Share

Cerai?

"Saat ini juga kamu harus ceraikan Nadhira!" tegas ayahku sambil telunjuknya mengarah pada Mas Yusuf.

Aku terperanjat mendengarnya. Begitu juga Mas Yusuf. Ia berdiri kemudian berhadapan dengan ayahku dan menentangnya. Dua lelaki itu saling menatap tajam.

"Aku tidak mau menceraikan Nadhira, dan tidak akan pernah. Nadhira istriku dan selamanya akan menjadi istriku!" ucap suamiku lantang seolah mengajak ayahku berperang.

"Terserah!!! Tapi setelah ini Bapak yang akan mengurus perceraian kalian," ucap ayahku tidak mau kalah lalu beralih padaku. 

"Ayo, Nadhira, kita pulang!" ajak ayah.

"Tapi, ayah..." ucapku.

"Ayo, pulang!" suruhnya lagi dengan wajah memerah dan menarik tanganku agar ikut dengannya.

Baru beberapa langkah kami maju, Mas Yusuf berteriak. "Tidak, Pak, aku tidak akan menceraikan Nadihira! Aku mencintai dia, dan kami sudah berjanji akan hidup bersama selamanya. Tidak ada yang bisa memisahkan kami. Aku tidak akan pernah menceraikannya. Dengar itu, Bapak Abdurrahman!"

"Nadhira... Nadhira...!" panggil Mas Yusuf.

Aku berjalan keluar gedung sambil menangis dan masih dalam genggaman kuat ayahku. Pandanganku menoleh ke belakang dan melihat suamiku yang terus berteriak memanggilku, berharap ayahku mendengar. Namun, seakan tuli, ayahku tidak mengindahkan menantunya itu. Kulihat orang-orang menatapku tajam dan kudengar bisik-bisik di antara mereka.

Ayah membawaku masuk ke mobil dengan amarah yang menggebu. Terlihat dari raut wajah dan deru napasnya yang memburu, sehingga dadanya tampak naik turun.

Adrian berlari menuju kursi kemudi setelah ayahku duduk di kursi depan. 

Adrian melajukan mobilnya dan mengantarkan kami pulang ke rumah ayah. Selama perjalanan, aku hanya diam. Tangisku sudah reda, walau sedikit terisak, karena ayah memintaku untuk tidak menangisi laki-laki yang sudah menduakan diriku.

Kudengar ayah mengumpati suamiku dengan sarkas. Memaki walau orang yang ia bicarakan itu tidak ada di dekatnya. 

"Sabar, Pak, tenangkan diri Bapak. Ingat kesehatan Bapak!" ucap Adrian kepada ayahku yang duduk di kursi sebelahnya, sambil memfokuskan diri menyetir.

"Suami macam apa yang meminta ijin pada istrinya untuk menikah lagi, padahal dia belum lama menikahi anakku? Dasar laki-laki brengs*k!" umpat ayahku.

"Itulah kenapa dari awal ayah gak setuju kamu menikah sama dia, Nadhira," ucap ayah padaku, tanpa melihat aku yang duduk di belakangnya.

"Ayah nyesel sudah menikahkan kamu sama Yusuf,' ucapnya lagi.

Aku hanya diam. Bibirku seakan terkunci untuk bicara. Kuusap jejak air mata yang masih saja keluar dari sudut mataku, padahal aku sudah berhenti menangis.

Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami bertiga di dalam mobil yang melaju dengan lambat. Semua berada dalam pikiran masing-masing. Aku masih memikirkan ucapan ayahku yang memintaku untuk bercerai dengan Mas Yusuf.

***

Kami sudah sampai di rumah ayah. Ayah keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku.

"Cepat keluar dan segera masuk ke rumah!" suruhnya dengan suara tegas. 

"Engga, Ayah, aku mau pulang ke rumah suamiku," tolakku masih berada di dalam mobil.

Ayah menarik tanganku kasar hingga akhirnya aku keluar dari mobil.

"Ayo, masuk!" suruh Ayahku.

"Engga, Ayah... kumohon biarkan aku pulang ke rumah suamiku," pintaku lagi sambil berusaha melepas  genggaman ayah.

"Ayo, masuk!" Ayah membawaku masuk hingga ke ruang tamu rumahnya.

Aku terus meminta agar aku pulang ke rumah Mas Yusuf, karena bagaimanapun Mas Yusuf masih suamiku. Untuk tinggal di rumah ayah, aku harus meminta izin suamiku terlebih dahulu. 

"Kamu ini memang keras kepala, Nadhira!" bentak ayahku sembari tangannya terangkat hendak menamparku. Namun, tangan itu tertahan di udara.

"Ada apa ini, Kang, ribut-ribut?" tanya Bi Asih yang masuk dari arah depan.

Ayah menurunkan kembali tangannya dengan mengepal.

"Besok kamu urus perceraianmu dengan Yusuf!" tegas ayahku. Bi Asih terperangah.

Aku langsung berlutut dan memohon padanya agar tidak memisahkan aku dengan Mas Yusuf.

"Ayah, kumohon jangan pisahkan aku dengan Mas Yusuf! Aku yakin dia akan selalu bersamaku, walaupun ia sudah memiliki istri lagi. Ia sangat mencintaiku, ayah... Ia sudah berjanji akan membahagiakanku," ucapku sembari memegang tangan ayah dengan pandangan mendongak ke arahnya. Deraian air mata membasahi pipiku.

"Kumohon, ayah, aku gak mau bercerai dari Mas Yusuf! Apa ayah tega, aku harus menjanda di usiaku yang masih muda? Apa kata tetangga nanti, pernikahanku pun belum lama, pasti akan banyak gunjingan yang datang padaku. Ayah tidak mau itu terjadi, bukan? Ayah, tolonglah pikirkan baik-baik!" kataku lagi.

Ayah tidak menjawab. Ia menepis kasar pegangan tanganku, kemudian bergegas masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu itu dengan kencang.

Braak.

Aku tersentak lalu menangis sambil berlutut.

"Kunaon, Geulis? Ada apa kamu sama Yusuf?" Bi Asih menghampiriku. Aku berhambur memeluk Bi Asih.

"Tenang, nya, Geulis!" kata Bi Asih sambil mengusap punggungku.

"Bi, bilangin ayah, agar jangan memisahkan aku dengan Mas Yusuf," pintaku pada adik ayahku.

Bi Asih melerai pelukannya kemudian berucap, "Sok sekarang cerita sama Bibi! Udah, jangan nangis!"

Setelah tenang, aku pun menceritakan apa yang terjadi pada Bi Asih. Bi Asih kaget mengetahui ternyata aku dimadu oleh suamiku. Ia sempat marah mendengarnya. Namun, ia masih bersikap tenang dan bersedia untuk berbicara baik-baik dengan ayahku.

"Nanti Bibi coba bicara dengan ayahmu. Sabar, ya, biarkan ayahmu tenang dulu!" ucap Bi Asih saat sudah berada di luar rumah. Aku hendak pamit pulang padanya.

"Makasih, ya, Bi. Kalau begitu aku pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamitku sambil mencium tangannya.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Geulis!"

Adrian turun dari mobilnya. Saat aku mengobrol dengan Bi Asih, ia menunggu di mobilnya.

Aku masuk ke mobil Adrian setelah laki-laki itu membukakan pintu.

"Mari, Bi," pamit Adrian ramah.

Adrian masuk ke mobil dan segera melajukannya. Akupun pulang ke rumah suamiku diantar oleh Adrian.

Mobil Adrian berhenti di depan rumahku. Bi Ira membukakan pintu setelah aku memencet bel rumahku. 

"Rian, makasih, ya, untuk semuanya," ucapku sebelum ia pulang.

"Sama-sama, Dira. Sebaiknya kamu istirahat dan jangan berpikir yang macam-macam!" sarannya. "Baiklah aku pamit." Ia pun pamit.

"Ya, hati-hati."

Adrian berjalan ke arah mobil. Sebelum masuk, ia menoleh ke arahku lagi. Aku mengulas senyum, menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Walau pada kenyataannya tidak.

Tak lama, Adrian masuk dan melajukan mobilnya. Setelah mobil Adrian hilang dari pandangan, barulah aku masuk ke rumah.

"Non, baru pulang? Gimana acaranya lancar?" tanya Bi Ira saat aku sudah berada di dalam.

"Ah, iya, Bi. Alhamdulillah, semua berjalan lancar," jawabku berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan terjadi keributan di pernikahan suamiku.

Bi Ira menawariku untuk makan. Namun, aku menolaknya. Aku tidak lapar. Aku hanya lelah dan ingin segera mencapai kamarku. Aku ingin merebahkan daksaku di pembaringan hingga terlelap dan melupakan sejenak soal ayahku yang meminta agar aku dan Mas Yusuf bercerai.

Cerai? Apa aku harus bercerai dengan suamiku? Apa aku sanggup hidup tanpa Mas Yusuf, laki-laki kedua yang sangat aku cintai setelah ayahku?

.

.

.

*Geulis : Cantik

Bersambung....

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Dira kmu akan menyesal .itu suami akan bulan madu pasti pulang dr sana dia akan lupa dgn kmu Yuduf akan ke semsem dgn permainan Naura .
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Nadira kmu akan menyesal nanti bener kata ayah mu buat apa d pertahan kn mumpung masi baru kmu menikah dn nanti klo dia pergi bln madu dia akan lupa dgn mu Yusuf dh k semsem dgn permainan Naura ..
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Dongo bgt nh dibutakan cinta
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status