Share

2 : Kenyatahan Pahit

2

Tirtha membuka pintu rumahnya dan sudah mendapati pria paruh baya berkacamata di ruang tamunya. Pria itu tersenyum tipis dan mendekati sang ayah.

“Pa? sudah lama?” sapa Tirtha. Pria itu menunduk untuk mencium tangan ayahnya.

“Ibumu sakit. Anak macam apa kamu?! Dia wanita yang melahirkan dan besarin kamu, Tirtha!” geramnya. Merasa bahwa anaknya sangat tidak tahu malu.

“Maaf, Pa. Tirtha akan pulang.”

“Emang udah seharusnya kamu pulang, Tirtha! Hartamu nggak bakal kamu bawa mati. Harusnya kamu bisa memprioritaskan ibumu!” amarah pria itu masih meletup tidak tertahankan.

“Maaf, Pa.” kepalanya tertunduk, ia tidak pernah dekat dengan pria itu. Tirtha canggung dengan ayahnya sendiri.

“Aku tunggu besok di rumah! Kalau kamu tidak juga pulang, tidak usah kembali sekalian, Tir! Di rumah kami masih punya keluarga terbaik!” sarkasnya. Lantas ia pun keluar dari rumah anak kandungnya sendiri.

Tirtha mengembuskan napasnya dengan kasar, lega sekaligus tidak enak hati. Dia sudah lama tidak menelepon ibunya sendiri. Waktunya habis untuk bekerja.

Jemarinya meraih benda persegi di kantong celananya. Kemudian menekan nomor snag ibu.

“Nak? Kamu apa kabar? Kenapa tidak pernah telpon ibu?” hati Tirtha seolah di remas. Begitu panggilannya terhubung, hal pertama yang ditanyakan oleh sang ibu adalah kabarnya.

“Maafin, Tirtha, Ma. Malam ini Tirtha akan pulang. Mama sakit apa?”

“Pasti Papamu datang ‘kan? Memang keras kepala. Kalian para pria tidak bisa diandalkan,” gerutu sang ibu diseberang.

“Tritha minta maaf, Ma. Aku tutup telponnya dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi di rumah,” pamitnya. Setelah mendengar jawaban dari snag ibu, laki-laki bertubuh tinggi itu mengakhiri panggilan tersebut.

Ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Seharian dilanda hal-hal yang tidak terbayangkan.

Setelah satu jam mendinginkan isi kepala dan merehatkan tubuhnya ia lantas meninggalkan ruang tamu lalu membersihkan diri. Ia benar-benar akan pulang. Ancaman sang ayah tidak pernah bisa membuatnya tenang. Sang ayah tidak pernah bercanda dengan ucapannya.

Menempuh perjalanan selama tiga jam. Tirtha akhirnya tiba di rumah sang ibu. Malam semakin gelap, dan seluruh lampu di rumah itu telah padam. Nampaknya terjadi pemadaman masal di desanya. Hidup di desa terkadang masalah listrik dan benana alam lekat sekali.

Mobil sang ayah sudah teraprkir tepat di sebelahnya. Tirtha mengetuk pintu dan seraut wajah sang ayah kembali dia lihat.

“Pa—” Tirtha kembali membungkuk untuk menyahut tangan ayahnya guna ia cium. Kemudian ia masuk. Langsung menuju kamar sang ibu.

Melihat betapa tua orang tuanya. Guratan di telapak tangan itu tidak mampu menipu Tirtha lagi. Tangan itulah yang menrawatnya sedari bayi.

“Nak? Kamu benar-benar pulang? Kenapa tidak besok pagi saja?” ucap sang ibu dengan lemah.

“Tirtha tidak ingin mengingkari janjiku, Ma. Kenapa tidak telpon Tirtha kalau mama sakit?”

“Mama tidak ingin gangguin kamu.”

“Mama ngomong apa? Sekalipun Tirtha sibuk pasti bakalan angkat telpon Mama,” balasnya.

“Sudahlah lupakan. Kamu mau makan? Mama akan masak buatmu.”

“Tidak perlu, Tirtha tidak lapar. Mama istirahat saja. Besok kita ke dokter, ya.” Wanita tua itu mengangguk. kemudian memejamkan mata.

Tirtha keluar dari kamar sang ibu. Mendapati Awan, sang ayah duduk termenung di ruang tengah. Tirtha mendaratkan pantatnya di sofa tepat di samping sang ayah.

“Ibumu sakit parah, Tirtha. Dokter bilang kanker payudaranya sudah sampai stadium akhir. Jangan sampai beban pikirannya menggerogoti kesehatannya.”

“Mama kanker?” Tirtha sungguh terkejut dengan apa yang dituturkan oleh ayahnya. Selama ini sebegitu tak acuhnya Tirtha pada sang ibu sehingga sama sekali tidak tahu kondisinya.

“Itulah. Kamu tidak pernah tahu karena kamu sama sekali tidak perhatian padanya. Mau sampai kapan?”

“Tirtha minta maaf, Pa. apakah ada yang bisa dokter lakukan untuk Mama?”

Awan menggeleng. “Tidak ada. Operasi sudah dilakukan dua kali dan penyakit itu sudah mengakar ke semua tubuhnya. Dia hanya ingin melihatmu bahagia. Lalu apakah kamu pernah terlintas ingin membahagiakannya dengan apa yang diidamkan?”

Tirtha terdiam. Tidak mampu menjawab apa pun yang diucapkan oleh pria berusia senja itu.

“Lupakan! Istirahatlah.” Awan meninggalkan anaknya. Ia masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di samping istrinya.

Sementara Tirtha larut dalam pikirannya sendiri. Sungguh, dia sama sekali tidak bisa menjalani hidup di desa. Lalu bagaimana sekarang? Ibunya sakit parah dan tidak mungkin juga dia akan meninggalkan wanita yang telah berjasa pada kehidupannya.

**

Di rumah, Akarsana. Wanita itu berdiam diri di dalam kamar setelah memasak makan malam untuk anaknya. Namun, hingga jam sepuluh makanan itu tidak juga disentuh oleh Cahaya. Akar mengetuk pintu kamar Cahaya dengan harapan gadis itu mau membukanya.

“Aya, ini Ibu. Bisa kamu buka pintu? Kita makan bareng, yuk!” Meskipun dia tidak selera makan, tetapi jika tidak dengan kata itu Cahaya tidak akan makan. Remaja dua belas tahun itu masih bungkam tidak mau menjawab.

“Boleh ibu masuk? Ibu mohon, Aya,” pinta Akar.

Lagi-lagi tetap hening. Akarsana menyerah, dia tidak akan menganggu anaknya. Bagaimanapun ini memang sulit untuk mereka berdua jalani.

“Kalau kamu lapar, makanannya ada di kulkas, ya. Ibu di kamar,” tambah Akarsana sebelum akhirnya meninggalkan pintu Cahaya.

Hingga malam larut pun, Akarsana tidak mampu terpejam. Ia terus menatap fotonya dan suami. Tanpa diminta dan tanpa Akarsana ingin, air matanya jatuh kembali. Ia mendekap bingkai mungil yang biasanya dia letakkan di nakas.

“Mas, kenapa secepat ini? Sebegitu yakinnya kamu sama aku? Sampai harus meninggalkan aku sendiri? Bagaimana aku jalani semuanya, Mas? Ini sulit,” lirih Akarsana.

Bagaimana dia harus merawat gadis remaja? Bagaimana dia harus memenuhi kebutuhan dan biaya sekolah Cahaya? Akarsana tidak tahu. Baru setengah hari dan itu sudah membuatnya tertekan, ketakutan, dan kalangkabut.

Belum lagi cicilan setiap bulan yang harus mereka tanggung. “Mas—” Akarsana merebahkan tubuhnya. Dia setia memeluk bingkai foto itu. Rindunya sudah mendekatinya. Kata-kata sudah tidak mampu dia lontarkan.

Jika, biasanya malam ini mereka akan talk pillow, membahas segala hal. Membicarakan aktivitas mereka seharian. Kini, kamar itu sepi, Akarsana sendirian dan tidak tahu harus apa kecuali berusaha mengusir kesedihannya.

Paginya, Akarsana keluar dari kamar. Dia benar-benar tidak tidur semalaman. Matanya kian tidak bisa terbuka lebar karena terlalu banyak menangis. Dia mencari keberadaan anaknya. Mendekati lagi pintu kamar Cahaya. Berusaha memanggil Cahaya, mengetuk pintu akan tetapi, tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. Sampai Akarsana memutuskan untuk membukanya.

“Lancang banget buka-buka pintu kamar orang?!” sarkas Cahaya.

“Ibu tadi udah ngetuk pintu, Aya. Udah manggil kamu juga, kamu nggak jawab,” jelas Akarsana.

“Aku nggak sudi ngomong ama pembunuh!”

“Aya! Cukup! Aku ibumu. Mau tidak mau kamu harus menerima itu. Ada atau tidak ada ayahmu, kamu tetap tanggung jawabku. Jangan memulai pertengkaran,” tegas Akarsana yang tergulung emosi Cahaya.

Dia selalu sabar menghadapi remaja itu, akan tetapi dirinya selalu tidak dianggap. Padahal, Akar menerimanya dengan tulus. Tidak sekalipun Akar memperlakukan Cahaya dengan buruk.

“Keluar!” usir, Cahaya pada akhirnya. Ia mendorong tubuh Akar dan menutup pintu dengan kencang, hingga membuat Akar berjengit.

“Kuat, Akar! Seperti namamu. Akar adalah adalah kekuatan terbesar pohon. Meskipun Akarsana yang sebenarnya berarti menarik dan cantik. Namun, aku sungguh tidak butuh pengakuan sebegai Akarsana. Aku akan menjadi Akar. Kuat dan kokoh demi pohon rumah tangga ini. Aku akan berjuang, Mas. Kamu tenang saja, Cahaya akan tetap aku urus sebaik mungkin. Aku janji.” Ia bermonolog. Menguatkan diri yang sejatinya rapuh dan lemah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status