Hari ini resto benar-benar ramai, hingga semua karyawan harus sibuk ke sana kemarin tanpa kenal lelah. Tidak terkecuali Akarsana.
"Mbak!" panggil pengunjung yang baru saja duduk, mengangkat tangan menarik langkah Akarsana agar datang padanya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Ia datang dengan membawa buku berukuran sebesar telapak tangan.
"Iya, Nona. Mau pesan apa?" tanya Akarsana sopan.
Dua sejoli itu tampak berdiskusi untuk membicarakan pesanan. Akarsana mencatat apa yang mereka ingin. Berikut dengan toping apa saja yang tidak diinginkan, serta tingkat kematangan untuk olahan daging.
"Terima kasih," kata si cantik berkata sipit di depan Akar.
"Sama-sama, mohon ditunggu!" pinta Akar.
"Pelayan!" teriak orang berikutnya. Akar mengangguk disusul dengan senyuman yang manis. Sebelum mendekat pada pelanggan berikutnya, Akar mendekat pada meja yang terhubung dengan para koki. Ia memberikan secarik kertas itu dan kemudian berlari kecil, siap untuk mencatat pesanan lagi.
"Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya Akar. Namun, sebelum pria itu menjawab ponsel Akar berdering. Bersamaan dengan ponsel milik pria yang hendak memesan.
"Angkatlah! Kamu juga! Sebaiknya kalian menjawab panggilan itu terlebih dulu," perintah salah satu pria yang duduk bersama dengan calon pemesan tadi.
Akar ingin tidak menggubris ponsel itu, tetapi benda itu terus berbunyi kecil dan bergetar di dalam saku roknya, hingga sangat menganggu dirinya.
“Mohon maaf, Tuan. Saya izin menjawabnya.” Dua pria yang duduk berhadapan itu mengangguk.
Secara bersamaan, keduanya menjawab. Mereka sama-sama terkejut. Akan tetapi, raut wajah Akarsana lebih terlihat mengkhawatirkan.
“Apa?!” Kedua orang itu sama-sama melontarkan kata yang sama. Sampai, laki-laki calon pemesan itu menoleh ke arah Akarsana. Akan tetapi tidak dengan wanita itu. Dia lantas lekas meninggalkan tempatnya saat ini. Menghadap pada manager resto dengan mata berkaca-kaca meminta izin untuk pulang lebih awal.
“Maafkan saya, Pak. Mas Ranu kecelakaan,” ungkap Akar. Dia tidak mampu lagi membendung air matanya. Sungguh, kabar itu bagai geledek tengah hari.
“Pulanglah! Tidak apa-apa.” Beruntung sang manager berbaik hati memberikan izin.
Sementara itu, laki-laki yang sebelumnya hendak memesan pun bangkit dari kursinya. Mereka urung untuk makan siang di resto itu. Kabar mendadak membuat sang penguasa muda kehilangan selera makannya.
“Saya minta maaf untuk kegagalan ini, Tuan Saga. Sungguh, ini diluar kendali saya,” ucapnya, seraya menjabat tangan klien yang hendak dia tangani.
“Tidak masalah, Tirtha. Saya bisa bicarakan ini dengan karyawanmu besok. Kita masih ada waktu.” Tirtha mengangguk dengan sedikit senyum di wajahnya dan kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Akarsana pun juga pergi dengan angkutan umum. Di tengah perjalanan yang terasa sangat lama. Air mata terus membanjiri wajah polosnya. Dia tidak mampu menyembunyikan kesedihan dari penumpang lainnya.
Begitu tiba di depan rumah sakit, ia lekas berlari mendekati meja informasi dengan wajahnya yang sayu dan basah.
“Adakah korban kecelakaan yang terjadi hari ini, Sus.”
“Suster! Apa ada korban kecelakaan, barusan?”
Dua pertanyaan yang terlontar dari mulut manusia yang berbeda. Akarsana menoleh pada laki-laki yang berdiri tinggi menjulang di sebelahnya. Kemudian tidak acuh karena petugas telah mengatakan bahwa korban yang berjumlah dua orang itu berada di kamar mayat.
“Saya akan mengantar kalian untuk memastikan apakah mereka keluarga Anda atau bukan,” kata perempuan berpakaian rapi, dengan warna hijau telur asin itu.
Akarsana dan Tirtha mengangguk secara bersamaan lalu membuntuti wanita tersebut. Begitu tiba di ruang jenazah. Akar mendekati dua ranjang besi. Seseorang telah terbaring kaku di sana. Kain penutup itu bersimbah darah.
Tangan Akar gemetar bukan main. Air mata terus mengucur dengan deras tanpa mau berhenti. Wanita berusaia dua puluh enam tahun itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia harus mengontrol emosinya.
Sedangkan Tirtha sudah membuka penutup jenazah di sampingnya dan ia merangkus wajahnya. Dia benar karyawannya. Ia juga bisa pastikan bahwa jenazah yang kini dihadapan pelayan resto itu adalah Ranu, karyawan yang telah dia utus bersama dengan Indra.
Tirtha berdiam sejenak, ingin tahu ada hubungan apa antara wanita itu dengan Ranu. Begitu jemari lentik itu membuka kain putih, seketika tangisnya meledak.
“Mas Ranu! Tidak, Mas! Kamu tidak boleh pergi!” isaknya. Dia meraung hebat, memeluk tubuh yang tidak lagi bernyawa.
Tirtha melihatnya. Bahunya merosot, dia kehilangan dua karyawannya. Lalu, gadis itu harus kehilangan— entah, Tirtha tidak tahu. Apakah itu kakaknya atau justru— suaminya.
“Hei, tenanglah.” Tirtha menopang tubuh Akar agar tidak roboh.
Akar terus menepis tangan Tirtha. Saat ini tidak ada yang mampu membuatnya tenang. Dia kehilangan seseorang. Bagaimana bisa dia tenang.
“Suster, mereka benar orang-orang saya. Saya akan urus semuanya. Anda bisa mengurus jenazahnya.” Sang petugas pun mengangguk dan lantas meninggalkan keduanya.
Tirtha menelepon sekertarisnya untuk mengirim segala yang dibutuhkan guna mengantarkan jenazah-jenazah itu pulang ke rumah. Serta mengabari keluarga Indra.
Setelah itu, Tirtha kembali pada Akar. Dia tidak tega meninggalkan wanita itu sendirian. Namun, tidak tahu harus berbuat apa.
“Petugas akan memandikan jenazahnya. Sebaiknya kita keluar agar bisa lekas diurus,” kata Tirtha.
“Siapa kamu?! Kamu atau siapapun tidak berhak mencegahku! Aku hanya ingin memeluknya, dia tidak mati! Dia hanya lelah, pergilah!” usir Akar.
“Saya tahu ini berat. Tapi kamu tidak bisa lari dari kebenaran. Ranu pergi.”
Akar masih bergeming dia terus menangisi Ranu. “Jangan dengarkan dia, Mas. Kamu harus bangun. Aku tidak bisa merawat anak kita sendirian,” lirih Akar. Mata yang sudah sembap itu menatap wajah sang suami yang terpejam dengan rapat.
“Anak? Dia— dia istrinya?” pikir Tirtha, sungguh di luar dugaan. Tirtha hampir tidak percaya bahwa wanita muda itu istri dari Ranu, yang mana memang Ranu jauh terlihat lebih tua gadis.
“Aku minta maaf,” sesal Tirtha.
“Minta maaf? Apa yang sudah kamu lakukan pada suamiku?! Kamu membunuhnya?!” tuduh Akar.
“Pelankan suaramu. Mana mungkin aku membunuh karyawanku sendiri. Kita juga tahu kalau mereka kecelakaan. Dan— kamu juga tahu aku ada di resto saat kejadian ‘kan?” tegas Tirtha berusaha pelan agar suaranya tidak terdengar membentak.
Belum sempat mendebat ucapan Tirtha Akar terjatuh. Dia pingsan. Sigap tangan Tirtha menangkap tubuh wanita itu. Berteriak meminta bantuan pada petugas rumah sakit.
**
Akarsana dan jenazah suaminya sudah tiba di rumah. Wanita itu tampak pucat, dia kehilangan senyum. Dunianya sudah roboh. Kehilangan suami memang tidak berarti dia akan mati. Namun, semuanya akan semakin sulit. Mungkin juga tidak terkendali.
Seorang remaja tanggung berlari kencang. Kemudian dia lekas memeluk tubuh ayahnya yang telah terbungkus kain kafan. Air mata Akar kembali luruh. Dia tidak bisa melihat pemandangan itu.
“Aya, tenang.” Akar merengkuh tubuh anaknya. Dia berusaha menenangkan gadis itu meski dirinya sendiri tidak baik-baik saja.
Tirtha yang sedari tadi berada di sekitar Akar hanya bisa melihat duka yang keluarga itu rasakan. Dia tidak tega meninggalkan Akarsana sendirian. Sementara jenazah Indra akan diantar ambulans dan sekertarisnya ke rumah duka. Bagaimanapun, Tirtha tidak bisa berada di dua tempat sekaligus.
“Ini pasti gara-gara kamu ‘kan?! Kamu memang istri yang tidak becus!” tuduh Cahaya, anak Akarsana.
Akar menggeleng, dia sendiri kehilangan. “Hapus saja air mata buayamu itu! Dari awal aku tidak menyukaimu!” teriak Cahaya.
Akar menutup telinganya dan tertunduk. Dia sungguh malu, kini ada banyak warga yang melayat, tetapi anaknya sendiri justru berujar seolah dialah akibatnya.
“Begitu amat ingin menguasai harta Ranu. Kukira dia wanita baik-baik,” bisik seorang wanita yang baru saja memberikan ucapan bela sungkawa.
“Mana ada, istri muda baik? Yang ada terus morotin harta suami, ibu!” balas wanita lain lagi.
“Kalian ini bicara apa?! Orang sedang berduka kok digosipin! Pulang sana!” usir tetangga dekat Akar.
Sungguh, mulut mereka lebih pedas dari seblak level sepuluh. Akarsana tidak menanggapinya, membuka mulutnya saja sudah kesulitan baginya.
“Akar. Sabar, ya. Jangan hiraukan kata-kata mereka.” Wanita itu hanya mengangguk untuk menimpali ucapannya.
Sekarang jenazah Ranu dikebumikan. Akar menangis dalam diamnya. Dadanya sesak, dia membungkam mulutnya agar tidak berusara. Padahal kendati tidak dia lakukan tangisnya sudah teredam. Tangis yang sungguh menyesakkan. Berdiri di sampingnya, Cahaya. Remaja itu juga tidak kalah sedih. Kemudian bersama dalam kerumunan warga lain ada Tirtha yang tidak melepaskan pandang pada Akarsana. Hingga ponselnya berdering.
Tirtha menyingkir dan menjawab ponsel itu. Dia—
2Tirtha membuka pintu rumahnya dan sudah mendapati pria paruh baya berkacamata di ruang tamunya. Pria itu tersenyum tipis dan mendekati sang ayah.“Pa? sudah lama?” sapa Tirtha. Pria itu menunduk untuk mencium tangan ayahnya.“Ibumu sakit. Anak macam apa kamu?! Dia wanita yang melahirkan dan besarin kamu, Tirtha!” geramnya. Merasa bahwa anaknya sangat tidak tahu malu.“Maaf, Pa. Tirtha akan pulang.”“Emang udah seharusnya kamu pulang, Tirtha! Hartamu nggak bakal kamu bawa mati. Harusnya kamu bisa memprioritaskan ibumu!” amarah pria itu masih meletup tidak tertahankan.“Maaf, Pa.” kepalanya tertunduk, ia tidak pernah dekat dengan pria itu. Tirtha canggung dengan ayahnya sendiri.“Aku tunggu besok di rumah! Kalau kamu tidak juga pulang, tidak usah kembali sekalian, Tir! Di rumah kami masih punya keluarga terbaik!” sarkasnya. Lantas ia pun keluar dari rumah anak kandungnya sendiri.Tirtha mengembuskan napasnya dengan kasar, lega sekaligus tidak enak hati. Dia sudah lama tidak menelepon
Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya
Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.“Mau bertemu siapa, Mbak?”“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi,
Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua
Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari