Share

Keributan di Hari Pernikahan

Dadaku terasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana menatapku. Hingga di sebuah ruang sepi, di mana tidak ada orang, aku berjongkok dan menangis tersedu.

Wanita mana yang sanggup menyaksikan suaminya menikah lagi dan berbagi suami dengan wanita lain. Sekuat apapun aku menahan rasa sesak di dadaku, nyatanya aku lemah dan tidak mampu melihat semua itu. 

"Ambil ini, hapus air matamu!" ucap seorang laki-laki.

Aku mendongak dan melihat siapa laki-laki yang berdiri di depanku.

Adrian Mahesa. Lelaki yang selalu ada saat aku sedang sedih. Dia adalah temanku dan juga teman suamiku.

Aku mengernyitkan dahi.  

Mengapa dia ada di sini? Bukankah tadi dia mengantar ayahku pulang? tanyaku dalam hati.

"Ayo berdiri dan hapus air matamu!" suruhnya sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

Rian, begitu aku memanggilnya. Ia menyodorkan sapu tangannya lagi kepadaku. Aku mengambilnya dan menghapus jejak air mata yang sedari tadi membasahi pipiku.

"Air mata hanya akan membuatmu lemah!" ucap Adrian mengingatkanku. 

"Haha!" Aku tertawa miring ke arahnya. 

"Kamu sering mengatakan itu padaku. Apa kepada setiap perempuan yang sedang menangis, kamu juga mengatakannya, Rian?" tanyaku sinis.

Kalimat itu memang selalu kudengar saat aku menangis dan itu cukup menguatkanku.

"Hanya kepadamu. Karena hanya kamu yang aku lihat selalu menangis." Jawaban Rian seketika membuatku memicingkan mata.

"Kamu pasti berbohong," ucapku tidak percaya.

"Terserah, kamu mau percaya atau tidak. Tapi aku berkata jujur," tukasnya dingin.

Aku sedikit tenang saat bersama Adrian. Lelaki itu selalu menghiburku saat aku sedang sedih. Bukan hanya hari ini. Saat masih kuliah dulu atau saat aku ada masalah dengan Mas Yusuf saat masih berpacaran. Dia selalu ada untukku. Dia sudah seperti kakakku sendiri.

"Yuk, balik ke pesta itu!" ajak Adrian hendak menggandeng tanganku.

Aku masih mematung. Adrian menarik kembali tangannya kemudian berjalan di depanku. 

Aku pun mengikutinya untuk kembali ke pesta di mana orang-orang di sana tengah bersuka cita. Ada yang ikut bernyanyi sambil bertepuk tangan mengikuti nyanyian seorang biduan yang mengisi acara tersebut. Ada yang sedang menikmati hidangan dan ada yang sekedar bercengkrama dengan pasangannya masing-masing. 

Aku melihat Mas Yusuf dan Naura berdiri di pelaminan menyambut ucapan selamat dari para tamu undangan. 

Aku tersenyum memandang lurus ke arah mereka yang tampak serasi. Naura makin cantik dalam balutan gaun pengantin berwarna putih berlapis payet dengan bentuk  leher off shoulder yang dikelilingi hiasan bunga di sisinya, sangat pas di tubuhnya yang semampai. Mas Yusuf pun sudah berganti pakaian dengan jas taxido hitam yang juga sangat pantas di tubuhnya yang atletis.

"Kamu tidak mau mengucapkan selamat pada suamimu, Dira?" Pertanyaan Adrian menginterupsiku.

"Ayo, aku temani kalau kamu mau ke atas sana untuk mengucapkan selamat pada mereka," ajak Adrian.

"Tapi... apa kamu kuat, hem?" tanyanya lagi.

"Hah!" Aku menghela napas pendek dan menghembuskannya kasar. Aku mendelik ke arahnya. Lelaki ini sedang menantangku atau mengejekku? 

Adrian menunggu jawabanku.

"Ayo, siapa takut!" ajakku akhirnya dengan sedikit keberanianku yang ada.

Aku melangkah ke depan menuju pelaminan di mana suami dan maduku berada.

"Selamat ya, Mas, moga samawa," ucapku diiringi doa tulus untuknya. Aku hendak meminta tangan Mas Yusuf untuk kucium. Namun, lelaki itu malah memelukku erat.

"Maafkan aku, Nadhira! Maafkan sudah menyakiti hatimu, maafkan aku, sayang!" ucap Mas Yusuf sambil terus memeluk erat dan sesekali menciumi setiap jengkal wajahku hingga pucuk kepalaku yang terbalut kerudung.

Aku berusaha melepas pelukannya. Namun, ia malah semakin mengeratkan tangannya ke tubuhku. Seolah tidak ingin aku pergi jauh darinya. 

Semua mata menatap kami, tak terkecuali Naura dan ibunya. Naura memaksakan bibirnya menyunggingkan senyum getir kepada seluruh tamu undangan.

"Mas, jangan kayak gini! Malu diliat orang," ucapku pelan dan berusaha melepaskan pelukannya. Namun, Mas Yusuf seolah tidak ingin mendengar.

Tiba-tiba seorang wanita melerai pelukan kami dengan kuat. Aku mundur beberapa langkah dari Mas Yusuf, hingga Adrian yang berada di belakangku ikut terdorong. Kulihat wanita bertubuh gempal berbalut kebaya melayangkan tangan ke wajahku. 

Plaaak.

Semua orang terdiam dan menyorotkan pandangan ke arahku. Aku memegangi pipiku yang panas.

"Kamu! Sengaja, ya, mau mempermalukan anak saya? Kenapa kamu harus ada di pernikahan suamimu dan anak saya? Kamu mau pamer ke orang-orang bahwa kamu ini istri yang baik dan solehah, yang mengizinkan suami kamu menikah lagi? Biar bisa dicontoh wanita lain. Iya, begitu?" Wanita yang merupakan ibu dari Naura memberondong pertanyaan padaku.

Aku hanya diam sambil menahan tangis.

"Kamu juga, kenapa peluk-peluk wanita ini sementara kamu sudah menikah dengan anak saya?" ucapnya pada suamiku. 

"Bu, Nadhira itu juga istri saya. Apa salahnya saya bersikap begitu padanya? Saya tau dia berat hati mengizinkan saya menikahi anak ibu, tapi dia tetap menerimanya. Saya hanya ingin dia tetap berada di samping saya. Apa itu salah?" sergah suamiku.

"Tapi, apa harus di depan umum kalian berpelukan? Kamu harus jaga perasaan anak saya juga, dong!" ucap wanita itu lagi.

"Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini!" suruhnya sambil menarik tanganku hingga aku hampir terjatuh. Untung ada Adrian yang menangkap tubuhku.

Terdengar teriakan dari arah pintu masuk gedung. "Lepaskan dia!!!" 

Sontak para tamu undangan menoleh dan menghujamkan pandangan ke arah sosok laki-laki paruh baya yang berdiri di ambang pintu.

"Ayah?!" ucapku lirih kemudian mengalihkan pandangan pada Adrian.

"Rian, mengapa ayahku ada di sini?" tanyaku panik.

Adrian tidak menjawab. Ia menghampiri ayahku yang berjalan cepat menuju pelaminan.

"Pak, Bapak sudah janji untuk tidak masuk, tapi kenapa Bapak ke sini?" tanya Adrian.

"Aku tidak terima anakku diperlukan seperti itu. Biar kuhabisi laki-laki itu!" sarkas Ayahku emosi. Ia berjalan ke depan dan memaki pada wanita yang menyeretku tadi.

"Anakmu tidak lebih dari perempuan perebut suami orang. Apa kamu yang mengajarkannya seperti itu? Apa tidak ada laki-laki lain selain Yusuf yang bisa anakmu nikahi? Atau laki-laki di dunia ini sudah habis, heh?" cecar ayahku pada ibunya Naura.

Wanita itu geram. Ia langsung turun dari pelaminan dan menghampiri ayahku. Keributan pun benar-benar terjadi di hari pernikahan suamiku.

"Hei, jaga ya mulut Bapak! Anak saya bukan perebut suami orang. Sebelum Yusuf menikah dengan anak Bapak, mereka sudah dijodohkan. Seharusnya Yusuf menikah dengan anak saya, bukan anak Bapak. Jadi siapa yang merebut Yusuf sebenarnya? Anakmu, Pak...." Ayahku makin emosi dan ingin menampar wanita itu. 

Mas Yusuf dan Naura menghampiri mereka. Aku hanya diam dengan raut takut sambil terisak. Tak tahu harus berbuat apa. Adrian berusaha menahan ayahku dengan memeganginya.

"Pak, cukup, Pak! Ini salah saya. Tidak seharusnya saya menikah lagi dan menyakiti hati Nadhira. Maafkan saya, Pak. Bapak boleh pukul saya se...." Belum Mas Yusuf melanjutkan kalimatnya, ayah melayangkan satu pukulan dengan keras ke wajahnya hingga ia tersungkur. Mas Yusuf memegangi sudut bibirnya yang berdarah.

"Saat ini juga kamu harus ceraikan Nadhira!" tegas ayahku.

.

.

.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nadhira biang keroknya. sok2an datang di pernikahan suami. dasar keledai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status