Share

Bab 4

"Mana suamimu? Naila juga mana?" tanya Ibu saat tak mendapati siapapun di sebelahku.

Melihat wajah Ibu begitu berbinar, bibirku kelu untuk sekedar mengatakan bahwa Mas Rasyid sedang tidak baik-baik saja. Aku takut melukai hatinya yang selama ini begitu menyayangi kami.

"Anita," panggil ibu lirih. Mata ibu membingkai wajahku dengan tatapan menelisik. Tangannya yang tak lagi mulus mengusap lenganku pelan.

Mataku yang menatap wajah Ibu dengan melamun, seketika tersadar dan mengerjap membuang pikiran buruk dalam kepala.

Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan ini sekarang. Sebaiknya menunggu waktu yang tepat. Sebab aku tidak mungkin merusak wajah yang sedang tersenyum bahagia itu dengan kabar yang mengejutkan ini.

"Mas Rasyid ada di rumah, tapi sedang tidak enak badan." Aku menjawab akhirnya. Entah dapat dari mana kalimat itu sehingga bisa lolos dari bibirku begitu saja.

"Ouwh, lalu mengapa datang kalau suamimu sakit?" balas Ibu dengan dahi penuh lipatan. Tatapan menelisik hadir di matanya saat menatapku tak berkedip.

Bola mataku menatap wajahnya yang tak biasa. Seketika aku mengangguk dan berbalik arah tanpa berpamitan lebih dulu.

Aku mengabaikan ibu yang sedang menikmati ketidakbiasaan dalam wajahku. Kakiku terus melangkah kembali menuju arah rumah dengan pandangan kosong. Hatiku hampa. Pada siapa aku harus mengadu dan berkeluh kesah atas semua ini?

Sungguh, baru terasa sedihnya kehilangan orang tua saat aku sedang dalam keadaan terpuruk seperti ini. Tidak ada sanak atau saudara yang tinggal dekat denganku untuk mendengarkan keluh kesahku secara langsung. Aku seperti orang asing yang kehilangan gairah hidup.

Aku butuh pelukan untuk membuatku merasa bahwa aku masih dibutuhkan di dunia ini. Sayangnya, pelukan itu tak kudapatkan dari siapapun.

"Sayang kamu dari mana?" sapa Mas Rasyid saat langkahku sudah berada di teras rumah. Ia menghampiriku dengan pandangan penuh kilatan rasa cemas. Tangannya meraih lenganku dan tangannya yang lain hendak memeluk bahuku.

Namun, dengan cepat kembali kutepis tangan kekar itu. Aku sedang tidak ingin diganggu. Aku hanya ingin menangis membuang semua sakit yang kini sudah mendarah daging.

"Dek," panggil Mas Rasyid lagi saat aku mengabaikannya.

Aku tak peduli. Aku hanya sedang ingin sendiri. Luka ini terlalu sakit setelah sekian lama aku mengabdikan diri padanya dengan segala macam permasalahan dalam rumah tangga.

Tepat pukul sembilan malam, aku bangkit dari tempat tidur. Tak kudapati Mas Rasyid dalam kamar ini. Ah, biarlah. Biarkan dia merasakan bagaimana urus anak di rumah, menggantikan tugasku.

Setelah aku membuka pintu kamar, aku mendapati Mas Rasyid sedang tidur di atas karpet di depan televisi. Mata itu terpejam, tapi tampak gelisah. Mungkin terbongkarnya perselingkuhan itu membuatnya kelimpungan.

Ah, biar saja. Biar dia tahu rasanya. Sukur-sukur ini bisa menjadi efek jera sebelum aku benar-benar mengambil keputusan.

"Dimana Naila?" Aku bergumam saat tak kudapati siapapun di dalam kamarnya. Dahiku mengernyit, lalu pandangan mataku tertuju pada sosok yang sedang terlelap itu. Mas Rasyid pasti tahu kemana dia pergi.

Esok paginya, Mas Rasyid sudah bersiap dengan seragam kedinasannya. Ia harus kembali ke kota tempatnya mengajar sebelum jam enam pagi.

Saat aku keluar kamar, dua bungkus nasi sudah berada di atas meja makan. Tapi sayangnya, aku sedang tidak berselera untuk menikmatinya.

"Naila kemana?" tanyaku tegas pada Mas Rasyid yang sedang bersiap membuka bungkusan berisi nasi itu.

Kepalanya bergerak membalas tatapanku. Wajah yang biasanya segar dan ceria itu kini berubah menjadi sayu dan tampak sekali raut khawatir dalam sorot matanya.

"Nginep di rumah Ibu, semalam Ibu ngabari lewat telepon."

"Nginep? Tumben," balasku sambil berlalu dari hadapannya menuju dispenser air.

Namun saat aku hendak meminum air yang sudah berada dalam gelas yang kupegang, terdengar bunyi ketukan pintu dari arah luar.

Kuletakkan kembali gelas tersebut untuk melihat siapa gerangan yang datang berkunjung sepagi ini.

"Ibu?" pekikku kaget saat mendapati wajah ibu di balik pintu. Tidak ada senyum yang terpasang di bibirnya seperti kemarin. Wajah itu seperti sedang diliputi sebuah rasa yang membuat bibirnya sulit untuk tersenyum.

"Boleh ibu masuk?" tanyanya saat aku tercengang melihat ekspresi wajahnya.

"Boleh, Bu. Silahkan." Aku membuka pintu lebar-lebar untuk memberinya jalan.

Ibu tidak berjalan menuju kursi di ruang tamu. Kakinya terus melangkah ke dalam hingga sampai pada ruang televisi dimana sedang ada Mas Rasyid yang tengah menikmati sarapannya.

"Sini, Nit," panggil Ibu diiringi dengan gerakan ekor matanya yang bergerak ke arah kursi meja makan.

Seketika dadaku mencelos. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hati ini mendadak gelisah mendapati sikap Ibu yang tegas dan tidak sehangat biasanya.

Terpaksa aku menuruti perintahnya untuk duduk di kursi meja makan, tepat di sebelah Mas Rasyid. Dengan ragu aku sedikit melirik ekspresi wajah Ibu yang tidak biasanya. Ada apa ini sebenarnya?

"Ibu menemukan Naila sedang menangis di sudut gang," ujar Ibu langsung tanpa basa-basi. Sejenak, ibu menghentikan ucapannya untuk melihat reaksiku dan Mas Rasyid.

Mendengar ucapan ibu, aku seketika mendongak mencari kejujuran dalam ucapan ibu mertua yang selama ini tak pernah berkata kasar atau tegas padaku.

Mas Rasyid pun demikian, ia menatap wajah ibunya dengan mata sedikit lebih lebar dari biasanya.

"Kenapa? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya ibu dengan cepat.

"Katakan, Mas. Katakan pada ibu, apa yang sudah kamu lakukan pada rumah tangga ini," selaku tak mau kehilangan kesempatan. Aku ingin ibu tahu bagaimana kelakuan putranya, tapi bukan dari mulutku, melainkan dari mulutnya sendiri.

"Dek, jaga bicaramu," sahut Mas Rasyid penuh penekanan.

"Apa ada yang kalian sembunyikan? Naila tidak pernah berada dalam keadaan seperti itu jika bukan karena hal yang besar. Ia menangis di sudut gang sendirian, tanpa ada siapapun yang menemani. Beruntung seseorang melihat dan segera memberitahu Ibu."

"Naila," gumamku tak percaya. Jelas ia telah mendengar sesuatu saat mengetuk pintu kemarin tapi berusaha untuk menutupinya dariku. Beruntung Ibu datang tepat waktu, entah bagaimana jika ia terlalu lama sendirian di tempat itu.

Sekilas kulirik Mas Rasyid. Wajah itu seperti benang kusut, mungkin ia tidak akan mengira jika perbuatannya akan terbongkar secepat ini, terlebih dampaknya sudah jelas pada Naila.

Sepandai-pandainya bangkai ditutupi pasti akan tercium juga. Demikian juga dengan perselingkuhan Mas Rasyid.

"Syid? Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Ibu dengan pandangan menelisik wajah Mas Rasyid. Siapapun pasti akan bisa menebak jika suamiku itu sedang tidak baik-baik saja hanya dilihat dari raut wajahnya saat ini.

"Katakan, Mas. Apa perlu aku yang tunjukkan buktinya pada Ibu?" selaku menggebu.

"Bukti?"

"Dek, jangan asal. Masalah ini bisa diselesaikan berdua, tanpa melibatkan ibu ataupun Naila!"

"Sayangnya aku ngga akan bisa, Mas. Masalah ini tetap harus menjadi pembahasan bersama. Apa yang Mas lakukan sudah keterlaluan."

"Ada masalah apa sebenarnya?" ujar ibu dengan suara sedikit lebih tinggi.

Aku terdiam sejenak, begitu pun dengan Mas Rasyid.

Namun Mas Rasyid tidak segera membuka mulutnya untuk memberi tahu perbuatannya yang keji itu.

"Mas Rasyid telah menikah secara siri dengan perempuan lain, Bu!" ujarku akhirnya.

"Menikah?" sahut Ibu. Mata Ibu membola dengan bibir menganga tak percaya.

"Dek! Jaga mulutmu!" sengit Mas Rasyid keras dengan tatapan tajam.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
semangat kak
goodnovel comment avatar
Lienda nasution
kalau istri tidak bekerja maka tidak ada alasan tidak ikut suami dimanapun dia bekerja dalam hal ini untuk menghindari hal hal yang tidak baik karena suami harus memenuhi kebutuhan biologisnya kamu sebagai istri termasuk sebagai penyumbang yang katanya ke khilafan suami mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status