Share

Calon Maduku

"Hai, Nadhira!" sapa perempuan yang berdiri di depanku.

"Naura?" ucapku lirih dengan mata membeliak. 

Pagi-pagi begini Naura datang ke rumahku, untuk apa? Dan ini adalah pertemuan pertamaku dengannya setelah sekian lama.

"Lama gak ketemu, sejak kita lulus kuliah dulu. Kamu apa kabar?" tanya Naura dengan senyum terkembang.

"Ba-baik," jawabku terbata.

Aku mendadak gugup. Tidak seharusnya aku bertingkah seperti ini di depan Naura. Dia adalah teman kuliahku dulu dan aku berteman baik dengannya ketika itu. Kami sangat akrab. Kami belajar bersama, makan di kantin kampus bersama, bahkan kami sering hangout bareng bila jam kuliah kosong. Seharusnya kami saling berpelukan dan melepas rindu, karena kami baru bertemu lagi setelah hampir lima tahun. 

Naura makin cantik dengan tatanan rambut panjang ikal kecoklatan yang dibiarkan tergerai.  Rambut pendek yang saat kuliah dulu menjadi potongan rambut favoritnya, sekarang telah berganti. Manik mata yang bulat seperti boneka dan kelopaknya ditumbuhi bulu yang lentik, serta hidung mancung menambah kecantikan parasnya.  Ia memang wanita sempurna, karena memiliki lekuk tubuh yang langsing dan tinggi pula.

Setelah aku tahu Naura adalah calon maduku, mengapa aku jadi salah tingkah begini? Batinku.

"Kamu gak ijinin aku untuk masuk ke rumahmu, Nad? Apa aku harus terus berdiri di luar?" Pertanyaan Naura menginterupsi lamunanku.

Hampir saja aku lupa menyuruhnya masuk, karena aku asyik memindai penampilan dan semua yang ada pada Naura.

"Ah, ya, silahkan masuk, Ra!" ajakku masih dengan kegugupanku.

Naura masuk dan berjalan bersebelahan denganku. Perempuan cantik dengan setelan kantornya itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu. 

"Wah, enak banget rumahmu, Nad, rapi dan wangi lagi. Kamu memang pintar dalam menata rumah, ya," puji Naura.

Aku hanya tersenyum sebagai ekspresi terhadap pujiannya. 

Sebagai seorang istri, walau aku sibuk mengajar, aku berkewajiban menjaga kenyamanan rumah dengan selalu membersihkan dan menata serapi mungkin keadaan rumah, agar suamiku juga betah. Lagi pula, waktu mengajarku hanya setengah hari. Jadi, siang harinya setelah aku pulang dari sekolah, aku bisa merapikan rumah.

"Sayang, siapa yang datang?" tanya suamiku yang sudah bersiap untuk berangkat.

Mas Yusuf tertegun melihat ke arah kami yang berdiri bersebelahan. Dua wanita yang ada di hidupnya. 

Naura tampak tersenyum menatap Mas Yusuf, calon suaminya, sedangkan aku hanya melipat bibir dengan berusaha menahan bendungan jernih di kelopak mataku yang siap meluncur.

"Nadhira, kamu siap-siap dulu, ya! Kalau sudah rapi, aku antar kamu ke sekolah. Kita berangkat bareng!" ucap Mas Yusuf seraya membimbingku ke kamar.

Aku menurutinya. Aku tahu, mungkin ada hal yang ingin mereka bicarakan. Namun, apa? Mengapa tidak di depanku saja mereka bicara? Mengapa aku harus disingkirkan? Aku meremat tanganku kesal saat sudah berada di dalam kamar.

Aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan di luar. Kuputuskan menguping dengan membuka sedikit pintu kamar dan mengintip dari balik pintu. Namun, apa isi pembicaraan mereka, aku pun tidak tahu. Karena kamar kami yang jauh dari ruang tamu, jadi aku tidak mendengarnya.

Dari dalam kamar, aku hanya melihat gerak-gerik mereka.  Mas Yusuf tampak marah dan sepertinya membentak Naura. Raut wajah Naura juga tampak tidak terima. 

Seminggu lagi pernikahan mereka, apakah Naura ke sini untuk meminta Mas Yusuf agar membantunya menyiapkan pernikahan mereka? Itu yang ada di benakku.

Mas Yusuf melangkah ke kamar setelah selesai berbicara dengan Naura. Ternyata pembicaraan mereka tidak lama. Aku buru-buru duduk di meja riasku dan berpura-pura memoleskan krim ke wajahku.

"Sayang, kamu sudah siap?" tanya suamiku setelah membuka pintu kamar.

Aku menoleh sembari tersenyum.

"Sebentar, Mas, aku ganti seragam dulu," ucapku sambil melangkah ke arah lemari dan mengambil seragam dinasku.

Mas Yusuf menghampiriku dan memelukku lagi dari belakang. 

"Yang mau nikah lagi, hobinya peluk-peluk mulu, nih," selorohku padanya sambil membalikkan tubuh menghadapnya.

Mas Yusuf berdecak dan langsung mengurai pelukannya. Ia tampak tidak suka dengan candaanku barusan.

"Ck, gak lucu!" Aku terkekeh.

"Kamu udah gak marah?" tanya Mas Yusuf.

Aku terdiam. Aku memang marah, saat ini pun. Hanya saja aku berusaha menutupinya. Entahlah, rasa cinta ini mengalahkan logikaku. Aku tidak rela suamiku menikah lagi, tapi aku tetap memberinya ijin. Ternyata memang benar, cinta itu tidak ada logika seperti lagu yang pernah aku dengar.

"Sana! Kamu keluar dulu, Mas, aku mau ganti baju!" usirku mengalihkan pembicaraan dan mendorong tubuhnya. Mas Yusuf menahan beban tubuhnya.

"Ganti baju di depanku saja, gak usah malu-malu! Aku sudah melihat semuanya," ucap Mas Yusuf yang berdiri sambil berkacak pinggang dan menatap tajam ke arahku.

"Tapi, Mas, Naura ada di luar. Kok kamu tinggal, sih?" rengekku.

"Dia sudah pergi. Aku menyuruhnya untuk berangkat duluan ke kantor. Cepatlah! Nanti kamu terlambat ke sekolah!"

Aku pun langsung mengganti baju rumahanku dengan seragam dinas. Mas Yusuf masih melihatku dengan tatapan siap menerkam dan tanpa berkedip. Aku mempercepat dandanan pakaianku kemudian beralih ke meja rias untuk mengaplikasikan sedikit bedak ke wajahku dan memoles lipstik agar tidak terlihat pucat. Setelah selesai, aku mengajak suamiku untuk berangkat.

Inilah rutinitas pagiku bersama Mas Yusuf. Kami berangkat ke tempat kerja bersama-sama karena arah sekolah tempatku mengajar searah dengan kantornya.

"Apa yang kamu bicarakan dengan Naura tadi, Mas?" tanyaku saat sudah sampai gerbang sekolahku. Aku belum turun dari mobilnya karena aku penasaran dengan yang mereka bicarakan tadi.

"Naura meminta aku untuk pitting baju pengantin dan foto prewed  siang ini. Tapi aku gak bisa, karena kita harus ke dokter untuk melakukan pemeriksaan kesuburan kita. Aku mau kamu cepat hamil," jawab suamiku sambil mengelus perutku yang rata. 

"Eh, ke dokternya biar aku duluan aja, Mas. Kamu bisa menyusul setelah kamu selesai," saranku sambil menegakkan tubuhku.

"Gak, ah, aku males. Lagi pula aku dan dia, kan, cuma nikah di atas kertas," cetus suamiku enteng.

"Kamu gak boleh gitu, dong, Mas. Kasihan Naura, kalau kamu sampai gak dateng. Aku gak apa-apa, kok. Aku bisa ke dokternya pake ojol," paksaku. 

Sebagai wanita, aku mengerti. Aku tidak ingin Naura kecewa. Makanya, aku memaksa suamiku untuk menuruti kemauannya.

"Ya, udah, Mas, aku ngajar dulu!" Aku mengambil tangan kanannya untuk kucium.

Aku keluar dari mobil dan masih berdiri di samping mobilnya. Aku menunggu ia melajukan mobilnya kembali. 

Jendela mobil masih terbuka. Kulihat ia tampak risau. Aku membungkuk dan berbicara melalui jendela mobil.

"Mas, cepat berangkat, nanti kamu telat. Ini hari Senin, pasti jalanan macet," tegurku menginterupsinya.

"Iya, aku berangkat, ya, sayang!" ucap suamiku sambil menyalakan mobilnya. 

"Hati-hati di jalan, Mas!"ucapku mengulas senyum dan menegakkan tubuh.

Mas Yusuf mulai melajukan mobilnya perlahan, sedangkan aku masih berdiri di depan gerbang, hingga mobil Mas Yusuf hilang dari pandanganku.

.

.

.

Bersambung ....

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cocoknya si nadhira ini sebagai istri pertama merangkap babu utk istri kedua.
goodnovel comment avatar
Ris Nadeak Laoly
tipe wanita naif dan munafik sok kuat dan tegar padahal dlm hati menangis dan tak rela buat apa nyiksa diri sendiri klo nggak mau y lepaskan daripada jerumuskan diri sendiri wkwkk bodoh
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
biasanya wanita rumahan y betah ngurus rumah kou sdh diduakan hanya akan berperan sbg pembantu rumah tangga.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status