkejutan itu sama ditunjukkan layaknya pria yang ada di bawah tadi.

“Heran? Kenapa semua mempermasalahkan kehadiranku hari ini? Ada permainan apa yang kalian perankan, huh?” tutur Tirtha.

“Bukan begitu, Pak. Maksudnya, kalau bapak baru pulang kenapa tidak memilih untuk istirahat dulu saja di rumah?”

“Aku merindukanmu,” sergah Tirtha, kemudian melangkah mendekati Maya dan meraup bibirnya dengan lahap.

Ya! Merindukan sentuhan wanita binal itu. Gadis yang bekerja sebagai sekretaris merekap menjadi jalang Tirtha. Mungkin tidak hanya Tirtha, akan tetapi banyak juga wanita lain yang dijadikan pelampiasan bagi pria lajang berusia tiga puluh tahun itu.

Pergulatan bibir itu berlangsung memanas. Tanpa melepaskan ciuman, Tirtha dan Maya menggiring langkah menuju ruangan sang bos yang letaknya tidak jauh dari meja Maya. Mendorong pintu dengan punggung tinggi besar Tirtha dan menghilanglah mereka di balik pintu kaca buram tersebut.

“Lakukan dengan mulutmu, jangan terkena gigi,” perintah Tirtha. Ia menekan kepala Maya agar tertunduk di hadapannya. Sementara sang bos duduk di meja.

Dengan lihai, Maya membuka pengait ikat pinggang dan menurunkan resleting celana, dan— ya, mengeluarkan ketangkasan Tirtha, melahapnya pada bibir tipis Maya yang dibaluri lipstik berwarna Oranye terang.

Kepalanya naik turun dengan lincah, matanya melirik wajah sang bos yang terpejam menikmati betapa hangat rongga mulut kecil Maya.

Tirtha mendesis keenakan dan sesekali membuka matanya melihat cara sekretaris memainkan dirinya, menjulurkan lidahnya yang panjang, seolah memakan ice cream terlezat sejagat raya.

“Bagus. Teruskan, Maya. Kamu hebat,” pujinya. Dan— percayalah bahwa pujian itu hanya menguntungkan dirinya saja.

Rancauan dan desahannya menggema di satu ruangan itu. Tangan besar dengan jari panjang itu menekan kepala Maya kian dalam agar melesaklah lebih dalam kelakiannya. Kemudian sesuatu dalam dirinya meluncur dengan deras tepat di rongga mulut hingga ujung tenggorokan Maya.

Gadis itu kesulitan untuk bernapas hingga menunjukkan ekspresi hendak muntah.

“Telan!” Lagi-lagi perintah itu muncul dari laki-laki yang begitu disanjung oleh sang sekretaris. Padahalah, jelas bahwa dirinya hanya dimanfaatkan semata demi memuaskan hasrat bejat Tirtha.

“Bagus, Maya. Bagunlah.” Tirtha menarik bahu Maya dan mengusap bibir bawah wanita itu. Gadis bermata bulat itu terpejam merasakan sentuhan kecil yang begitu memabukkan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dengan harapan mulutnya akan kembali dilumat oleh sang laki-laki, akan tetapi—

“Keluarlah, sebelum ada yang datang. Dan— buatkan aku kopi,” pintanya.

Maya dengan wajah kecewa mengangguk. Padahal dia begitu ingin juga di puaskan. Akan tetapi, siapa dia? Haruskah dia meminta, ‘Bos, masuklah padaku?’ tidak mungkin jika hal itu tidak dikehendaki oleh Tirtha sendiri.

“Tunggu apalagi, Maya?” tambah Tirtha yang masih melihat Maya mematung sembari menatap wajah Bosnya dalam kebisuan.

“Baik, Pak.”

Setelah sepeninggalan Maya. Tirtha duduk di kursi kebanggaannya. Ia membalikkan kursi hitam itu guna menghadap ke jendela besar yang mempertontonkan ujung dari pepohonan tengah kota, hiruk pikuk kota di pagi hari ini. Kemudian memijit pelipisnya.

Pikirannya penuh dengan harapan dan impian yang belum bisa dia capai, tetapi apa? Bahkan dia sudah menjadi pengusaha yang bisa dibilang sukses. Dia punya gudang beras. Menyalurkan berton-ton beras ke segala penjuru kota. Memproduksi kertas, panenan, kopi, dan cengkeh.

Namun, kekayaannya tidak menjamin lahirnya sebuah kebahagiaan. Tirtha belum berhasil membahagiakan sang ibu. Bahkan, sekarang dia berlomba dengan usia Maharani yang tidak tahu bertahan hingga kapan?

**

Di pantry, Maya dengan sok berkuasa menunggu Akar yang tengah membuat kopi sesuai dengan permintaannya. Bisa saja gadis itu hanya menelepon dari mejanya, tetapi ia tidak ingin ketahuan oleh Tirtha bahwa belum juga berangkat memenuhi perintahnya.

“Yang enak, jangan terlalu pahit atau manis.” Berulangkali, wanita itu memberikan wejangan pada Akarsana.

“Iya, Bu.”

“Kamu baru ‘kan? Kalau sampai kopimu tidak enak, aku pastikan pekerjaanmu berakhir besok,” ancamnya.

Akar menoleh dengan mata yang membola. “Jangan, Bu. Saya akan buatkan kopi yang enak, saya janji.”

Akar sudah biasa membuat kopi untuk suaminya. Jadi, membuat kopi bukan hal yang sulit dan— berharap bahwa selera bosnya sama dengan sang suami. Kebetulan sejak kemarin dia bergulat dengan bubuk kopi dan gula tidak ada yang komplain akan racikan kopinya. Namun, juga tidak ada yang memujinya.

“Ini, Bu. Mau saya bawakan juga?” tawar Akar dengan maksud yang baik. Akan tetapi dari kacamata Maya, justru hal itu dianggap kurang ajar, dengan alasan cari muka pada sang bos.

“Nggak usah jadi manusia bermuka dua,” sengitnya sebelum membawa nampan dengan cangkir kopi tersebut.

Akar hanya menunduk, dia tidak ingin kurang ajar. Hingga akhirnya ia meminta maaf, kemudian menatap punggung Maya yang sudah tertelan oleh jarak antara pantry dan Lift.

“Santai saja, Na. Bu Maya memang begitu orangnya, tekanan kerja mungkin. Karena apa-apa yang dibutuhkan Bos pasti mintanya ke Bu Maya. Kalau salah yang disalahin juga pasti dia. Kamu sabar aja.”

Akar membalikkan tubuh, dia tidak menyadari bahwa Cindy ada di samping wastafel pencuci gelas dan piring. Entah kapan gadis itu keluar dari kamar mandi untuk para office boy dan office girl.

Gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda itu mengangguk. “Lagian nggak setiap hari Bu Maya turun, Na. Kebanyakan dia akan telepon, kita yang naik. Aku yakin kamu bakalan meraskan naik lift itu ke lantai atas,” kelakar Cindy dengan senyuman manis dihiasi lesung pipit di pipinya. Akar tersenyum tipis sembari kembali mengangguk.

“Ya udah ayo! Lanjut kerja, sebentar lagi mereka pada minta makan siang.”

“Oh—ya, Cindy. Apakah boleh kita berjualan di kantor ini?”

“Kamu mau jualan? Boleh aja, nggak ada yang larang kok. Asalkan nggak ganggu mereka aja,” jawab Cindy.

“Aku ada rencana untuk jualan makan siang buat mereka, Cin. Karena lumayan kalau dipikir-pikir dari pada kita keluar panas-panas ke pasar ‘kan?”

“Benar! Itu ide yang bagus, Na. Soalnya kalau aku udah nggak sempet juga. Lagian kerja juga udah capek. Pulang ke rumah maunya rebahan. Kalau libur ya maen sama pacar,” tandas Cindy. Lagi-lagi dia terkekeh.

“Jadi aku nggak apa-apa dagang.”

“Gasslah!” Akar tersenyum sumringah. Gadis itu sungguh senang. Artinya dia akan punya tambahan uang tabungan.

**

Pukul tujuh malam, Akarsana, Cindy, dan Tomi sudah selesai dengan pekerjaannya. Cindy dan Tomi pulang dengan sepeda motornya sementara Akarsana kembali dengan sepeda kayuh butut yang dia beli kemarin siang.

Lantas ia menaikinya. Tidak buruk, pikirnya. Bersepeda malam hari dengan semilir angin ternyata begitu menyenangkan. Kendati banyak pasang mata yang melirik kondisi sepedanya.

Akarsana tak acuh, seburuk dan sedekil apa pun kendaraannya, mereka tidak berhak menjudge-nya, karena Akar membeli bukan dengan uang mereka. Gadis itu menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang memang buka saat jam malam saja.

Biasanya pasar itu beroperasi saat pukul tiga sore hingga tujuh pagi. Disanalah Akarsana saat ini berada. Dia mulai belanja untuk kebutuhan berdagangnya besok. Dia akan membeli ayam, udang, ikan, kemudian tahu dan tempe. Kemudian kotak-kotak bekal dari pasltik.

Setelah mendapatkan semua barang yang dia butuhkan ia lantas kembali membelah jalanan dan tiba di rumah saat jarum jam sudah berada tepat diangka sepuluh malam. Siapa kira bahwa belanja begitu saja menghabiskan waktu hampir tiga jam.

Wanita itu mengedarkan pandang. Tidak ada Cahaya, rumah juga tidak sebegitu berantakan layaknya kemarin. Makanan yang dihidangkan Akar pagi tadi juga tandas.

Akarsana menglungum senyum. Sejenak dia bisa merasakan secuil kebahagiaan karena Cahaya tidak membuat ulah. Belum cukup untuk itu.

Akar harus mencicil pekerjaannya. Dia merebus daging ayamnya, menggoreng tempe dan lain sebagainya. Agar besok pagi ia tinggal mengolahnya saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status