Bab 25 Ditengah kesibukan gadis ayu nan polos itu, Akarsana seketika menghentikan tindakannya begitru mendengar pertanyaan nyeleneh dari Awan. Akarsana menoleh ke asal suara yang berada tepat di belakang tubuhnya. Sebuah senyum tipis terbit dari wajah laki-laki yang usianya sudah cukup tua. Kakinya melangkah mendekati kursi di meja makan. Lantas terdengar embusan napas keputusasaan. Bukan tanpa sebab, pertanyaan itu terlontar dari mulut tipis yang menghitam. Sepertinya dia benar-benar diujung pilihannya. “Maaf, Nak. Tapi, saya hanya mau mewujudkan keinginan istri saya. Dia sangat mendambakan memiliki cucu sebelum dia pergi untuk selama-lamanya. Namun, ternyata takdir dan pemikiran anakku, membuat semuanya terlambat.” Akarsana masih mematung di tempatnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa? Harus menanggapi ujaran kesedihan atas takdir Tuhan pada keluarga itu bagaimana? “Mungkin jodoh Tuan Tirtha memang belum datang, Tuan. Ini semua sudah takdir yang Maha Kuasa,” timpal Akarsana. Dia
Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena
Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi
Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali
Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini
Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik
Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi
Hari ini resto benar-benar ramai, hingga semua karyawan harus sibuk ke sana kemarin tanpa kenal lelah. Tidak terkecuali Akarsana."Mbak!" panggil pengunjung yang baru saja duduk, mengangkat tangan menarik langkah Akarsana agar datang padanya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Ia datang dengan membawa buku berukuran sebesar telapak tangan."Iya, Nona. Mau pesan apa?" tanya Akarsana sopan.Dua sejoli itu tampak berdiskusi untuk membicarakan pesanan. Akarsana mencatat apa yang mereka ingin. Berikut dengan toping apa saja yang tidak diinginkan, serta tingkat kematangan untuk olahan daging."Terima kasih," kata si cantik berkata sipit di depan Akar."Sama-sama, mohon ditunggu!" pinta Akar."Pelayan!" teriak orang berikutnya. Akar mengangguk disusul dengan senyuman yang manis. Sebelum mendekat pada pelanggan berikutnya, Akar mendekat pada meja yang terhubung dengan para koki. Ia memberikan secarik kertas itu dan kemudian berlari kecil, siap untuk mencatat pesanan lagi."Apa yang ingin And