Hari itu pun tiba. Hari di mana suamiku akan mengucap ijab kabul untuk kedua kali dengan atasannya sekaligus teman lamaku. Naura Amanda.
Mas Yusuf sudah rapi dengan setelan kemeja putih yang dipadukan dengan jas hitam. Sama seperti tiga bulan yang lalu saat ia mengucapkan janji sucinya kepadaku. Sosok itu selalu terlihat tampan dan gagah.
"Kamu gak usah hadir ke pernikahanku, ya! Setelah acara ijab kabul, aku akan langsung pulang," ucap suamiku tiba-tiba. Peci hitam yang sedari tadi dimainkannya, ia pakai di kepala.
"Gak, Mas, aku mau ikut ke pernikahanmu. Aku juga ingin menyaksikan kamu menikah," rengekku sambil mencoba bersikap baik-baik saja. Ah, tidak. Sebenarnya hatiku sangat pedih.
"Aku khawatir, kamu tidak akan kuat melihatku menikahi Naura. Jadi, kau di rumah saja, tunggu aku pulang! Oke?!" pinta suamiku lagi sembari menangkup kedua pipiku. Satu kecupan kilat mendarat di bibirku.
Aku merasakan sentuhan lembut dari tangan lelaki itu juga bibirnya yang hangat. Tidak tahu setelah ia menikah nanti, apa keadaannya masih sama? Rasa cintanya, sikap lembutnya, dan sentuhan-sentuhannya.
Walau ia meyakinkanku tidak akan melibatkan perasaannya terhadap Naura, tetap saja hati ini tidak terima dan hatiku sakit.
“Oh, Tuhan, mengapa ini terjadi padaku?” jerit batinku.
"Yusuf, keluar kamu!!!" teriak seorang laki-laki dari luar yang aku kenal suaranya. Sontak aku dan Mas Yusuf menoleh ke arah pintu yang masih tertutup."Yusuf! Nadhira! Cepat buka pintunya!" suruhnya dengan kencang sambil terus menggedor-gedor pintu rumah kami.
"Mas, itu ayahku, Mas. Apa ayah tahu, kamu mau menikah hari ini? Tapi, siapa yang memberi tahunya?" tanyaku pada Mas Yusuf, karena aku tidak pernah bercerita apapun pada ayahku tentang ini.
Dari nada suaranya, sepertinya ayahku marah besar.
Aku dan Mas Yusuf berlari ke arah pintu dan membukanya.
Saat pintu terbuka,
Bugh.
Satu pukulan mendarat di wajah Mas Yusuf dan membuatnya tersungkur. Darah segar keluar dari sudut bibirnya.
"Akh!!!" Aku memekik.
Mas Yusuf tidak sempat mengelak, tapi ayah makin brutal dengan menarik kerah jas suamiku hingga ia berdiri dan berhadapan dengan ayahku.
Bugh.
Ayah memukul Mas Yusuf lagi dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tidak melepaskan cengkraman di kerah baju suamiku.
"B*******k, kamu Yusuf! Jangan kamu pikir saya ini sudah tua, tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga kamu seenaknya saja menyakiti hati anak saya," ucap ayahku dengan amarah yang bergejolak sambil jari telunjuk kanannya menunjuk ke wajah suamiku.
Mas Yusuf tidak melawan. Ia membiarkan ayah memukulinya.
"Ayah, hentikan, ayah! Ini bukan salah Mas Yusuf. Tolong lepaskan dia!" ucapku membela Mas Yusuf dan berusaha melepaskannya dari cengkraman ayahku.
"Biarkan ayah menghajarnya, Nadhira! Dia akan enak-enakan nikah lagi sementara kamu di sini sendiri. Kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi dan malah membelanya, heh?" desis ayahku masih dengan wajah yang memerah.
"Tidak, ayah, keadaan yang memaksanya untuk melakukan ini, dan aku juga sudah mengijinkan dia untuk menikahi perempuan itu. Maafkan aku, ayah!" jawabku sambil terisak karena tak tega Mas Yusuf dipukuli oleh ayah.
Mendengar jawabanku, ayah melepaskan cengkramannya dan beralih mendekat padaku yang sedang menangis.
"Nadhira, putriku!"
Aku mendekat pada ayah dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang masih terlihat kekar. Tangan tuanya merengkuh tubuh kecilku.
Aku tahu lelaki paruh baya itu mengkhawatirkanku dan sangat menyayangiku. Tidak ingin anak semata wayangnya ini terluka karena suaminya akan menikah lagi. Tapi untuk saat ini, biarlah ini menjadi urusan rumah tanggaku.
"Ayah, tolong pulanglah, ayah tidak usah ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Aku dan Mas Yusuf akan menyelesaikan masalah kami baik-baik," pintaku akhirnya.
Ayah mengurai pelukannya kemudian berucap, "Nadhira, ayah ke sini untuk mencegah suamimu menikah lagi, tapi kenapa kamu malah mengijinkannya? Ayah kecewa sama kamu, Nak."
"Ayah tidak usah mengkhawatirkanku! Aku baik-baik saja, Yah. Sebaiknya ayah pulang sekarang!" sahutku dan memintanya untuk pulang.
"Nadhira!" suara berat laki-laki lain memanggilku dari arah pintu.
Aku menoleh dan menghampirinya.
"Rian, kebetulan kamu ke sini. Tolong antar ayahku pulang! Aku dan Mas Yusuf harus segera pergi ke tempat pernikahan. Kami sudah terlambat," pintaku pada Adrian Mahesa. Dia temanku saat kuliah dulu selain Naura, tapi dia berada satu tingkat di atasku.
"Nadhira, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi dan bahkan kamu mau mengantarkannya? Kamu sudah gila?" tanya Adrian tiba-tiba memegang tanganku.
Mas Yusuf menatap tajam ke arah Adrian. Aku segera melepaskan genggamannya dan meminta lelaki itu membawa ayahku.
"Tolonglah, Rian, bawa ayahku dulu. Kami sudah terlambat ke pernikahan. Acaranya akan segera dimulai," pintaku lagi.
"Ayah, percayalah padaku, aku akan baik-baik saja. Ayah tidak udah khawatir. Ayah pulanglah dengan Adrian!" ucapku memelas pada ayah.
"Kuharap ayah mengerti!" tambahku dengan kepala tertuduk.
Akhirnya Adrian membawa ayahku pulang dengan mobilnya. Aku mengobati luka di wajah Mas Yusuf terlebih dahulu, sebelum berangkat ke tempat berlangsungnya pernikahan. Aku mengaplikasikan krim ke wajahnya untuk menyamarkan lukanya.
Aku menghubungi Naura, jika kami datang terlambat tanpa menjelaskan apa yang sudah terjadi.
Tak berselang lama, kami sudah sampai di sebuah hotel, tempat berlangsungnya acara pernikahan Mas Yusuf dan Naura digelar.
Konsep pernikahan yang mewah dengan dekorasi interior yang megah dan berkelas menjadi pusat perhatianku. Sangat kontras dengan pernikahanku yang digelar secara sederhana tiga bulan lalu.
Berbagai hidangan berbaris rapi di meja prasmanan yang terpasang di sudut hotel itu dan para tamu tengah menikmati satu persatu hidangan.
Aku dan Mas Yusuf berjalan di red carpet menuju tempat ijab kabul. Naura sudah duduk menunggu suamiku di sana. Di hadapannya, duduk pula seorang penghulu yang akan menikahkan mereka. Juga ada dua orang saksi yang duduk saling berhadapan.
Mas Yusuf menatapku lekat sebelum ia duduk di kursi panas ijab kabulnya. Aku mendongak membalas tatapannya sambil memegang rahangnya yang tegas. Aku tersenyum berusaha menampakkan wajah ceria yang menyiratkan bahwa aku baik-baik saja.
Kulihat ribuan pasang mata memandang ke arah kami dan mulai berbisik. Namun, aku berusaha acuh. Aku segera membimbing suamiku dan membawanya duduk di samping Naura. Dia sudah siap mengucapkan ijab kabul.
Aku mundur beberapa langkah dan berdiri tidak jauh dari tempat Mas Yusuf dan Naura duduk mengikat janji suci pernikahan mereka.
"Saya terima nikah dan kawinnya Naura Amanda binti almahum Suroso dengan mas kawin tersebut, tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
Aku berusaha tegar dan tidak mempedulikan omongan para tamu undangan yang membicarakanku. Kutahan sekuat tenaga air mata yang menggenang di pelupuk mataku agar tidak jatuh. Namun, pada akhirnya, buliran bening itu tidak tertahan dan meluncur deras tanpa aku minta, saat ijab kabul itu selesai dilantunkan.
Aku keluar dan meninggalkan Mas Yusuf di sana. Pergi ke tempat dimana tidak ada orang yang melihat aku menangis.
Dadaku merasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana memandangku. Hingga di sebuah ruang sepi, aku berjongkok sembari menangis tersedu.
"Ambilsapu tangan ini dan usap air matamu!" seseorang menyodorkan sapu tangannya kepadaku.
Aku mendongak dan melihat siapa pria yang berdiri di sampingku.
..
.
Bersambung ....
Dadaku terasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana menatapku. Hingga di sebuah ruang sepi, di mana tidak ada orang, aku berjongkok dan menangis tersedu. Wanita mana yang sanggup menyaksikan suaminya menikah lagi dan berbagi suami dengan wanita lain. Sekuat apapun aku menahan rasa sesak di dadaku, nyatanya aku lemah dan tidak mampu melihat semua itu. "Ambil ini, hapus air matamu!" ucap seorang laki-laki. Aku mendongak dan melihat siapa laki-laki yang berdiri di depanku. Adrian Mahesa. Lelaki yang selalu ada saat aku sedang sedih. Dia adalah temanku dan juga teman suamiku. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa dia ada di sini? Bukankah tadi dia mengantar ayahku pulang? tanyaku dalam hati. "Ayo berdiri dan hapus air matamu!" suruhnya sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Rian, begitu
"Saat ini juga kamu harus ceraikan Nadhira!" tegas ayahku sambil telunjuknya mengarah pada Mas Yusuf.Aku terperanjat mendengarnya. Begitu juga Mas Yusuf. Ia berdiri kemudian berhadapan dengan ayahku dan menentangnya. Dua lelaki itu saling menatap tajam."Aku tidak mau menceraikan Nadhira, dan tidak akan pernah. Nadhira istriku dan selamanya akan menjadi istriku!" ucap suamiku lantang seolah mengajak ayahku berperang."Terserah!!! Tapi setelah ini Bapak yang akan mengurus perceraian kalian," ucap ayahku tidak mau kalah lalu beralih padaku."Ayo, Nadhira, kita pulang!" ajak ayah."Tapi, ayah..." ucapku."Ayo, pulang!" suruhnya lagi dengan wajah memerah dan menarik tanganku agar ikut dengannya.Baru beberapa langkah kami maju, Mas Yusuf berteriak. "Tidak, Pak, aku tidak akan menceraikan Nadihira! Aku mencintai dia, dan kami sudah berjanji akan hidup bersama selamanya. Tidak ada yang bisa memisahkan kami. Aku tidak akan pernah menc
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Mas Yusuf belum juga menghubungiku. Setiap hari bahkan setiap detik aku menunggu telepon darinya. Namun, tak kunjung ponselku berdering dan menampilkan namanya di layar. Aku selalu berprasangka baik padanya, mungkin ia masih harus menjalani serangkaian acara pernikahan yang digelar di berbagai tempat, mengingat Naura adalah orang penting di perusahaannya. Atau, memang Mas Yusuf sedang sibuk dengan tumpukan pekerjaan di kantornya setelah beberapa hari cuti menikah.Sudah tiga hari pula, aku berangkat dan pulang dari tempatku mengajar seorang diri dengan mengendarai skutermatic-ku. Beruntung aku bisa mengendarai kendaraan roda dua itu, sehingga aku tidak perlu merepotkan orang lain untuk mengantar jemputku ke sekolah.Adrian selalu menawariku tumpangan agar ikut bersamanya. Saat kebetulan ia lewat sekolahku atau pagi-pagi sekali ia sengaja datang ke rumah untuk menjemputku. Namun, aku menolak ajakannya karena merasa tidak enak terhada
Hari berganti hari. Waktu seakan berjalan lambat. Satu Minggu itu rasanya seperti satu abad bagiku, saat aku menunggu kepulangan Mas Yusuf ke rumah kami. Setiap malam, aku tidak bisa tidur nyenyak karena tidak ada dia di sisiku. Biasanya setiap malam, ia yang membelai rambutku sambil kami bercerita tentang keseharian kami di tempat kerja masing-masing. Cerita itu seperti pengantar tidur kami hingga kami terlelap ke alam mimpi."Ah... apa kabarmu, Mas? Aku kangen kamu," desahku.Kuambil ponsel di atas nakas. Aku mengecek apakah ada pesan dari Mas Yusuf untukku. Nihil. Tidak ada pesan dari nomor Mas Yusuf, hanya beberapa pesan dari temanku dan grup di aplikasi W****Appku."Hah!" desahku lagi penuh kecewa. Mas Yusuf belum juga menghubungiku.Aku merebahkan tubuh sambil menatap layar ponsel yang kubiarkan menyala. Aku masih menunggu telepon dari suamiku. Siapa tahu ia meneleponku malam ini. Namun, hingga hampir tengah malam, ponsel yang tergolek di samp
"Untuk pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya dengan presentasi setiap kelompok. Silakan kalian persiapan kelompoknya masing-masing dan materi yang akan diskusikan Minggu depan! Kalian paham?" kataku kepada murid-murid. Aku baru saja selesai mengajar dan waktu belajar untuk hari ini sudah habis. "Paham, Bu," sahut mereka berbarengan. Setelah berdoa, mereka berbondong-bondong bergegas keluar kelas untuk pulang. Aku masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran di mejaku. Pelajaran Ekonomi adalah mata pelajaran yang aku ampu dan kuajarkan pada murid-murid kelas X, sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang bergelar Sarjana Ekonomi. Gelar yang dengan susah payah aku dapatkan. karena sempat terkendala pada biaya di semester akhir. Hampir saja aku tidak bisa mengikuti ujian akhir kalau saja Adrian tidak melunasi tagihan semesterku. Aku banyak berhutang budi padanya. Rasanya, aku tidak bisa membalas kebaikan Adrian, sahaba
Aku tengah memasak sarapan untuk suamiku di dapur. Tak henti bibir ini menyunggingkan senyuman, mengingat apa yang aku dan Mas Yusuf lakukan semalam. Kami saling melepas kerinduan, sampai-sampai, dini hari kami baru tertidur. Hatiku sedang berbunga pagi ini. Wajahku pun sudah tidak muram lagi. Aku lebih ceria dibanding pagi kemarin. Sambil tanganku membolak-balik masakan di wajan, aku mendendangkan sebuah lagu cinta yang mengalun merdu dari aplikasi musik yang aku nyalakan di ponselku. Lagu yang aku nyanyikan adalah lagu yang sangat kusuka, karena selalu mengingatkanku pada laki-laki yang berstatus suamiku. Saat lagu itu berhenti, aku merasakan tangan kekar seseorang melingkar di pinggangku dan memelukku dari belakang. Sontak aku menoleh dan melihat wajah suamiku yang sudah tampak segar. Wangi parfum dari tubuhnya mengguar di hidungku. "Selamat pagi, sayang!" sapanya sambil mencium pipiku. "Pagi, Mas," balasku kemudian tersenyum la
Aku sudah rapi dengan setelan kantor yang sudah disiapkan Nadhira untukku. Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Namun, saat aku sudah berada di anak tangga terakhir, kudengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara nyanyian itu terdengar dari arah dapur. Ternyata Nadhira memasak sambil bernyanyi, mengikuti nyanyian dari ponselnya. Aku melangkah ke dapur agar lebih dekat mendengarnya. Aku bersender di tembok dekat dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terarah lurus pada wanita yang selalu mengenakan daster rumahan, tapi tampak seksi menurutku. Aku suka dengan penampilannya seperti itu bila sedang berada di rumah. Cantik, menawan, dan seksi. Bila di luar rumah, semua orang menghormatinya. Selain cantik, ia juga berwibawa dengan pakaian dinas gurunya. Sepulang makan malam romantis dengannya, aku tidak membiarkannya tidur walau hanya semenit, karena aku sangat merindukannya. Sepanjang malam aku bersamanya.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Naura dengan penuh amarah. Aku tidak peduli pada beberapa staf yang menyapaku. Aku terus melangkah dengan cepat untuk menanyai istri keduaku itu. Saat sudah di depan ruangan Naura, aku membuka pintu dengan kencang.Brakk.Naura terperanjat. Ia yang tengah duduk di kursi kebesarannya, segera bangkit."Mas, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk. Jaga sopan santunmu, ya, ingat ini kantor!" Ucapan Naura seketika membuatku tertawa."Hahaha... jaga sopan santun katamu? Aku ini suamimu. Apa aku harus bersikap sopan pada wanita yang sudah membohongi istriku?" timpalku sambil mendekat padanya."Jaga sikapmu, ya, Yusuf! Aku ingatkan, ini kantor. Aku atasanmu dan kamu bawahanku. Lagi pula, kenapa kamu baru datang sudah siang begini, heh?" sergah Naura."Oh, gitu, ya, begini cara kamu memperlakukan aku sebagai suami?" tanyaku sambil tersenyum sinis."Sudah ku