Share

Egoiskah Aku?

"Mas Yusuf!!!"

Aku terduduk dengan napas tersengal. Buliran keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhku. Rupanya aku bermimpi. Mimpi tentang Mas Yusuf yang pergi dari kehidupanku.

Kuatur ritme napasku yang masih tersengal sehingga membuat bahuku naik turun. Lelah sekali rasanya.

Aku mengalihkan pandang pada sosok yang tengah terlelap di sampingku. Yusuf Pramudya, laki-laki yang secara gentle melamarku dan meminta diriku untuk menjadi istrinya tiga bulan yang lalu.

Saat pertama bertemu dengannya, ia begitu gigih berjuang untuk mendapatkan hatiku walau beberapa kali aku sempat menolaknya. Dengan kegigihannya itu dan perhatian yang ia berikan padaku hingga membuat aku luluh. Akhirnya aku pun menerima cinta lelaki itu.

"Sekali lagi kutanya padamu, Nadhira," ucapnya padaku kala itu. Saat ia memutuskan untuk melamarku secara pribadi di sebuah cafe.

"Apa yang ingin kamu tanyakan, Mas?" tanyaku berlaga tak mengerti. Padahal aku tahu maksud hatinya. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

"Maukah kau menikah denganku?" Mas Yusuf mengacungkan sebuah cincin permata ke hadapanku sambil berlutut. Apa yang dilakukan Mas Yusuf sama seperti film-film romantis yang pernah aku tonton. Film yang berkisah tentang seorang lelaki yang melamar kekasihnya di tempat umum. Ah ... romantis sekali.

Seketika wajahku memerah semu karena menahan malu akibat aksi lelaki itu. Bagaimana tidak? Semua mata tertuju pada kami. Bahkan para pengunjung cafe bersorak agar aku menerima lamarannya.

"Terima!"

"Terima!"

"Ayo, terima, Mbak!"

Mataku berbinar. Ternyata lelaki itu membuktikan keseriusannya. Kemudian, Mas Yusuf menyematkan cincin di jemari manisku setelah aku menjawab lewat anggukan kepala. Tak lama, ia pun datang ke rumah untuk melamarku kepada ayahku.

Aku seorang piatu dan hanya memiliki seorang ayah yang usianya sudah lebih dari setengah abad. Ayahku seorang pensiunan pegawai negeri. Sejak aku menikah, ia tinggal sendiri di rumah tuanya. Aku menitipkan ia pada bibiku yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah ayahku, sehingga aku tidak begitu khawatir. Sebulan sekali aku ke sana untuk melihat keadaannya.

Aku memang berharap banyak kepada Mas Yusuf. Lelaki mapan itu telah memenuhi segala kebutuhanku dan ayahku. Ia tidak pernah sayang dengan uangnya. Bahkan aku difasilitasi kartu kredit untuk kebutuhan pribadiku.

Di balik kebaikannya itu, siapa sangka justru sosok itu pula yang membuat hatiku hancur berkeping karena permintaannya untuk menikah lagi kemarin sore.

Kutatap lekat wajah tampan di sisiku. Ia tampak lelah karena aktivitas suami istri yang kami lakukan ba'da isya. Aku miringkan tubuhku dengan bertopang kepala pada tangan kiri, guna melihat wajah itu lebih dekat. Tangan kananku mengusap-usap dadanya yang bidang dan menggambar semu di atasnya. Menggambarkan sebuah hati, dan hati itu adalah milikku. Aku tersenyum saat teringat kata-katanya dan apa yang sudah kami lakukan sebelum tidur.

"Aku tidak akan pernah melepaskamu, Nadhira, apapun yang terjadi kamu adalah istriku, karena hanya kamu yang aku cintai," ucap Mas Yusuf lembut sambil memelukku.

"Aku hanya akan menunaikan amanat ayahku dan secepatnya aku akan menceraikan Naura," tambahnya lagi mengakhiri pembicaraan.

Mas Yusuf membingkai wajahku dan menyatukan dahinya ke dahiku. Kami saling menatap, mencoba menyelami hasrat masing-masing. Jujur, aku menginginkannya malam ini. Belaian, kecupan, dan cumbuan yang setiap malam ia hujamkan padaku, dan selalu membuat aku rindu.

Mas Yusuf duduk di sampingku. Tangannya membelai lembut rambut panjangku dan menyelipkannya ke belakang telinga.

Mas Yusuf menarik daguku kemudian m*****m bibirku. Aku pasrah dan memasrahkan diri padanya.

Sebagai manusia normal, walau sore tadi kami bertengkar, tetap saja kebutuhan biologis kami mengalahkan amarah yang ada dalam diri kami. Terlebih lelaki yang tengah terlelap itu, telah meminta maaf padaku dan meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja.

"Semua akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang berubah, walau aku sudah menikah dengan Naura," ucapnya tegas.

Aku memang selalu luluh dengan kata-katanya yang menyiratkan ketulusan. Kutahu dia begitu mencintaimu dan aku pun sama. Ia tidak akan melepasku walau apapun yang terjadi. Janji suamiku, pernikahan dengan Naura itu hanya sebuah amanat yang harus ia tunaikan, tanpa harus melibatkan perasaan dalam hubungan mereka.

Tapi, apa aku harus percaya? Batinku.

Aku menegakkan tubuh dan duduk sejenak. Kuhela napas dalam dan menghirup sebanyak-banyaknya udara ke paru-paruku, agar dada ini tidak sesak, kemudian kuhembuskan kembali secara perlahan.

Kulirik jam yang menempel di dinding kamar kami. Waktu menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh lima menit. Hampir subuh. Namun, masih ada waktu untukku melaksanakan sholat malam.

Aku turun dari ranjang kemudian melangkah gontai ke kamar mandi. Kubiarkan Mas Yusuf tertidur. Setelah aku selesai membersihkan diri, baru aku bangunkan dia.

Sepuluh menit waktu yang kubutuhkan di dalam sana. Aku sudah rapi dalam balutan mukena putih berenda, mas kawin pernikahanku. Aku segera mengerjakan solat tahajud di sisa waktu yang ada dan memasrahkan segalanya pada Sang Pengatur kehidupan.

Usai melaksanakan sholat malam dua roka'at dan ditutup dengan roka'at ganjil witir, kutatap kembali wajah yang masih terlelap itu. Semakin lekat kulihat, semakin aku tak ingin kehilangannya.

"Ya Allah, apa aku terlalu egois, menginginkan Mas Yusuf hanya untukku saja tanpa ada orang lain yang memilikinya? Andaipun aku mengijinkannya untuk menikah lagi, apa aku sanggup berbagi suami dengan wanita lain? Ya Allah, aku berserah pada-Mu. Moga keputusanku ini terbaik," doaku lirih.

***

Pagi hari Mas Yusuf sudah rapi dengan pakaian yang aku siapkan. Kemeja berwarna putih dengan celana bahan berwarna navy juga dasi biru muda yang terpasang di lehernya.

Aku tersenyum melihatnya berjalan mengikis jarak ke arahku.

"Tampannya suamiku," gumamku tanpa sadar seolah tersihir oleh penampilannya.

Mas Yusuf menghampiriku yang tengah menyiapkan sarapan untuknya.

"Selamat pagi, istriku!" sapa Mas Yusuf sambil memelukku dari belakang.

Wajahnya tampak sumringah seolah lupa dengan pertengkaran kami kemarin. Ya, dia memang sudah meyakinkanku semalam bahwa ia akan tetap bersamaku.

Mas Yusuf mencium tengkukku yang polos karena rambutku diikat cepol ke atas, kemudian menghirup wangi shampo yang menguar dari rambutku.

"Hmm, wangi sekali kamu, sayang," ujarnya sambil mencium ceruk leherku.

"Mas..." desisku, berusaha lepas darinya karena merasa geli.

"Aku masih kangen kamu, sayang!" ucap suamiku pelan dan mengeratkan pelukannya.

"Nanti kamu terlambat, Mas."

"Biarin."

Mas Yusuf menempelkan dagunya di bahuku sambil terpejam.

Aku membiarkan tubuh yang sedang berdiri menghadap meja makan dipeluknya dari belakang. Lama. Hingga bel rumah kami berbunyi.

Ting tong.

"Siapa pagi-pagi begini datang bertamu? Mengganggu saja!" umpatnya kesal.

Mas Yusuf melerai pelukannya dan hendak membuka pintu, tapi aku menahannya.

"Aku saja yang buka pintunya, Mas. Kamu makan sarapanmu dulu, biar gak kesiangan!" suruhku padanya.

"Baiklah." Mas Yusuf menurut. Ia lalu duduk dan mengambil sarapannya sendiri. Hanya nasi goreng dan telur ceplok yang aku buat untuk sarapannya pagi ini.

Aku mengambil kerudung bergo yang tersampir di sandaran kursi lalu memakainya dengan cepat sambil melangkah ke arah pintu untuk membukanya.

Saat pintu terbuka, aku terperanjat melihat siapa yang datang bertamu ke rumah kami pagi ini.

.

.

.

Bersambung ....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nadhira ini g ijut antri waktu pembagian otak. yakin si naura bakal dan mau dicerai. susah perempuan yg menggantungkan hidup pd laki2 mapan dan cuma bisa ngangkang
goodnovel comment avatar
Melisa Setiawan
yaaampun kesian ya hrus di bohongin
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Hhhh dibohongin dianya percaya mn mungkin langsung cerai tipu muslihat bgt tuh co. Liat aj tuh ce pagi2 udah nongol aj ndak ada sopan2nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status