Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
"Astaghfirullah," lirihku dengan tangan bergetar saat melihat sebuah foto di galeri ponsel suamiku. Mataku tak lagi sanggup melihat apa yang tampak di depanku ini. Sebagai perempuan, aku merasa malu melihat gambar itu berada di ponsel laki-laki lain, terlebih pemilik ponsel ini adalah suamiku.Lagi, mataku kembali melihat layar ponsel dimana ada sebuah gambar wanita telanjang yang sedang melakukan panggilan video bersama Mas Rasyid. Senyum yang biasanya hadir saat kami melakukan panggilan video juga hadir diantara mereka. Wajah dan senyum yang sama. Sayangnya senyuk itu bukan untukku.Mataku memejam, menikmati perihnya hati yang baru kali ini kurasakan. Seperti luka yang diberi perasan jeruk di atasnya, tetapi ini luka tak berdarah.Seketika bahuku bergetar, tak lagi sanggup memegang benda pipih tersebut. Kulempar benda itu di atas ranjang tidur kami. Setelah melempar ponsel itu, tiba-tiba saja perutku terasa mual.Kututup mulutku agar isi perutku tak keluar secara sia-sia. Perlahan,
"Tidak, Dek. Mas tidak akan menceraikanmu!" sengit Mas Rasyid tak terima. Ia berusaha membangunkan tubuhku dengan paksa lalu memelukku seolah ia begitu takut kehilanganku."Mengapa memelukku sedemikian kerasnya?" ujarku lemah. Badanku yang sedang gemetar karena tangis, tak akan sanggup melawan tubuhnya yang kekar."Mas tidak mungkin bercerai denganmu. Bagaimana dengan keluarga kita nanti? Bagaimana Mas harus bilang pada Ibu nanti?" balasnya sedikit khawatir. Ia seolah sedang merasa cemas akan dampak yang akan terjadi nantinya."Apa Mas tidak pernah berpikir bagaimana keluarga kita sebelum memulai menyalakan api dalam rumah tangga ini?" balasku dengan tatapan nanar. Mataku sudah penuh dengan genangan air yang kembali siap meluncur membasahi wajah."Mas khilaf, Dek." Mas Rasyid makin erat mendekap badanku."Khilaf tidak akan membawamu sampai pada pernikahan siri itu, Mas!" pekikku tertahan. Ingin rasanya aku berteriak sekencang mungkin tapi badanku yang lemah dan hatiku yang hancur memb
"Ibu?" tanya Naila lirih. "Ibu bertengkar dengan ayah?" sambungnya lagi. Matanya menatapku dengan pandangan penuh tanya."Naila? Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil membuang semua ekspresi sedih dan kesal yang semula membalut wajahku. Aku tak mau Naila membenarkan apa yang ia dengar, minimal apa yang ia lihat harus lebih baik dari apa yang ia dengar barusan. Meskipun aku tak tahu apa saja yang sudah ia dengarkan."Ibu, Naila mau izin kerja kelompok. Tapi sepertinya Ibu sedang bertengkar dengan ayah jadi aku tunggu di sini." Wajah Naila berubah murung. Ia tidak seperti biasanya yang ceria dan banyak bicara.Naila melirik ke bagian dalam ruang kamar. Aku pun tak mau ketinggalan dengan apa yang ia lihat. Ekor mataku mengikuti arah pandang matanya yang seperti sedang mencari sesuatu di dalam kamar orang tuanya.Beberapa baju yang kuhamburkan keluar dari tas masih tergeletak di lantai. Serpihan kertas yang kusobek juga berserakan di lantai dekat ranjang. Sedang Mas Rasyid sedang duduk menunduk
"Mana suamimu? Naila juga mana?" tanya Ibu saat tak mendapati siapapun di sebelahku.Melihat wajah Ibu begitu berbinar, bibirku kelu untuk sekedar mengatakan bahwa Mas Rasyid sedang tidak baik-baik saja. Aku takut melukai hatinya yang selama ini begitu menyayangi kami."Anita," panggil ibu lirih. Mata ibu membingkai wajahku dengan tatapan menelisik. Tangannya yang tak lagi mulus mengusap lenganku pelan.Mataku yang menatap wajah Ibu dengan melamun, seketika tersadar dan mengerjap membuang pikiran buruk dalam kepala. Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan ini sekarang. Sebaiknya menunggu waktu yang tepat. Sebab aku tidak mungkin merusak wajah yang sedang tersenyum bahagia itu dengan kabar yang mengejutkan ini."Mas Rasyid ada di rumah, tapi sedang tidak enak badan." Aku menjawab akhirnya. Entah dapat dari mana kalimat itu sehingga bisa lolos dari bibirku begitu saja."Ouwh, lalu mengapa datang kalau suamimu sakit?" balas Ibu dengan dahi penuh lipatan. Tatapan menelisik hadir di matanya s
"Yang harusnya jaga mulut itu Mas, bukan aku!" sengitku tak terima. Aku hanya korban, bagaimana mungkin Mas Rasyid mengatakan padaku untuk menjaga mulut jika keadaannya sudah seperti ini.Mas Rasyid hanya diam menunduk saat aku membalas ucapannya. Bahkan sesekali bahunya bergerak turun diiringi dengan helaan napas dalam dan panjang.Melihat wajah Mas Rasyid yang diam itu, membuatku tak bisa lagi menahan diri. "Mas ngga bisa menjaga mulut untuk tidak merayu perempuan lain selain istrimu ini!" Aku menjeda ucapanku sejenak untuk menetralkan debar yang menguasai diri. Debar yang perlahan membuat air kembali keluar dari sudut mataku."Betapa selama ini aku selalu menjaga diri dengan pandangan dan sikap untuk menjaga marwahku sebagai seorang istri. Aku pun tak mau bertindak yang membuat kepercayaan suami terhadapku ternoda.Bahkan Mas ngga bisa jaga hati untuk benar-benar menjaga perasaan Mas untukku. Mas jahat sama aku!" Aku kembali mencecar Mas Rasyid dengan kalimat-kalimat yang masih me
"Dek, jangan begini, kita bisa bicara baik-baik dulu," teriak Mas Rasyid dari luar ruangan. Ia terus saja mengetuk pintu dengan kerasnya. Sesekali tangannya menarik hendel pintu yang sudah kukunci dari dalam.Percuma saja berteriak, aku sudah tak ingin lagi bicara soal ini. Sakit hatiku tak akan bisa sembuh hanya dengan mendengar kalimat permintaan maafnya.Beribu kali, bahkan berjuta kali kata maaf terlontar dari bibirnya, tak akan membuat semuanya kembali seperti semula.Pernah saat itu, ada seorang teman dari masa sekolah dulu datang untuk mengantarkan undangan reunian akbar. Ia memintaku untuk turut mengisi acara karena aku termasuk siswa aktif semasa sekolah dulu.Namun aku tak berani asal mengiyakan. Semuanya tergantung Mas Rasyid sebagai suami. Sebab, ketika aku setuju untuk memenuhi permintaannya, otomatis aku akan sibuk untuk berlatih juga menyiapkan segala keperluan acara."Tidak, Dek. Mas tidak kasih izin," ujar Mas Rasyid keras saat aku mencoba meminta izin. Sebagai seoran