Naila, ya, Naila. Aku lupa akan dirinya. Gadis kecilku yang kini beranjak remaja itu masih membutuhkan sosok ayah. Tapi, bagaimana pun keadaannya nanti, Mas Rasyid akan tetap menjadi ayahnya.Berpisah atau tidak, hubungan ayah dan anak itu tidak akan terpisahkan. Selama kami masih hidup, Naila tidak akan kehilangan satu pun kasih sayang dari kami."Soal anak bisa dibicarakan baik-baik. Naila pasti ngerti." Aku menyangkal apa yang diucapkan oleh Mas Rasyid."Kasihan Naila, Dek. Dia akan menjalani ujian akhir tahun ini. Apa kamu tega menambah beban pikirannya dengan masalah kita ini?""Mengapa harus aku yang memikirkan, Mas? Mengapa tidak kamu pikirkan sebelumnya?" Aku berdiri dari tempatku duduk, lalu dengan cepat Mas Rasyid menarik tanganku agar aku tidak pergi."Jangan begini, Mas! Jangan berbuat seolah-olah aku yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Pikir dengan kepalamu sendiri, siapa yang sebenarnya salah di sini," ucapku lantang. Aku melengos, mengalihkan pandangan dari sosok
Urung melangkah, aku menjatuhkan diriku di depan Naila. Tubuhku berdiri bertumpukan lutut yang kutekuk. Aku membuka tanganku lebar-lebar untuk bisa mendekap erat putriku yang tampak terluka itu.Namun, betapa perih kurasa saat putriku melangkah mundur. Kepalanya menggeleng dengan air yang terus bercucuran dari kelopak matanya. "Tidak, Ibu! Tidak mau!" teriak Naila kencang.Dadaku bak dililit dengan tali tambang yang besar lagi kokoh. Tenggorokanku tercekat, bahkan aku pun kesusahan untuk mengirup udara yang sedang menerpa wajahku. Duniaku hancur melihat respon Naila seperti itu."Naila tidak mau melihat Ibu pergi! Naila tidak mau melihat kalian berpisah!" teriaknya kencang. Beruntung tangan kecil putriku itu segera dipegang erat oleh neneknya. Sesaat, setelah berteriak, Ibu mertua meraih badan Naila untuk didekap erat dalam pelukannya."Nak, maafkan Ibu. Ini sudah jadi keputusan Ibu," ujarku lirih. Aku tak bisa jauh dari Naila. Aku pun tak bisa tetap diam saja di rumah ini dengan seg
Mas Rasyid membawaku ke kamar tidur kami. Ia memapahku hingga badanku benar-benar terbaring di atas ranjang. Kepala yang terasa berat, ditambah dengan hati yang sedang tak menentu membuatku pasrah menerima bantuannya."Naila mana, Mas! Bawa Naila ke sini, Mas! Jangan biarkan dia pergi bersama Ibu," ujarku lirih sambil menahan nyeri di kepala."Naila ngga akan kemana-mana, Dek. Kamu istirahat dulu." Mas Rasyid berujar sambil duduk di tepi ranjang, tepat di sebelahkuterbaring."Aku ngga butuh istirahat, Mas! Aku mau pergi dari sini! Jangan paksa aku untuk bertahan," racauku sambil mencoba bangkit. Tetapi Mas Rasyid menahan badanku untuk tetap terbaring."Istirahat dulu, Dek. Kamu sedang ngga baik-baik saja." Aku terdiam, kemudian menuruti perintahnya. Sejenak mataku memejam, merasakan bahwa badanku memang tidak baik-baik saja. Aku lantas meringkuk menghindari pandanganku dari wajah Mas Rasyid yang kini makin kutatap makin memperparah nyeri di ulu hati.Beberapa saat kemudian aku tertid
"Dia memang laki-laki yang baik, tapi kamu jangan hanya lihat dirinya, lihat nasabnya juga. Bapaknya cerai dengan ibunya karena selingkuh dan ini tidak menutup kemungkinan kalau dia akan melakukan hal yang sama. Berbeda dengan Hasbi yang sama-sama dari keluarga sederhana seperti kita tapi garis keturunannya baik. Agamanya juga baik, pekerja keras pula.""Bagaimana mungkin Bulik memaksa untuk menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak Anita kenal, apalagi Anita cintai? Bagaimana rumah tangga Anita nanti?" elakku membela diri dan berharap Bulik mau menerima penolakanku itu."Ya kalau kamu mau, kalian bisa kenalan dulu. Sama-sama mendalami karakter masing-masing untuk proses pernikahan," papar Bulik tak mau kalah."Tidak, Bulik. Nita sudah terlanjur cinta dengan Mas Rasyid," elakku cepat. Aku tak mau melanjutkan pembahasan ini dan membuat Bulik makin menaruh harap denganku dan hubungan itu nantinya. Lebih baik menyudahi perdebatan ini agar tidak terjadi perdebatan panjang."Kalau me
"Dek," panggil Mas Rasyid kaget. Wajahnya seketika berubah panik saat tahu aku turut keluar melihat tamu yang datang.Aku berjalan mendekati mereka bertiga yang berada di teras rumah."Nduk, ini nih, perempuan yang sudah jadi duri dalam rumah tanggamu! Berani-beraninya dia datang ke rumah ini! Sudah kayak ngga punya malu aja mereka berdua ini!" kesal Bulik sambil menunjuk wajah perempuan itu dengan jari telunjuknya.Mataku menatap wajah perempuan yang tampak lebih dewasa dariku itu dengan pandangan menyelidik. Wajah yang sedikit terlihat lebih lembut dari yang di foto kemarin. Melihat wajahnya di depanku dan ingatan tentang foto itu kembali menyelinap dalam kepalaku, membuat bahuku bergidik ngeri. Ngeri bercampur dengan rasa perih di dadaku."Mas memintanya datang kemari?" tanyaku penuh selidik. Seharusnya pagi ini kami berangkat ke kota tempat Mas Rasyid mengajar, tetapi kedatangan perempuan ini membuat rencana kami gagal. Dan luka ini, makin perih saat melihat keberaniannya datang k
"Mbak!" panggil Aisyah yang seketika membuat langkahku terhenti. Aku menoleh sejenak, menunggu apa yang hendak diucapkannya."Aku sungguh minta maaf. Aku datang untuk mengajakmu tinggal bersama kami di Surabaya. Aku ingin kita menjadi saudara," pinta Aisyah seperti tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun.Aku tersenyum sumbang. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu?"Enak saja! Saudara macam apa yang merusak rumah tangga saudaranya sendiri?" sela Bulik tak terima. Ia pun turut bangkit dari duduknya dan menyusulku masuk ke dalam."Saya tahu, cara saya memang salah. Tapi tolong izinkan saya menebus kesalahan dengan menjadikan Mbak sebagai saudara saya." Aisyah berjalan mendekatiku."Sudahlah, jangan memaksa. Kamu pulang saja dulu, biar aku dan Anita bicara berdua," ucap Mas Rasyid mencegah Aisyah berjalan ke arahku."Sayang, izinkan aku berusaha bicara pada Mbak Anita. Aku sungguh ingin menjadi saudaranya.""Tapi saya yang tidak ingin menjadi saudara kamu. Tolong hargai keputusan saya.
"Mengapa, Bu?" tanya Aisyah tak setuju."Biarkan mereka pergi tanpamu, kita tidak bisa mengukur dalamnya luka seseorang. Alangkah lebih baik jika kamu memberi kesempatan kepada Rasyid dan Anita untuk pergi tanpa ada seseorang yang menjadi sumber kekacauan ini," balas Ibu.Aisyah menghela napas panjang. Ada rasa berat untuk menuruti perintah Ibu. Ia menatap Mas Rasyid seperti sedang memohon pembelaan. Sayangnya, Mas Rasyid sepertinya enggan peduli."Tapi, Bu-""Hargai mereka. Sudah baik Anita berbaik hati menerima kehadiranmu, jangan menambah luka dalam hatinya semakin dalam."Aku membuang napas kasar. Percuma saja mengatakan hal itu pada perempuan yang urat malunya sudah dihilangkan oleh Allah. Dia tidak akan bisa mengerti apa yang menjadi tujuan Ibu melarangnya pergi bersama kami."Ngga apa-apa, Bu. Biarkan Aisyah ikut. Kasihan Mas Rasyid nanti kalau perjalanan balik ke sini ngga ada yang nemani," ucapku menengahi.Mengalah lebih baik dari pada merebut dia yang sudah dengan sadar mem
Saat mataku terbuka aku sudah berada di ruangan dengan langit-langit ruangan berwarna putih. Aku berada di atas ranjang yang sisi kanan dan kirinya terdapat pagar pengaman disertai dengan tiang berselang yang terhubung dengan jarum di punggung tanganku. Di sekeliling ranjang yang kutempati ditutup dengan kelambu berwarna hijau sage sehingga aku tidak dapat melihat aktivitas di luar kelambu tersebut.Aku hanya bisa mendengar banyak suara di luar ruangan yang ditutup kelambu ini. Ada yang sedang merintih kesakitan, ada yang berbicara dan aku tak mampu untuk mendengar lebih jelas lagi karena kepalaku terasa berat."Nduk, kamu sudah sadar?" tanya Bulik saat aku tengah memijit kepala dengan tanganku sendiri."Kenapa Anita bisa ada di sini, Bulik? Apa yang terjadi? Seingatku tadi aku sedang mengantar Mas Rasyid balik bersama dia." Aku berujar dengan suara lirih, bahkan terkesan kupaksakan."Kamu pingsan. Dirawat di sini dulu yo? Badanmu pucat begitu." Bulik duduk di kursi besi berbentuk bul