Mas Rasyid membawaku ke kamar tidur kami. Ia memapahku hingga badanku benar-benar terbaring di atas ranjang. Kepala yang terasa berat, ditambah dengan hati yang sedang tak menentu membuatku pasrah menerima bantuannya."Naila mana, Mas! Bawa Naila ke sini, Mas! Jangan biarkan dia pergi bersama Ibu," ujarku lirih sambil menahan nyeri di kepala."Naila ngga akan kemana-mana, Dek. Kamu istirahat dulu." Mas Rasyid berujar sambil duduk di tepi ranjang, tepat di sebelahkuterbaring."Aku ngga butuh istirahat, Mas! Aku mau pergi dari sini! Jangan paksa aku untuk bertahan," racauku sambil mencoba bangkit. Tetapi Mas Rasyid menahan badanku untuk tetap terbaring."Istirahat dulu, Dek. Kamu sedang ngga baik-baik saja." Aku terdiam, kemudian menuruti perintahnya. Sejenak mataku memejam, merasakan bahwa badanku memang tidak baik-baik saja. Aku lantas meringkuk menghindari pandanganku dari wajah Mas Rasyid yang kini makin kutatap makin memperparah nyeri di ulu hati.Beberapa saat kemudian aku tertid
"Dia memang laki-laki yang baik, tapi kamu jangan hanya lihat dirinya, lihat nasabnya juga. Bapaknya cerai dengan ibunya karena selingkuh dan ini tidak menutup kemungkinan kalau dia akan melakukan hal yang sama. Berbeda dengan Hasbi yang sama-sama dari keluarga sederhana seperti kita tapi garis keturunannya baik. Agamanya juga baik, pekerja keras pula.""Bagaimana mungkin Bulik memaksa untuk menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak Anita kenal, apalagi Anita cintai? Bagaimana rumah tangga Anita nanti?" elakku membela diri dan berharap Bulik mau menerima penolakanku itu."Ya kalau kamu mau, kalian bisa kenalan dulu. Sama-sama mendalami karakter masing-masing untuk proses pernikahan," papar Bulik tak mau kalah."Tidak, Bulik. Nita sudah terlanjur cinta dengan Mas Rasyid," elakku cepat. Aku tak mau melanjutkan pembahasan ini dan membuat Bulik makin menaruh harap denganku dan hubungan itu nantinya. Lebih baik menyudahi perdebatan ini agar tidak terjadi perdebatan panjang."Kalau me
"Dek," panggil Mas Rasyid kaget. Wajahnya seketika berubah panik saat tahu aku turut keluar melihat tamu yang datang.Aku berjalan mendekati mereka bertiga yang berada di teras rumah."Nduk, ini nih, perempuan yang sudah jadi duri dalam rumah tanggamu! Berani-beraninya dia datang ke rumah ini! Sudah kayak ngga punya malu aja mereka berdua ini!" kesal Bulik sambil menunjuk wajah perempuan itu dengan jari telunjuknya.Mataku menatap wajah perempuan yang tampak lebih dewasa dariku itu dengan pandangan menyelidik. Wajah yang sedikit terlihat lebih lembut dari yang di foto kemarin. Melihat wajahnya di depanku dan ingatan tentang foto itu kembali menyelinap dalam kepalaku, membuat bahuku bergidik ngeri. Ngeri bercampur dengan rasa perih di dadaku."Mas memintanya datang kemari?" tanyaku penuh selidik. Seharusnya pagi ini kami berangkat ke kota tempat Mas Rasyid mengajar, tetapi kedatangan perempuan ini membuat rencana kami gagal. Dan luka ini, makin perih saat melihat keberaniannya datang k
"Mbak!" panggil Aisyah yang seketika membuat langkahku terhenti. Aku menoleh sejenak, menunggu apa yang hendak diucapkannya."Aku sungguh minta maaf. Aku datang untuk mengajakmu tinggal bersama kami di Surabaya. Aku ingin kita menjadi saudara," pinta Aisyah seperti tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun.Aku tersenyum sumbang. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu?"Enak saja! Saudara macam apa yang merusak rumah tangga saudaranya sendiri?" sela Bulik tak terima. Ia pun turut bangkit dari duduknya dan menyusulku masuk ke dalam."Saya tahu, cara saya memang salah. Tapi tolong izinkan saya menebus kesalahan dengan menjadikan Mbak sebagai saudara saya." Aisyah berjalan mendekatiku."Sudahlah, jangan memaksa. Kamu pulang saja dulu, biar aku dan Anita bicara berdua," ucap Mas Rasyid mencegah Aisyah berjalan ke arahku."Sayang, izinkan aku berusaha bicara pada Mbak Anita. Aku sungguh ingin menjadi saudaranya.""Tapi saya yang tidak ingin menjadi saudara kamu. Tolong hargai keputusan saya.
"Mengapa, Bu?" tanya Aisyah tak setuju."Biarkan mereka pergi tanpamu, kita tidak bisa mengukur dalamnya luka seseorang. Alangkah lebih baik jika kamu memberi kesempatan kepada Rasyid dan Anita untuk pergi tanpa ada seseorang yang menjadi sumber kekacauan ini," balas Ibu.Aisyah menghela napas panjang. Ada rasa berat untuk menuruti perintah Ibu. Ia menatap Mas Rasyid seperti sedang memohon pembelaan. Sayangnya, Mas Rasyid sepertinya enggan peduli."Tapi, Bu-""Hargai mereka. Sudah baik Anita berbaik hati menerima kehadiranmu, jangan menambah luka dalam hatinya semakin dalam."Aku membuang napas kasar. Percuma saja mengatakan hal itu pada perempuan yang urat malunya sudah dihilangkan oleh Allah. Dia tidak akan bisa mengerti apa yang menjadi tujuan Ibu melarangnya pergi bersama kami."Ngga apa-apa, Bu. Biarkan Aisyah ikut. Kasihan Mas Rasyid nanti kalau perjalanan balik ke sini ngga ada yang nemani," ucapku menengahi.Mengalah lebih baik dari pada merebut dia yang sudah dengan sadar mem
Saat mataku terbuka aku sudah berada di ruangan dengan langit-langit ruangan berwarna putih. Aku berada di atas ranjang yang sisi kanan dan kirinya terdapat pagar pengaman disertai dengan tiang berselang yang terhubung dengan jarum di punggung tanganku. Di sekeliling ranjang yang kutempati ditutup dengan kelambu berwarna hijau sage sehingga aku tidak dapat melihat aktivitas di luar kelambu tersebut.Aku hanya bisa mendengar banyak suara di luar ruangan yang ditutup kelambu ini. Ada yang sedang merintih kesakitan, ada yang berbicara dan aku tak mampu untuk mendengar lebih jelas lagi karena kepalaku terasa berat."Nduk, kamu sudah sadar?" tanya Bulik saat aku tengah memijit kepala dengan tanganku sendiri."Kenapa Anita bisa ada di sini, Bulik? Apa yang terjadi? Seingatku tadi aku sedang mengantar Mas Rasyid balik bersama dia." Aku berujar dengan suara lirih, bahkan terkesan kupaksakan."Kamu pingsan. Dirawat di sini dulu yo? Badanmu pucat begitu." Bulik duduk di kursi besi berbentuk bul
"Astagfirullah, Nduk! Istighfar Nduk, istighfar!" cecar Bulik saat melihat pergelangan tanganku sudah mengeluarkan darah segar bekas goresan silet yang kupegang. Dengan cepat tangan Bulik meraih silet yang sudah berlumuran darah dari tangan kananku. Bibirnya terus saja mengomel sambil bergerak cepat mengambil tisu untuk mengusap darah yang masih saja mengalir."Ros! Rosii!" teriak Bulik sambil terus memegang luka sayatan. "Ambilkan kotak p3k."Sementara aku diam saja, sedikit banyak darah yang keluar itu membuat tubuhku terasa lemas. Perihnya luka fisik bercampur dengan perih di hati membuatku makin erat memejamkan mata, menikmati rasa yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.Rosi datang dengan cepat sambil membawa kotak obat. Ia merawat lukaku dengan baik tanpa banyak bicara seperti Bulik."Ngapain kamu kayak gini! Jalan hidupmu masih panjang, masa depanmu dan Naila juga panjang. Tanpa Rasyid atau dengan adanya Rasyid bersama perempuan itu kamu harus tetap kuat. Tidak ada yang bi
"Cerai? Jangan bercanda, Dek!" ucap Mas Rasyid tak terima. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah dan menghadapku. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang amat sangat.Ya, sengaja memang. Harus begini agar Mas Rasyid tahu rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Ini juga sebagai pelajaran agar ia menjaga hati dan perasaannya untuk wanita yang telah mengabdi padanya. Jika pun kami telah bercerai, ini harusnya bisa jadi pelajaran untuk wanita yang akan hadir dimasa depannya.Dendam? Tidak. Aku hanya ingin dia belajar bagaimana caranya mensyukuri nikmat."Aku ngga bercanda, Mas!" pekikku seraya menatap matanya tajam. "Lalu bagaimana dengan Naila? Apa kamu tega membiarkan Naila hidup tanpa bapak?" Sorot mata itu kian sayu seiring dengan nada bicaranya yang mulai melemah. Tingginya nada suaraku rupanya cukup membuatnya sedikit tersadar."Naila pasti akan mengerti, Mas. Lagi pula aku tidak minta diceraikan sekarang, aku akan menunggu dua bulan lagi sampai Naila selesai ujian ak