Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.
“Mau bertemu siapa, Mbak?”
“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”
“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.
Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.
“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.
“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.
“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.
Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi, rok span di bawah lutut berwarna hitam serta kemeja dengan lengan tiga per delapan warna maroon. Tersenyum begitu posisinya sudah dekat dengan Akarsana.
“Akarsana, betul?” sapanya seraya mengulurkan tangan. Akar lekas menyambutnya dengan sopan, bahkan ia membungkukkan setengah tubuhnya.
“Betul, Bu. Saya Akar.”
“Mari ikut saya ke ruangan dan saya akan jelaskan pekerjaanmu,” katanya. Akar menurut ia membuntuti langkah wanita anggun itu. Jarang-jarang ada orang selayaknya wanita itu mau menemui langsung. Kebanyakan dari mereka memerintah sang pelamar kerja untuk ke ruangannya. Mungkin Akar adalah pengecualian.
“Silakan duduk!” perintahnya, ia memutar untuk duduk di kursi kebesarannya. Menyatukan jemarinya di atas meja.
“Jadi, bagaimana saya memanggilmu? Akar atau Ana?”
“Panggil saja Akar, Bu.”
“Baik. Akar— Tuan Tirtha selaku bos di kantor ini sangat menyesal atas kejadian yang menimpa suamimu. Beliau bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Kami tahu kalau suamimu adalah tulang punggung keluarga. Namun— musibah tidak pernah terlihat atau tercantum dalam kalender, benar?” Akarsana mengangguk. Wajahnya seketika tertunduk mengingat bahwa dirinya sudah tidak lagi memiliki suami.
“Akar— Bos meminta saya untuk memperkerjakan kamu. Sementara ini, saya hanya menemukan lowongan sebagai office girl, kamu bersedia?” Seketika itu raut wajah Akar terangkat. Ia lantas mengangguk dengan cepat. Apa pun pekerjaannya akan dia lakoni demi menyambung hidupnya serta sang anak.
“Tentu saja saya mau, Bu. Saya sangat berterima kasih kepada Anda dan Bos.”
“Tidak apa-apa, Akar. Bos hanya— ya menjalankan sisi kemanusiaannya.”
“Saya akan bekerja dengan baik, Bu. Sekali lagi terima kasih. Kapan saya bisa mulai bekerja?”
“Kamu bisa lakukan hari ini juga, Akar.” Wajah Akarsana kian sumringah. Dia bahagia akhirnya langsung mendapatkan pekerjaan setelah dipecat tanpa rasa hormat. Toh, bekerja sebagai pelayan tidak pernah mendapatkan kehormatan.
“Terima kasih, Bu.” Akar mengulurkan tangannya. Sungguh, kebahagiannya membuncah, mekar akibat kabar yang— mungkin sebagian orang menganggap bahwa bekerja sebagai OG apa enaknya? Gaji sedikit dan menjadi pesuruh. Tidak jauh beda dengan pembantu.
Akan tetapi, di mata Akarsana tidak ada pekerjaan mendang-mending. Semua akan dia tempuh demi dapurnya tetap mengepul dan anaknya bisa bersekolah.
“Baik Bu. Saya permisi, saya akan mulai bekerja.” Wanita itu membalas senyum ringan Akar.
Ketika gadis manis itu hendak keluar dari ruangannya, ia menghentikan langkah Akar.
“Akar tunggu!” Ia bangkit dan mendekati Akarsana.
“Akar dengar. Saya akan mengantarmu ke pantry untuk bertemu rekan kerjamu. Satu lagi—” Seraut wajah Ina sang HRD itu tampak serius. Akar pun merasa harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh melupakan hal yang hendak disampaikan oleh wanita itu.
“Aku ingin kamu mengabaikan apa pun yang kamu dengar di ruang Bos nantinya. Apa pun itu kamu tidak perlu ikut campur, Akar.”
“Misalnya, Bu?”
“Jika sekretaris Tuan Tirtha tidak mengizinkan kamu masuk atau siapa pun yang melarangmu, jangan pernah membantah atau melanggarnya,” pesan Ina. Akarsana mengangguk, meski dalam pikirannya mulai muncul keingintahuan. Akan tetapi dengan cepat bisa ia tepis karena bukan lagi ranah yang memang sepatutnya untuk dia ketahui.
“Baik, ayo! Mereka semua orang baik. Aku yakin kamu akan betah bekerja di sini. Asalkan kamu terus ingat pesanku,” tandas Ina. Wanita itu sudah mulai berbicara dengan sedikit santai dan tidak terlalu formal.
“Baik, Bu.”
“Tugasmu mudah, Akar. Pagi hanya buat minuman yang mereka mau. Memastikan air dalam galon tetap penuh. Siang mencarikan makan siang bagi mereka yang tidak membawa bekal. Lalu sore buat minuman lagi dan setelah mereka pulang kamu bisa membereskan meja-meja tanpa harus membuang apa yang tidak sepatutnya dibuang. Takutnya dokumen penting kebuang. Paham?”
“Paham, Bu.”
“Baik ini— pantry kantor. Nanti apa pun yang kamu belum paham, bisa tanya sama Toni sama Cindy, ya.” Akar mengangguk dia paham setiap kata yang diucapkan oleh Ina.
“Baik, aku tinggal dulu. Toni, Cindy tolong bantu Akar, ya. Kalian tim mulai sekarang.” Mereka mengiyakan dan lantas berkenalan selayaknya menyambut warga baru.
Di hari pertama tidak banyak yang dilakukan oleh Akar. Dia hanya mengikuti Cindy agar tahu meja siapa saja yang biasanya memesan teh tawar, teh manis, kopi dan lain sebagainya. Kemudian membersihkan toilet dan jam kerja mereka yang dimulai pagi hingga sore bahkan malam jika ada dari para karyawan yang lembur.
“Kamu tidak perlu khawatir kalau jam kerjamu nambah, Bos juga akan menambah gajimu. Nanti itu—” Cindy menunjuk sebuah finger print yang menempel di dinding.
“Saat kamu datang dan sebelum pulang harus letakkan jari di sana. Agar datamu akurat. Paham?” tambah Cindy.
Akar mengangguk, dia paham. “Baik, Mbak.”
“Santai saja jangan panggil aku mbak. Kita seumuran. Panggil Cindy saja.” Lagi-lagi Akarsana mengangguk.
Saat jam telah tertuju di angka lima, banyak dari mereka yang berangsur pulang. Saat itu juga Akarsana menjalankan tugas, membersihkan meja, mengelapnya dan merapikan kertas yang ditinggalklan oleh sang empu meja. Akarsana tidak berani membuangnya sesuai pesan. Ia hanya menumpuknya pada sisi meja dan berpindah ke meja lain. Kemudian mengumpulkan sampah-sampah yang kebanyakan juga kertas, lalu membuangnya ke luar bangunan.
Tepat pukul tujuh, ia usai dengan semua pekerjaan. Keluar bersama Cindy dan kembali menelurusi jalanan. Kali pertama Akarsana pulang dibawah jam sepuluh malam. Biasanya dia akan pulang tengah malam atau bahkan pagi hari tergantung sifnya di resto.
Begitu tiba di rumah, ia tidak mendapati Cahaya. Tidak ada di kamarnya, tidak juga di seluruh ruangan yang ada di rumah. Akar mencoba meneleponnya, tersambung tetapi bukannya diangkat justru ditolak panggilannya.
“Ke mana kamu, Aya?” gumammnya. Ia membuka tudung saji, Cahaya juga tidak menyentuh masakan yang sudah disiapkan oleh Akar. Embusan napas Akarsana terdengar frustasi.
“Ini baru beberapa hari, Mas. Anakmu— ah— Aya benar-benar menguji kesabaranku,” lirihnya. Lantas ia lekas keluar lagi dari rumah. Mengabaikan rasa lelah dan haus yang sudah menyerangnya sejak dalam perjalanan tadi.
Meniti setiap trotoar mencari keberadaan Cahaya. Begitu tiba di warung kopi yang jaraknya dua gang dari rumahnya, Akar melihat anaknya cekikikan dengan para pria yang usianya jelas jauh di atas anak remajanya.
“Aya!” panggil Akar dengan nada penuh tekanan. Merasa terpanggil gadis itu hanya menoleh dan kembali sibuk dengan ponselnya. Mabar game yang tidak berfaedah.
“Aya, kita pulang, yuk! Besok kamu harus sekolah,” ajak Akar lagi. Ia tidak meninggikan suaranya. Berusaha menjadi teman untuk anak satu-satunya.
“Pulang aja sendiri. Nggak usah ngajakin Aya! Nggak usah sok peduli!” balas Cahaya tak acuh, bahkan matanya sama sekali tidak menatap ke arah Akar.
“Bubar-bubar, gue mau balik dulu dah. Takut mak gue nyariin kek lu, Ya!” ejek salah seorang pria di sana.
“Iya! Nggak asik, lu, Ya! Dikit-dikit dicariin. Dikit-dikit diatur, bocah banget!” Lagi-lagi ujaran itu terlontar dari bocah seusia belasan tahun. Akarsana geleng-geleng kepala, berpikir, kenapa anak-anak jaman sekarang tidak tahu adab berbicara pada orang yang lebih tua darinya.
Pada akhirnya mereka bubar dan hal itu mengundang kebencian Cahaya pada ibu tirinya. “Puas sekarang?! Dari dulu emang lo biang masalah! Udah ngebunuh ayah gue, sekarang ngancurin idup gue!” berang Cahaya. Kemudian remaja tanggung itu mendorong tubuh Akar dan melangkah meninggalkan Akarsana.
Akar terdorong dan mundur selangkah. Namun, hatinya tetap saja terinjak. Cahaya mengumpatnya di tempat umum. Begitu hendak pergi justru pemilik warung mencegahnya.
“Bayar utang anakmu dulu, Akar! Dia jajan mulu kagak mau bayar! Lagaknya udah kaya anak gedongan aja!” seru sang pemilik warung.
“Berapa, Bu?” tanya Akar yang memilih tidak menggubris cemoohan wanita tua di hadapannya.
“Seratus ribu. Itu udah ama yang kemaren-kemarin. Kamu kudu pinter-pinter jaga Aya! Dia maen sama anak-anak kagak bener!” paparnya dengan intonasi yang tidak lagi menyalak karena Akar membayar utang Cahaya.
“Baik, Bu. Terima kasih nasehatnya. Kalau Aya kemari lagi mending tidak usah diberi apa yang dia mau.”
“Yakali begitu! Gua dagang kalau ada yang beli ya gua ladenin lah!” timpalnmya dengan enteng.
“Tapi kalau nggak dibayar siapa yang repot, Bu?”
“Ya itu urusan lu, Akar! Yang laen mah bayar. Jangan ceramahin gua, mending urus anak badungmu itu!” Akar diam. Dia tidak lagi menyahut dan memilih untuk pulang.
Setibanya di rumah pemandangan yang sama masih juga di lihat oleh Akar. Anaknya tetap bermain ponsel tanpa kenal berhenti. Dengan cepat Akarsana menyahutnya dan menyembunyikannya di balik punggung.
“Dengar, Aya! Ibu nggak pernah larang kamu buat main hp. Tapi ibu minta kamu juga tahu waktu. Kapan harus belajar dan kapan harus main,” pesan Akarsana. Ia tidak mengalihkan wajahnya pada Cahaya.
“Peduli setan! Balikin ponselku!” pinta Cahaya.
“Nggak! Sebelum kamu belajar. Mau jadi apa kamu kalau nggak belajar? Sebentar lagi ujian, Aya.”
“Yang jelas gue nggak bakal jadi wanita kaya lo! Masuk ke hidup ayah dan gue seenaknya. Lo kira lo berjasa?!”
“Aya cukup! Ibu nggak mau berdebat sama kamu!”
“Lo kira gue mau?! Nggak, sama sekali! Bahkan gue nggak peduli ama lo. Tugas lo cari duit buat gue sekolah, jajan, dan main nggak usah ceramahin gue! Lo bukan siapa-siapa gue!”
“Kalau begitu aku juga nggak ada hak untuk memberimu uang kan?” tekan Akarsana. Ia lantas memberikan ponsel Cahaya dan berlalu masuk ke kamarnya. Menahan dadanya yang bergemuruh karena amarah.
Setelah pintunya terrtutup Akarsana memejamkan mata dan butiran bening itu menerobos pelupuknya.
“Huh—” Akarsana berusaha mengatur napasnya. Ia tidak mau menangis, ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Dia bukan wanita yang lemah.
“Akar, ingat! Akar adalah kekuatan terbesar pohon. Kita tidak pantas menangis dan lemah.” Gadis itu bermonolog pada dirinya sendiri. Menguatkan lagi pondasi diri agar tidak mudah tersulut emosi yang dinyalakan oleh Cahaya.
Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua
Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma
Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana