Share

Suami Bersama
Suami Bersama
Penulis: Rohani Nuraeni

Meminta Ijin

“Dek, aku mau nikah lagi,” ucap Yusuf Pramudya, lelaki bergelar suami yang menikahiku belum lama ini.

Entah apa alasan suamiku yang baru pulang dari luar kota, langsung memberitahukan keinginannya itu kepadaku, sedangkan koper yang dibawanya belum aku bongkar.

Mas Yusuf menarik tanganku yang baru saja meletakan tas kerjanya di meja. Lelaki itu berdiri gagah di depanku dengan kemeja digulung hingga siku dan dasi yang dilonggarkan sembari tangan kekarnya menggenggam tanganku. Bau maskulin dari tubuhnya menyeruak di hidungku karena begitu dekatnya ia berdiri.

Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku sering mengalami ini saat didekatinya. Namun, mengapa kali berbeda. Ada rasa takut juga dalam hatiku. Apakah ia serius dengan ucapannya tadi? Aku coba menepis pikiran itu.

"Apa kau mengijinkan aku untuk menikah lagi, Nadhira?" tanyanya dengan seutas senyuman meminta persetujuan.

Kulepaskan genggamannya dan tidak ingin kujawab. Aku malah beralih ke dapur untuk mengambilkannya minum. Kutahu suamiku lelah. Sebaik mungkin aku akan melayaninya.

Usia pernikahan kami baru seumur jagung, jahat sekali bila lelaki itu benar-benar ingin  menikah lagi. Batinku.

Aku kembali menghampiri Mas Yusuf dengan segelas air putih di tanganku.

"Nadhira, aku serius akan menikah lagi! Aku akan menikah dengan Naura," ucap Mas Yusuf tegas.

Bagai disambar petir, padahal tidak ada hujan atau badai sore ini. Namun, aku langsung menutup telinga dan tidak ingin mendengarnya. Gelas yang kupegang jatuh berkeping.

Praaang!

Aku marah. Raut wajahku memerah setelah mendengar pernyataannya. Alih-alih mendapat oleh-oleh yang menggembirakan sepulang ia dari tugasnya di luar kota, justru  sebuah berita yang menyayat hatiku yang harus aku terima.

“Ijinkan aku, Nadhira! Ini semua karena sebuah amanat dari ayahku dan ayahnya Naura sebelum mereka meninggal. Mereka berdua telah membuat kesepakatan di atas kertas untuk menikahkan kami berdua. Dan aku baru tahu setelah ibunya Naura bercerita padaku saat aku bertemu dengannya di Bandung,” ucap Mas Yusuf sembari menggenggam tanganku.

Aku terperanjat dengan pengakuan suamiku itu. Sebuah amanat? Kesepakatan di atas kertas? Apa maksud semua itu? Mengapa baru sekarang terungkap setelah Mas Yusuf menikahiku. Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh tidak masuk akal menurutku.

Hal yang lebih membuat aku semakin tercengang hingga membuat mataku membulat, ternyata wanita calon maduku itu adalah temanku sendiri saat kuliah dulu, sekaligus atasan suamiku.

Namanya Naura Amanda. Ia wanita muda berparas cantik dengan segudang prestasi saat kuliah. Ia juga memegang jabatan direktur di perusahaan tempat suamiku bekerja. Sedangkan diriku, aku hanyalah seorang guru honorer yang mengabadikan diri mengajar anak-anak di sebuah sekolah menengah atas di daerahku dengan gaji yang tidak seberapa. Untuk gaji aku tidak mempermasalahkan, karena aku mengajar hanya untuk mengisi waktu luangku.

“Lalu bagaimana pernikahan kita? Aku gak mau dimadu, Mas! Aku hanya mau, kamu milikku seorang, tanpa ada orang lain. Tidak bisakah kamu batalkan pernikahan itu?” Aku bersikukuh pada pendirianku dan menolak keinginannya.

“Nadhira, tolong mengertilah! Aku tidak mungkin membatalkan pernikahanku dengannya, karena pernikahannya akan dilaksanakan seminggu lagi. Dan lagi pula, ibunya Naura sedang sakit saat ini. Apa aku mampu menolaknya? Bagaimana bila kamu ada di posisiku?”  jawab Mas Yusuf memohon dengan diakhiri pertanyaan yang tidak bisa aku jawab.

Di awal pernikahanku ini, seharusnya saat ini aku dan Mas Yusuf sedang mereguk manisnya pernikahan. Seharusnya kami saling mendukung dan sedang mesra-mesranya merajut kasih. Sebagai pengantin yang terbilang baru, seharusnya lelaki itu mengajakku untuk berbulan madu di bulan ke tiga pernikahan kami. Namun, sepertinya semua itu hanya angan belaka bagi seorang Nadhira Putri. Wanita sederhana yang hanya ingin memiliki Yusuf Pramudya seorang.

Aku tersenyum miris. Tatapan tajam aku hujamkan pada suamiku. Hah, mengerti? Seharusnya lelaki itu yang mengerti perasaanku sebagai istrinya. Wanita mana yang rela dimadu dan berbagi suami dengan wanita lain? Terlebih saat ini kami sedang menikmati manisnya madu pernikahan. 

Aku mendesah seraya menghembuskan napas pendek. Mencoba mencerna perkataan suamiku. Dilema memang baginya.

“Apa yang harus aku mengerti dari situasi seperti ini, Mas? Kamu memaksa aku untuk mengerti, tapi apa kamu sudah mengerti dengan perasaan aku? Tidak bisakah kamu menyentuh hatiku terlebih dahulu, sebelum kamu memutuskan untuk menikah lagi?” Kulontarkan pertanyaan padanya sembari menyilangkan tangan di dada. 

“Bahkan kamu tidak memberikan alasan syar’i, kenapa kamu ingin menikah lagi? Apa karena jabatan, heh?” tanyaku lagi sambil memicingkan mata.

Aku dapat berspekulasi seperti itu, karena suamiku baru saja mendapat promosi jabatan pada perusahaan calon maduku.

“Nadhira!!!” Bentak Mas Yusuf. “Hati-hati kalau  bicara! Aku tidak serendah itu! Untuk apa aku mengorbankan cinta kita hanya karena jabatan?!” ucapnya lagi dengan wajah memerah dan tangan mengepal.

Aku terkesiap kaget karena bentakan Mas Yusuf hingga kedua tangan ini menutup mulutku yang menganga. 

Baru aku melihat kemarahannya dan mendengar bentakan yang menusuk hatiku. Selama aku bersamanya, tidak pernah kudengar  sekalipun nada tinggi keluar dari mulutnya. Dia lelaki lembut, penyayang, dan tidak pernah berbuat kasar, apalagi bernada tinggi. Itulah yang membuat aku jatuh cinta padanya. 

Namun, hari ini, entah karena ia sedang lelah atau bingung, nada tinggi itu aku dengar.

Tak terasa buliran bening yang sedari tadi membendung di kelopak mataku meluncur perlahan di pipiku. 

Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menutupi wajahku dan menangis. Mas Yusuf merasa bersalah karena telah membentakku. Ia mendekati padaku dan berlutut di bawah kakiku. Dihelanya tanganku dari wajah dan mengambilnya untuk ia genggam.

“Maaf, Maafkan aku, Nadhira! Aku tidak bermaksud membentakmu,” ucap Mas Yusuf seraya meraih tubuhku dalam pelukannya. 

Aku menangis tersedu. Mas Yusuf membelai kepalaku yang berbalut kerudung. Kurasakan kenyamanan saat ia memelukku.

Tiga bulan lalu, saat Mas Yusuf mengucapkan akad sucinya di hadapan penghulu dan walinya adalah ayahku sendiri. Ia mengikat janji padaku, wanita yang selama tiga tahun ia pacari dan setelah memantapkan hatinya, ia pun akhirnya menikahiku.

Aku tampak cantik dengan kebaya putih yang membalut tubuhku. Acara pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan tetangga sekitar itu menjadi peristiwa bersejarah dari penyatuan cinta kami.

Ayahku sempat ragu saat aku memutuskan untuk menikah dengan Mas Yusuf. Entah apa yang membuatnya ragu ketika itu. Mungkin, inikah  jawaban atas keraguan ayahku?

Apakah ini karma karena aku tidak menuruti perkataan ayahku?

Ah, tidak! Tidak ada karma di dalam agamaku. 

Mas Yusuf kini sudah menjadi suamiku, Imamku. Sebisa mungkin aku akan menutupi kesalahan suamiku di depan ayahku karena sudah menyakiti putrinya.

Aku tidak ingin menyesali pilihanku, karena ini adalah takdir hidup yang harus aku terima dan aku jalani.

“Maafkan aku! Maafkan aku, Nadhira! Maafkan aku!” ucapnya lagi berulang-ulang di telingaku.

.

.

.

Bersambung.....

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Oma Ayesha
lanjuuut kan...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
percuma juga sekolah tinggi klu tolol dan dungu. mana ada suami yg mencintai mu dan baru 3 bulan menikah tapi mau poligami. alasan g masuk akal sama g masuk akalnya dg alasan mu bertahan.krn ujung2nya jg dicampakkan
goodnovel comment avatar
Melisa Setiawan
lanjutttt keren bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status