Share

Bulan Madu

Tiga hari setelah pernikahan mereka, Mas Yusuf belum juga menghubungiku. Setiap hari bahkan setiap detik aku menunggu telepon darinya. Namun, tak kunjung ponselku berdering dan menampilkan namanya di layar. Aku selalu berprasangka baik padanya, mungkin ia masih harus menjalani serangkaian acara pernikahan yang digelar di berbagai tempat, mengingat Naura adalah orang penting di perusahaannya. Atau, memang Mas Yusuf sedang sibuk dengan tumpukan pekerjaan di kantornya setelah beberapa hari cuti menikah.

Sudah tiga hari pula, aku berangkat dan pulang dari tempatku mengajar seorang diri dengan mengendarai skutermatic-ku. Beruntung aku bisa mengendarai kendaraan roda dua itu, sehingga aku tidak perlu merepotkan orang lain untuk mengantar jemputku ke sekolah.

Adrian selalu menawariku tumpangan agar ikut bersamanya. Saat kebetulan ia lewat sekolahku atau pagi-pagi sekali ia sengaja datang ke rumah untuk menjemputku. Namun, aku menolak ajakannya karena merasa tidak enak terhadap pandangan para tetangga dan teman-temanku. Apalagi suamiku sedang tidak ada di rumah saat ini. Sebagai seorang istri, aku berkewajiban menjaga kehormatanku dan harta suamiku. 

Aku tidak ingin memberi peluang laki-laki lain mendekatiku, walau aku dan Adrian sudah berteman lama. Aku tahu Adrian tulus padaku dan tidak ingin sesuatu terjadi padaku di jalan. Tapi tetap saja, saat ini suamiku sedang tidak bersamaku.

Mas Yusuf sudah berpesan pada Bi Ira untuk menemaniku di rumah. Bi Ira adalah asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumahku seperti mencuci dan menyetrika pakaian, tapi terkadang ia melakukan pekerjaan lain. Kalau memasak, masih bisa aku kerjakan sendiri, karena Mas Yusuf selalu ingin memakan masakanku. Biasanya Bi Ira bekerja dari pagi hingga sore saja. Namun, selama tidak ada Mas Yusuf di rumah, Bi Ira akan menginap di rumahku. Rumah mewah yang dibeli Mas Yusuf hasil kerja kerasnya sebelum kami menikah.

Di hari pernikahannya dengan Naura, sebelum berangkat ke hotel untuk melangsungkan pernikahan, Mas Yusuf berkata padaku bahwa ia akan segera pulang, tapi nyatanya hingga detik ini aku sendiri. Jangankan pulang, telpon saja tidak.  Aku mulai jengah dan merasakan kerinduan yang mendalam pada Mas Yusuf, suamiku. 

Apa dia juga merindukanku? Atau dia lupa dengan apa yang ia ucapkan padaku saat meminta ijin untuk menikah lagi? Berulang kali ia mengatakan bahwa ia hanya menunaikan amanahnya pada almarhum ayahnya dan ayah Naura. Bahkan ia berjanji tidak akan menyentuh Naura dan melakukan kewajibannya sebagai suami. Mas Yusuf meyakinkanku bahwa ia hanya milikku seorang dan akhirnya aku mengijinkannya menikah lagi.

Aku kesepian tanpa Mas Yusuf. Aku seperti ketergantungan padanya. Setiap malam aku menangis karena rindu padanya.

Aku duduk di sofa sambil memandangi foto pernikahanku dengan Mas Yusuf yang terpajang lebar di dinding ruang tamu. Senyumku dan senyumnya merekah seolah tidak pernah tahu bahwa hal seperti ini akan menghampiri rumah tangga kami.

"Non, mau makan? Sudah Bibi siapkan di meja makan. Dari pulang sekolah tadi, Non Dira belum makan." Suara Bi Ira menginterupsi lamunanku. Aku memang belum makan, dan sekarang sudah hampir sore.

"Nanti aja, Bi, saya belum laper," sahutku. Bagaimana aku bisa makan, sedangkan suamiku belum pulang?

"Baik, Non. Kalau begitu Bibi mau bersihkan halaman dulu, ya. Kalau Non Dira  butuh sesuatu, panggil bibi aja di belakang," ucap Bi Ira hendak ke belakang.

"Iya, Bi," jawabku singkat kemudian kembali berselancar dalam pikiran tentang Mas Yusuf sambil terus memandangi wajah tampannya dalam foto.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat 50 gram dibayar, tunai!" Mas Yusuf mengucap ijab kabul dengan lantang dan tegas sambil menjabat tangan ayahku. Walau kami duduk terpisah saat akad, tetapi aku masih bisa melihatnya dari kejauhan dan mendengar suaranya dengan jelas. 

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu kepada para saksi.

"Sah!" seru para saksi dari pihakku dan pihak Mas Yusuf.

Doa pengantin pun dilafalkan pak penghulu untuk kami. Kami dengan khusyu mengaminkan.

Setelah ijab kabul, aku dituntun oleh bibiku untuk mendekat pada Mas Yusuf yang duduk berhadapan dengan ayahku dan pak penghulu di meja akad. Kucium tangannya dengan takzim dan ia pun membalas dengan mencium keningku. Seketika mataku terpejam merasakan hangat bibirnya di dahiku.

Ah, membayangkan kembali saat-saat pernikahan kami, membuat aku senyum-senyum sendiri. Kami sangat bahagia ketika itu, serasa dunia milik kami berdua.

Dering ponsel yang tergolek di meja, kembali mengajakku ke dunia nyata. Kulirik benda pipih itu dan terpampang nama suamiku di layar. MAS YUSUF. Seketika wajahku sumringah. Aku rindu mendengar suaranya. Buru-buru kuambil ponsel dan kugeser icon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. 

"Assalamu'alaikum, Mas," sapaku bersemangat. Namun, seketika raut wajahku berubah saat bukan suara suamiku yang kudengar.

"Wa'alaikumsalam, Nad. Eh, maaf, ya, aku menghubungimu pakai handphone Mas Yusuf!" ucap seorang perempuan di seberang sana.

"Naura," ucapku pelan dan sangat kecewa.

"Nadhira, kamu kenapa? Apa aku mengganggumu? Kamu sedang sibuk ya?" tanyanya.

"Ya, aku sibuk memikirkan Mas Yusuf," kataku yang hanya bisa kuucapkan dalam hati.

"Halo, Nad!"

"Aah... tidak, aku tidak sibuk. Ada apa, Ra? Mas Yusuf baik-baik aja, kan?" tanyaku khawatir karena bukan Mas Yusuf yang menelpon. Aku cemas terjadi sesuatu pada Mas Yusuf.

"Dia baik." 

Hah... Aku lega mendengarnya.

"Syukurlah, Ra. Kalau dia baik-baik saja. O, ya, ada apa kamu menelponku?" 

"Aku cuma mau kasih kabar ke kamu, untuk satu Minggu ke depan, Mas Yusuf belum bisa pulang ke rumahmu, karena kami akan pergi bulan madu ke Bali. Kamu gak apa-apa, kan, Nad?" 

Mendengar itu, hatiku mendadak sakit, dadaku sesak, seperti ada ribuan belati menghujam di dadaku. Bulan madu? Haha... Bahkan Mas Yusuf belum pernah mengajakku untuk berbulan madu setelah tiga bulan pernikahan kami. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya dan aku maklum itu. Namun, dengan Naura, ia akan pergi berbulan madu selama satu minggu?

Aku mendesah pelan sambil memukul-mukul dadaku sendiri. Entahlah, Naura mendengar atau tidak. Tak terasa buliran bening jatuh perlahan di kedua pipiku.

"Hallo, Nad! Nadhira, kamu masih di situ, kan?" 

Aku terkesiap mendengar panggilan Naura. "Ah, ya, Naura, aku gak apa-apa. Tapi, apa aku bisa berbicara dengan Mas Yusuf? Sebentar saja!" pintaku dengan isak tangis yang kutahan.

"Wah, Mas Yusuf lagi tidur siang, aku gak berani membangunkannya. Karena dia sangat kelelahan. Kamu mau ngomong apa? Nanti aku sampaikan."

"Eh, gak jadi deh! Ya, udah selamat liburan ya. Salam aja sama Mas Yusuf. Oh, ya, jaga kesehatannya, Ra. Mas Yusuf gak boleh telat makan!" pintaku lagi sekaligus mengingatkan maduku sambil berusaha menahan tangis yang hampir meledak.

"Kamu tenang aja, Nad... Mas Yusuf, kan, sekarang suamiku juga. Pasti aku perhatikan waktu makannya. Kamu gak usah khawatir. Oke?! Ya, udah aku tutup ya, telponnya? Bye!"

Panggilan pun terputus. Kakiku mendadak lemas seperti tidak bertulang. Ponsel yang kupegang terlepas dari genggamanku seiring tubuhku yang melorot ke bawah dan tersungkur di atas lantai.

Braak.

Tangisku pun akhirnya pecah di ruangan itu.

.

.

.

Bersambung ....

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampus kau nyeet. itu suami yg mencintaimu. jgnkan menyusul mengasih kabar aja g. otak klu udah g berfungsi kayak kau itulah nyet. kasihan g diajak bulan madu. kau itu udah kayak sampah baginya tapi g nyadar
goodnovel comment avatar
Ananda Dea
Ini definisi bodoh dan tolol. Bloon dan bego. Baik harus tp bego dan bodoh jangan.
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
rasain loh tuh sombong banget ngijinin suami nikah lagi .dgn yskin suami nya masi sayang g akan menunggal kn nya nah sejak ijab qobul Yusuf g pulang juga g telpon2 sampe hari ini ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status