"Untuk pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya dengan presentasi setiap kelompok. Silakan kalian persiapan kelompoknya masing-masing dan materi yang akan diskusikan Minggu depan! Kalian paham?" kataku kepada murid-murid. Aku baru saja selesai mengajar dan waktu belajar untuk hari ini sudah habis.
"Paham, Bu," sahut mereka berbarengan. Setelah berdoa, mereka berbondong-bondong bergegas keluar kelas untuk pulang.
Aku masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran di mejaku. Pelajaran Ekonomi adalah mata pelajaran yang aku ampu dan kuajarkan pada murid-murid kelas X, sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang bergelar Sarjana Ekonomi. Gelar yang dengan susah payah aku dapatkan. karena sempat terkendala pada biaya di semester akhir. Hampir saja aku tidak bisa mengikuti ujian akhir kalau saja Adrian tidak melunasi tagihan semesterku. Aku banyak berhutang budi padanya. Rasanya, aku tidak bisa membalas kebaikan Adrian, sahaba
Aku tengah memasak sarapan untuk suamiku di dapur. Tak henti bibir ini menyunggingkan senyuman, mengingat apa yang aku dan Mas Yusuf lakukan semalam. Kami saling melepas kerinduan, sampai-sampai, dini hari kami baru tertidur. Hatiku sedang berbunga pagi ini. Wajahku pun sudah tidak muram lagi. Aku lebih ceria dibanding pagi kemarin. Sambil tanganku membolak-balik masakan di wajan, aku mendendangkan sebuah lagu cinta yang mengalun merdu dari aplikasi musik yang aku nyalakan di ponselku. Lagu yang aku nyanyikan adalah lagu yang sangat kusuka, karena selalu mengingatkanku pada laki-laki yang berstatus suamiku. Saat lagu itu berhenti, aku merasakan tangan kekar seseorang melingkar di pinggangku dan memelukku dari belakang. Sontak aku menoleh dan melihat wajah suamiku yang sudah tampak segar. Wangi parfum dari tubuhnya mengguar di hidungku. "Selamat pagi, sayang!" sapanya sambil mencium pipiku. "Pagi, Mas," balasku kemudian tersenyum la
Aku sudah rapi dengan setelan kantor yang sudah disiapkan Nadhira untukku. Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Namun, saat aku sudah berada di anak tangga terakhir, kudengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara nyanyian itu terdengar dari arah dapur. Ternyata Nadhira memasak sambil bernyanyi, mengikuti nyanyian dari ponselnya. Aku melangkah ke dapur agar lebih dekat mendengarnya. Aku bersender di tembok dekat dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terarah lurus pada wanita yang selalu mengenakan daster rumahan, tapi tampak seksi menurutku. Aku suka dengan penampilannya seperti itu bila sedang berada di rumah. Cantik, menawan, dan seksi. Bila di luar rumah, semua orang menghormatinya. Selain cantik, ia juga berwibawa dengan pakaian dinas gurunya. Sepulang makan malam romantis dengannya, aku tidak membiarkannya tidur walau hanya semenit, karena aku sangat merindukannya. Sepanjang malam aku bersamanya.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Naura dengan penuh amarah. Aku tidak peduli pada beberapa staf yang menyapaku. Aku terus melangkah dengan cepat untuk menanyai istri keduaku itu. Saat sudah di depan ruangan Naura, aku membuka pintu dengan kencang.Brakk.Naura terperanjat. Ia yang tengah duduk di kursi kebesarannya, segera bangkit."Mas, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk. Jaga sopan santunmu, ya, ingat ini kantor!" Ucapan Naura seketika membuatku tertawa."Hahaha... jaga sopan santun katamu? Aku ini suamimu. Apa aku harus bersikap sopan pada wanita yang sudah membohongi istriku?" timpalku sambil mendekat padanya."Jaga sikapmu, ya, Yusuf! Aku ingatkan, ini kantor. Aku atasanmu dan kamu bawahanku. Lagi pula, kenapa kamu baru datang sudah siang begini, heh?" sergah Naura."Oh, gitu, ya, begini cara kamu memperlakukan aku sebagai suami?" tanyaku sambil tersenyum sinis."Sudah ku
Mobilku sudah memasuki gerbang rumah mewah Naura. Aku segera turun dan membawa Naura ke dalam rumah. Sengaja aku memarkirkan mobil di pelataran depan rumah, agar aku bisa langsung pulang setelah mengantarkan Naura ke kamarnya. Aku mendudukkan Naura di tepi ranjang. Kuangkat kedua kakinya dan meluruskannya di atas kasur, kemudian membuka sepatunya dan kuletakkan di bawah dekat ranjang. Kulihat kakinya yang terkilir tampak lebam dan bengkak. Tanpa banyak bicara, aku keluar kamar untuk mengambil krim pereda nyeri di kotak obat yang ada di lantai bawah, kemudian berlari kembali ke kamar setelah mendapatkannya. Aku duduk di tepi ranjang dan membalurkan krim hangat pada kaki Naura dengan hati-hati untuk mengurangi rasa sakitnya. "A-akh!" Naura meringis. Aku memijatnya secara perlahan. Ia pun mulai rileks merasakan pijatan di kakinya. Melihatnya sudah lebih baik, aku pamit padanya. "Aku pulang sekarang," ucapku sambil bangkit dari duduk. Naura menari
"Dek, malam ini aku pulang ke rumah Naura. Tadi dia menelponku," ucap suamiku. "Bukannya baru kemarin kamu di rumah Naura, Mas?" tanyaku curiga. Sepertinya ada yang disembunyikannya. "Hem... itu. Sebenarnya... Naura sedang hamil, Dek," ungkap Mas Yusuf akhirnya. "Apa?! Naura hamil, Mas?" Aku tercengang dengan pernyataan Mas Yusuf yang mengatakan bahwa Naura hamil. "Kenapa, Mas? Kamu bilang gak akan melakukan kewajiban kamu sebagai suami kepadanya, tapi kenapa Naura hamil?" tanyaku lagi sambil memukul-mukul dadanya. Aku sangat kecewa padanya karena ia telah mengingkari janjinya padaku. Ia bilang hanya menemani Naura saja dan tidak melakukan lebih. Tapi kenyataannya, maduku hamil. "Maafkan aku, Nadhira! Aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku laki-laki normal." "Hehh, bilang saja kamu gak cukup cuma satu istri, Mas. Amanat ayahmu, itu hanya akal-akalan kamu supaya bisa menikah lagi," desisku sinis. "Nadhira!" panggil
Kandungan Naura mulai membesar. Seperti dugaanku, Mas Yusuf lebih sering berada di rumah istri keduanya. Ia jarang sekali pulang ke rumahku. Dalam seminggu, hanya dua hari ia menghabiskan waktu denganku. Itupun, ia tidak sempat sarapan di rumah, karena harus cepat-cepat menjemput Naura kerja, sementara aku harus berangkat sendiri menggunakan skutermaticku. Aku pulang ke rumah dengan malas. Setelah tadi aku menerima pesan dari Mas Yusuf. Malam ini ia tidak pulang lagi karena harus menemani Naura memeriksakan kandungannya. ~Assalamu'alaikum, Dek, malam ini Mas pulang ke rumah Naura, ya. Kamu gak apa-apa, kan? Mas udah telpon Bi Ira untuk nemenin kamu. Oh, ya, nanti Bi Ira bawa cucunya nginep di rumah kita. Biar kamu gak kesepian. Jaga kesehatanmu, ya.~ Aku menghela napas dengan bahu melorot. "Gak pulang lagi," ucapku lesu sambil berjalan gontai ke sofa kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Karena hari masih siang, aku menelpon R
Aku memikirkan perkataan Rania saat di cafe kemarin. Kebetulan malam ini Mas Yusuf pulang ke rumahku, dan aku harus berbicara dengannya. Aku sedang berdandan di depan meja rias di kamarku. Mematut penampilanku di depan kaca. Ku lirik jam di ponselku, waktu sudah menunjukkan pukul 16.45. Sebentar lagi Mas Yusuf pulang. Jadi, aku harus terlihat cantik saat menyambutnya nanti. Aku tidak boleh kalah cantik dari maduku. Sambil menunggu suamiku pulang, aku merebahkan tubuhku di kasur. Aku menyalakan layar datar yang menempel di tembok. Jemariku asyik memencet remot mencari acara kesukaanku. Apalagi kalau bukan drama rumah tangga yang berbau bawang. Kadang drama yang aku tonton sama seperti kehidupanku. Aku terbawa suasana hingga meneteskan air mata karena merasakan penderitaan seorang istri yang dimadu oleh suaminya. Tapi, ah... aku tidak boleh lemah seperti tokoh utama itu. Tiba-tiba, mataku terasa ngantuk. Aku mengerjapkan mata agar tidak tertidur karena me
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pening yang hebat di kepala. Akhir-akhir ini aku tidur larut dan tidak nyenyak. Saat adzan subuh berkumandang, aku bangun untuk menunaikan kewajibanku pada Tuhan, lalu kembali tertidur. Ternyata benar, tidur setelah subuh memang tidak baik bagi kesehatan. Badanku lemas dan kepalaku berat. Semalaman aku menangis mengingat kejadian pagi kemarin saat di cafe. Mas Yusuf tega sekali mengatakan obrolan tentang jatah hari yang kuminta katanya tidak penting. Ia marah karena aku mengajak Naura ketemuan, sehingga mengakibatkan perut istri mudanya itu sakit. Padahal Naura hanya pura-pura. Aku tahu dan maklum atas sikap Mas Yusuf kemarin. Ia terlalu posesif karena khawatir terjadi sesuatu pada anak dalam kandungan Naura. Anak yang ia idam-idamkan selama ini, yang belum bisa aku berikan. Tapi, seharusnya ia juga tahu bahwa Naura itu licik. "Sudah siang rupanya," ujarku seraya melihat ke arah jendela. Terlihat sinar mentari menyorot