Share

Bab 2

"Tidak, Dek. Mas tidak akan menceraikanmu!" sengit Mas Rasyid tak terima. Ia berusaha membangunkan tubuhku dengan paksa lalu memelukku seolah ia begitu takut kehilanganku.

"Mengapa memelukku sedemikian kerasnya?" ujarku lemah. Badanku yang sedang gemetar karena tangis, tak akan sanggup melawan tubuhnya yang kekar.

"Mas tidak mungkin bercerai denganmu. Bagaimana dengan keluarga kita nanti? Bagaimana Mas harus bilang pada Ibu nanti?" balasnya sedikit khawatir. Ia seolah sedang merasa cemas akan dampak yang akan terjadi nantinya.

"Apa Mas tidak pernah berpikir bagaimana keluarga kita sebelum memulai menyalakan api dalam rumah tangga ini?" balasku dengan tatapan nanar. Mataku sudah penuh dengan genangan air yang kembali siap meluncur membasahi wajah.

"Mas khilaf, Dek." Mas Rasyid makin erat mendekap badanku.

"Khilaf tidak akan membawamu sampai pada pernikahan siri itu, Mas!" pekikku tertahan. Ingin rasanya aku berteriak sekencang mungkin tapi badanku yang lemah dan hatiku yang hancur membuat bibirku kelu.

"Maafkan, Mas, Dek. Mas tau Mas salah."

"Lalu, apa dengan minta maaf, semua akan selesai?" ujarku datar.

"Setidaknya Mas sudah mengakui ini semua." Mas Rasyid merenggangkan pelukannya. Suaranya terdengar berat. Debaran napasnya tak lagi seirama dan terasa hingga dadaku yang menempel dengan dadanya.

"Lalu mengapa tidak dari awal tadi Mas mengaku? Mengapa menungguku mencari bukti itu sendiri?" Tanganku berusaha menepis pelukannya yang tak lagi erat tapi tangannya terlalu erat mengunci badanku.

"Jelaskan padaku siapa perempuan itu, Mas? Bagaimana kalian hingga sampai menjalin hubungan haram itu!" ucapku penuh penekanan. Perlahan aku mendorong badannya agar mengurai pelukannya yang hampir membuatku susah bernapas.

"Dia seprofesi dengan Mas."

"Guru juga? Satu sekolah juga?" sahutku penasaran.

Mas Rasyid mengangguk lemah. Sorot matanya tak lagi tajam, kini ada banyak penyesalan yang kutangkap dari sorot mata itu.

"Bahkan profesi yang begitu mulia, telah kalian coreng dengan perbuatan kalian ini." Aku mendesis. Sungguh sangat disesalkan, sama-sama berprofesi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tapi kelakuan mereka sungguh memalukan.

"Mas khilaf, Dek. Makanya kamu ikut Mas pindah ke Surabaya agar Mas tak lagi kesepian."

"Lalu? Apa artinya pernikahan siri kalian itu jika aku turut tinggal di Surabaya nantinya? Tidak, Mas. Maafkan aku. Aku tidak bersedia dimadu." Aku menjawab dengan tegas dan mantap.

"Tapi Mas bisa ceraikan dia jika kamu ikut Mas tinggal di sana."

Rupanya Mas Rasyid tidak bisa meraba sesuatu yang tak kasat mata. Mataku pun mengitari sekitar ruangan. Dan kudapati sebuah buku yang tergeletak di nakas dekat dengan ranjang kami.

Kuraih buku tersebut, lalu kusobek satu lembar dan kuremas dengan keras hingga kertas itu menjadi kecil dalam genggaman tanganku. Setelahnya kubuka kembali kertas tersebut dan kutunjukkan di hadapan Mas Rasyid.

"Lihat ini, Mas. Lihat kertas ini. Setelah kuremas, bentuk kertas ini tak lagi bisa licin seperti semula. Ada banyak bekas lipatan yang tidak bisa kembali seperti ketika kertas ini masih baru."

Mas Rasyid tercengang melihat apa yang kulakukan. Menjelaskan dengan ucapan sepertinya tidak akan bisa membekas di kepalanya.

Bibir Mas Rasyid menganga melihat apa yang kulakukan ini. Mungkin baginya terasa aneh ketika aku mengibaratkan perasaan seseorang dengan sebuah kertas.

Namun aku tidak peduli. Aku kembali meraih kertas tersebut dan merobeknya menjadi beberapa bagian yang lebih kecil lagi dengan hati yang kesal. Kusobek dengan penuh kekuatan karena seluruh luka yang ia goreskan tidak akan bisa sembuh seperti sediakala.

"Bahkan ketika kusobek seperti ini, Mas tidak akan bisa menyambungnya menjadi satu bentuk yang utuh. Seperti inilah hatiku, Mas."

"Apakah masih pantas jika Mas Rasyid meminta maafku?" sambungku pias.

"Allah saja Maha memaafkan hambaNya, mengapa kamu tidak mau memaafkanku?" balasnya seperti tanpa rasa bersalah.

"Mengapa Mas meminta maaf jika dengan sadar melakukan hal itu? Seharusnya sebelum Mas melakukannya, Mas sudah sadar akan konsekuensinya."

"Maafkan Mas, Dek. Mas khilaf." Tubuh Mas Rasyid merosot ke lantai. Jari-jari tangannya yang kekar itu meraih jemariku yang tergeletak lemas di atas pangkuanku.

Kutepis dengan keras tangan tersebut hingga badannya hampir terpelanting ke samping. Bukan maksudku sok suci atau bagaimana, tapi sungguh aku masih syok dan hatiku masih tak percaya jika Mas Rasyid bisa melakukan hal ini padaku.

"Apa Mas tidak berpikir bagaimana perasaan seorang wanita jika Mas menyakiti hatinya dengan sengaja? Apakah Mas lupa bahwa anakmu juga adalah perempuan, yang bisa saja karma itu akan datang padanya. Naudzubillah."

"Mas khilaf, Dek. Maafkan Mas." Mas Rasyid menunduk. Wajahnya ia tutup dengan dua telapak tangannya yang besar itu.

"Beribu kali Mas minta maaf pun, nyatanya tidak akan bisa membuatku lupa akan gambar yang baru saja kulihat itu."

Dengan cepat aku berjalan meninggalkan Mas Rasyid yang masih terpekur di atas lantai. Ia hanya memandangku dengan tatapan nelangsa tanpa punya keberanian untuk mencegah langkahku.

Namun, ada yang membuat hatiku mencelos saat aku membuka pintu kamar dan kudapati putriku sedang berdiri di balik pintu yang baru saja kubuka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
yuli yulifah
isteri memabg wajib mengikuti dimana suami tinggal. isteri wajib taat patuh pada suami. suami sudah mengajak tapi isterinya hanya memikirkan keluarganya. sesudah nikah isteri milik suaminya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status