Share

Bab 5

"Yang harusnya jaga mulut itu Mas, bukan aku!" sengitku tak terima. Aku hanya korban, bagaimana mungkin Mas Rasyid mengatakan padaku untuk menjaga mulut jika keadaannya sudah seperti ini.

Mas Rasyid hanya diam menunduk saat aku membalas ucapannya. Bahkan sesekali bahunya bergerak turun diiringi dengan helaan napas dalam dan panjang.

Melihat wajah Mas Rasyid yang diam itu, membuatku tak bisa lagi menahan diri.

"Mas ngga bisa menjaga mulut untuk tidak merayu perempuan lain selain istrimu ini!" Aku menjeda ucapanku sejenak untuk menetralkan debar yang menguasai diri. Debar yang perlahan membuat air kembali keluar dari sudut mataku.

"Betapa selama ini aku selalu menjaga diri dengan pandangan dan sikap untuk menjaga marwahku sebagai seorang istri. Aku pun tak mau bertindak yang membuat kepercayaan suami terhadapku ternoda.

Bahkan Mas ngga bisa jaga hati untuk benar-benar menjaga perasaan Mas untukku. Mas jahat sama aku!" Aku kembali mencecar Mas Rasyid dengan kalimat-kalimat yang masih mengganjal dalam dadaku. Aku tak mau menahan rasa ini sendiri, biarlah kuungkapkan semuanya agar hatiku tak lagi merasa sakit.

Meskipun aku tahu ini tak akan bisa menghilangkan rasa perih ini, minimal aku sudah meluapkan segala rasa yang mengganjal dalam hati. Begitu tega Mas Rasyid memberikan tamparan keras dalam hidupku seperti ini. Tidakkah ia berpikir bahwa dirinya memiliki anak perempuan yang bisa saja hal ini menimpa putrinya juga? Astaghfirullah.

"Dek, sudah! Ada Ibu di sini, jangan keterlaluan kalau bicara!" Mas Rasyid berujar sedikit keras sambil menatapku dengan sorot mata penuh rasa bersalah. Tapi percuma saja, semerasa bersalah apapun, ini semua sudah terjadi dan sungguh menyakitiku.

Biarlah. Sekalian saja kuluapkan perasaanku di sini agar ibu tahu bagaimana perasaan seorang istri juga kelakuan putranya yang keji itu.

"Mas sudah keterlaluan, bagaimana mungkin aku harus jaga bicaraku!" bentakku keras membalas ucapannya. Ini adalah kali pertama aku berani membentak suamiku setelah sekian tahun membina mahligai rumah tangga. Biarlah, aku tak lagi peduli.

Biar saja aku dibilang berani pada suami. Toh yang memulai semuanya adalah dirinya sendiri.

Sekilas kulihat Ibu dari ekor mataku, beliau hanya diam sambil mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Jari-jari tangannya memijit dahi yang mungkin saja terasa pening setelah mendengar pertikaian anak dan menantunya ini.

"Syid, izin dulu sama kepala sekolah untuk libur hari ini," ujar Ibu menengahi pertikaian kami setelah sebelumnya melirik jam dinding.

Mas Rasyid mengangguk patuh. Ia lantas berdiri sambil membawa ponselnya menuju ruang tamu. Entahlah, mengapa juga harus pergi menjauh jika hanya untuk memberi kabar pada pihak sekolah untuk meminta izin hari ini.

"Lihatlah Ibu, bagaimana Mas Rasyid menodai pernikahan ini," lirihku dalam tangis. Aku tak sanggup lagi menahan berat kepala di tubuhku. Terpaksa kuletakkan kepalaku di atas lipatan tangan di atas meja makan.

"Sabar dulu," ujar ibu. Ia menggeser badannya menuju kursi di sebelahku. Kemudian ia meraih bahuku untuk diusapnya dengan lembut.

Begitu damai kurasakan sentuhan tangan ibu, sekalipun hubungan kami hanya sebatas mertua dan menantu. Seandainya ibuku masih ada, mungkin akan kuraih badannya dan kutenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Akan bisa kurasakan betapa ibu turut sakit karena anaknya mendapatkan musibah seperti ini.

"Bagaimana bisa sabar, Bu. Mas Rasyid sudah ingkar janji," balasku masih dalam tangis. Begitu sulit untuk bisa menerima apa yang sudah Mas Rasyid lakukan ini.

"Semua pasti ada solusinya. Kamu sabar, kita selesaikan sama-sama." Ibu berbicara sambil terus mengusap punggungku lembut.

"Sudah, Bu." Mas Rasyid datang kembali setelah menghubungi kepala sekolahnya. Ia lantas duduk di tempatnya semula.

"Bisa jelaskan pada Ibu ada apa ini? Mengapa istrimu bisa sampai seperti ini?" ujar Ibu terdengar jelas.

Aku masih enggan menegakkan kepala. Pening dan nyeri dalam hati masih mendominasi perasaan ini. Sengaja, sengaja kubiarkan Mas Rasyid berbicara tanpa harus melihat wajahku agar ia bisa bebas menceritakan apa yang sebenarnya menjadi penyebab dia sampai tega mengkhianati pernikahan ini.

"Rasyid khilaf, Bu. Maafkan Rasyid."

Suara Mas Rasyid terdengar lemah. Mungkin benar jika ia sedang merasa bersalah. Tapi percuma saja, rasa bersalahnya itu tidak akan bisa menghapus jejak perselingkuhan yang sudah ia lakukan.

"Apa benar jika pernikahan itu terjadi?" balas Ibu lagi.

Tidak ada suara yang kudengar dari bibir Mas Rasyid setelah pertanyaan Ibu itu lolos. Hening. Yang terdengar hanya embusan napas kasar yang keluar dari bibir Ibu tepat di sebelahku.

"Rasyid khilaf, Bu. Rasyid sendirian di sana. Dan dia selalu ada saat Rasyid sedang merasa sendiri."

Aku terusik dengan ucapan Mas Rasyid. Lalu kupaksa kepalaku untuk bangkit dan membalas ucapannya.

"Sendirian Mas bilang? Apa aku juga tidak sendirian? Malah aku juga harus membagi waktu untuk mengurus Naila dengan kedua tanganku sendiri tanpa bantuan orang lain!" balasku keras. Entah dapat kekuatan dari mana hingga aku bisa menegakkan kepalaku kembali dan dengan lantang mengatakan hal itu.

"Mas khilaf, Dek! Mas khilaf! Dia selalu ada saat Mas merasa sendiri, dan iman Mas sedang lemah saat itu hingga kami mulai merasa nyaman satu sama lainnya!"

"Aarrghhh!" teriakku kencang. Sakit hatiku saat mendengar jawaban darinya.

"Sabar, Nit! Semua ini bisa dibicarakan baik-baik. Tidak perlu berteriak! Lagi pula, seharusnya kamu selalu setia mendampingi suamimu kemanapun dia dipindahtugaskan."

"Bu, tidak mudah untuk mengikuti kemanapun Mas Rasyid dipindahkan sementara Naila sudah mulai sekolah. Kami sudah bahas ini sebelumnya!"

"Lagi pula, aku selalu melayani Mas Rasyid sebagaimana mestinya ketika di rumah." Aku membalas dengan penuh kobaran amarah.

"Bukan hanya soal itu, Dek!"

"Lalu soal apa? Soal hubungan suami istri? Bahkan setiap Mas Rasyid pulang, kita selalu menyempatkan untuk berhubungan suami istri. Apa seminggu sekali itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seksual Mas? Hah?!!"

"Bukan itu, Dek!" sela Mas Rasyid cepat.

"Lalu apa lagi? Bagaimana pun alasannya, perselingkuhan tetap salah! Apalagi sampai Mas Rasyid menikahinya! Aku tidak mau dimadu, Mas!"

"Permasalahan ini tidak harus selalu selesai dengan perceraian. Harus dicari lebih dulu penyebabnya apa, jangan asal mengucap kata cerai!" Ibu menyela ucapanku.

"Bagaimana mungkin ibu bisa bilang seperti itu sementara kita sama-sama perempuan! Sakit hati Anita, Bu, melihat kertas nikah bertuliskan nama suami dengan perempuan lain!"

"Bukan begitu, Nit!" sergah Ibu.

"Kalian sama saja!" teriakku sambil berdiri meninggalkan meja makan tempat kami berbicara.

Commentaires (2)
goodnovel comment avatar
D N
kan punya anak istri yg bisa dihubungi kalau merasa sendirian,dasar kamu aja laki-laki brengsek anjing
goodnovel comment avatar
icher
lanjut terus kak update nya
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status