Share

Bab 3

"Ibu?" tanya Naila lirih. "Ibu bertengkar dengan ayah?" sambungnya lagi. Matanya menatapku dengan pandangan penuh tanya.

"Naila? Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil membuang semua ekspresi sedih dan kesal yang semula membalut wajahku. Aku tak mau Naila membenarkan apa yang ia dengar, minimal apa yang ia lihat harus lebih baik dari apa yang ia dengar barusan. Meskipun aku tak tahu apa saja yang sudah ia dengarkan.

"Ibu, Naila mau izin kerja kelompok. Tapi sepertinya Ibu sedang bertengkar dengan ayah jadi aku tunggu di sini." Wajah Naila berubah murung. Ia tidak seperti biasanya yang ceria dan banyak bicara.

Naila melirik ke bagian dalam ruang kamar. Aku pun tak mau ketinggalan dengan apa yang ia lihat. Ekor mataku mengikuti arah pandang matanya yang seperti sedang mencari sesuatu di dalam kamar orang tuanya.

Beberapa baju yang kuhamburkan keluar dari tas masih tergeletak di lantai. Serpihan kertas yang kusobek juga berserakan di lantai dekat ranjang. Sedang Mas Rasyid sedang duduk menunduk, seperti tengah menahan malu pada putrinya karena kepergok dalam keadaan yang tidak baik.

"Boleh, Sayang. Mau kerja kelompok di mana?" jawabku yang langsung membuat arah pandang mata Naila kembali tertuju pada wajahku. Kugeser badanku untuk menutup celah agar ia tak lagi melihat kondisi kamar kami.

"Ke rumah Rara, di gang sebelah."

"Iya, hati-hati ya, Nak," kataku lagi sambil berjalan keluar dari kamar. Satu tanganku menutup pintu kamar agar ia tidak lagi melihat bagaimana kondisi di dalam kamar yang menurutku sangat menyeramkan.

"Apa Naila perlu diantar?" tawarku sambil mengikuti langkahnya. Sebenarnya ini hanya alasanku saja untuk bisa keluar dari rumah, sebab aku butuh udara segar untuk menghilangkan penat dan sakit dalam dada, walau hanya untuk sesaat.

"Tidak, Bu." Naila melirikku sekilas, lalu kembali melangkah menuju pintu ruang tamu.

Aku berdiri dengan pandangan nanar menatap punggung gadis kecilku yang perlahan berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Ada ngilu yang merasai hati saat melihat badan kecil itu berdiri tepat di depan pintu ketika kami sedang tidak baik-baik saja.

Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang anak saat melihat orang tuanya berdebat dengan keras. Terlebih jika masalah ini berakhir dengan perceraian. Aku pun tak bisa membayangkan jika aku tetap melanjutkan pernikahan ini. Keduanya sama-sama berat untukku.

Adzan Maghrib berkumandang saat aku duduk di meja makan. Tidak banyak yang kulakukan sore ini. Aku hanya duduk merenung sendirian sambil menunggu Naila kembali ke rumah. Bahkan keberadaan Mas Rasyid selalu kuabaikan. Padahal biasanya ketika ia pulang ke rumah, aku akan menyambutnya dengan penampilan yang bagus dan makanan yang lezat.

Namun kali ini, kubiarkan ia sendirian melayani dirinya sendiri. Bahkan ia juga menyiapkan makanan untukku. Tapi aku sedang tidak ingin berbuat apa-apa. Biar saja, biar dia tahu rasanya ketika hati wanita terluka.

Saat aku terdiam, bayang-bayang gambar dan surat nikah itu kembali berkelindan dalam kepalaku. Aku tak bisa diam saja. Aku pun tak bisa menerima ini semua. Terlebih aku tak mau dimadu. Mas Rasyid harus memilih satu diantara kami untuk mendampingi hidupnya.

"Dek, jangan diam saja," ujarnya mendekatiku. Ia meraih kursi meja makan yang berada tepat di sebelahku.

"Lalu, aku harus bagaimana?" tanyaku datar tanpa berniat membalas tatapannya.

"Maafkan aku sekali lagi," ucap Mas Rasyid lagi.

Namun saat bibirku hendak terbuka untuk menjawab pertanyaannya, ponselnya berdering keras sekali. Benda yang terletak di dalam kamar itu membuat kepala Mas Rasyid seketika menoleh ke sumber suara itu.

Ada kilatan rasa cemas dari sorot mata sembab milik suamiku. Ah suami? Pantaskah gelar itu masih melekat dalam dirinya?

"Kenapa ngga diangkat? Dicariin sama istri mudanya," ujarku menyindir. Dari reaksi wajahnya terlihat sekali bahwa ia pun juga berat untuk mengabaikan panggilan itu, tapi mendengar ucapanku, ia tak berani berdiri.

"Enggak, Dek. Maafkan Mas."

"Memaafkan bukan berarti semuanya harus kembali seperti sediakala kan?" tanyaku dengan sorot mata tajam menatap wajahnya.

Wajah yang dulu sangat kupuja itu, tiba-tiba saja menunduk. Ia menyadari ucapanku benar adanya.

"Sudah kumaafkan," jawabku asal. "Ponselnya masih berdering. Silahkan diangkat," sambungku lagi. Tapi Mas Rasyid masih saja duduk menunduk di depanku tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya duduk.

Duduk bersebelahan bersama Mas Rasyid membuat dadaku makin bergelora. Bukan bergelora karena hasrat, tapi gelora amarah dalam dadaku tak henti membuatku ingin berteriak melampiaskan segala rasa yang membuatku ingin menangis dan mengaduh.

Tak bisa lagi duduk bersamanya, aku harus melakukan sesuatu. Tiba-tiba saja kakiku ingin melangkah keluar.

Biasanya, jika Mas Rasyid pulang, kami akan sama-sama mengunjungi ibunya.

Namun kali ini, aku akan datang sendirian untuk menceritakan semua perbuatan putranya yang sungguh memalukan.

"Dek kemana?" ujarnya saat aku hendak membuka pintu ruang tamu.

"Ke rumah Ibu. Aku akan datang sebagai wanita yang disakiti oleh pasangannya, bukan datang sebagai menantunya. Mas tenang saja."

"Jangan, Dek. Mas mohon jangan bawa masalah ini keluar rumah." Mas Rasyid berjalan mendekatiku. Ia meraih pergelangan tanganku tapi segera kutepis dengan keras.

"Jangan bawa masalah ini keluar? Lalu, aku harus merasakan ini sendirian? Mengapa tidak Mas bunuh saja aku sekalian agar Mas bisa menikah secara sah dengan perempuan itu?"

Tak lagi mau berdebat dengan Mas Rasyid, aku kembali melangkah. Tepat di depan rumah ada beberapa tetangga yang baru saja pulang dari mushalla. Sengaja aku terus berjalan karena aku tahu Mas Rasyid tak mungkin mengejarku lagi.

"Mbak Nita mau kemana? Tumben sendirian?" tanya Bu Laili, tetangga sebelah rumah.

Aku tersenyum saja. Tak mau menanggapi sapaan orang dengan berlebihan karena khawatir aku tak bisa menahan air dari dalam kelopak mataku untuk kembali menangis.

Jarak rumah kami dengan rumah orang tua Mas Rasyid tidak terlalu jauh. Hanya kurang lebih lima ratus meter saja. Sehingga tak susah untukku kabur dari rumah disaat seperti ini.

Dua kali ketukan, tampaklah Ibu mertua keluar dari balik pintu yang baru saja terbuka. Senyum yang lepas dan terlihat sekali bahwa ia sedang bahagia menyambut kedatanganku.

Manik hitam dalam kelopak mata Ibu bergerak ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari seseorang karena tak biasanya aku datang sendirian di weekend begini.

Melihat senyuman yang terbit dari bibir Ibu, sanggupkah aku menggoresnya dengan kabar duka yang dilakukan oleh putranya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Hansiana Siregar
efek dlm....
goodnovel comment avatar
Hevvy Lisandora Novita
sehdihhh...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status