Share

2. Menekan Rasa

"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon.

"Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.

Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti.

"Aku minta tolong boleh?"

"Boleh, Mas,"

"Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana.

"Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?"

"Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"

Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Diam, adalah caranya menyikapi semuanya. Hilmi selalu mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa dia harus sadar posisinya saat ini.

"Baik, Mas,"

"Bawa dua porsi, ya. Kita makan siang bersama," pinta arfan

"I-iya, Mas." ada rasa gugup di hatinya kala Arfan memintanya untuk makan siang bersama, pasalnya selama menikah ia tak pernah makan berdua dengan Arfan, pasti selalu ada Fika. Bahkan saat siang pun Hilmi lebih sering makan seorang diri tanpa teman. Terkadang, ia suka melewatkan makan siangnya dan akan makan untuk yang ke dua kalinya di waktu makan malam.

Kini Hilmi sedang berkutat di dapur untuk membuat makanan kesukaan sang suami. Ia yang niatnya mau mandi, di urungkan karena harus memasak terlebih dahulu. Ada rasa bahagia di hatinya karena baru kali Hilmi membuatkan makanan untuk Arfan dan di suruh untuk mengantarkannya ke kantor lelaki tersebut. Sebelum memutuskan sambungan telepon, Arfan meminta Hilmi untuk memasakkan makanan kesukaannya berhubung di rumah sedang tidak ada Fika. Map yang katanya ketinggalan akan di pakai pukul dua nanti, sehingga masih ada waktu untuk memasakkan makan siang. Art rumah tangga mereka sudah menawarkan diri untuk memasakkan pesanan Arfan, tapi Hilmi menolak dengan alasan ini adalah kesempatan langka untuk melayani suaminya.

Selesai memasak, Hilmi langsung menghidangkan masakannya ke dalam t*p*rw*r*. Setelahnya ia bersiap-siap untuk berangkat ke kantor sang suami. Dengan pakaian terbaiknya, Hilmi menunggu taxsi di kursi yah tersedia di teras rumah. Di perjalanan, tak hentinya jantungnya berdebar membayangkan ia akan makan berdua dengan sang suami. Terdengar berlebihan memang, tapi inilah yang dirasakan Hilmi karena selama menikah belum pernah mereka makan berdua. Ah, apakah Hilmi sudah menaruh hati pada Arfan? Jika memang iya, dia harus sadar bahwa dirinya tak boleh berharap lebih pada perasaannya itu.

****

"Sayang!" seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Arfan membuat lelaki yang sedang fokus membaca laporan di tangannya itu menoleh dan mendapati istri pertamanya sudah ada di depannya melangkah mendekat sambil menenteng tas jinjing.

"Loh, kok kesini, katanya ada pemotretan?" tanya Arfan kepada Fika yang kini sudah duduk di pangkuannya.

"lagi istirahat. Aku kesini ingin ngajakin kamu makan siang, lagian tempat aku pemotretan dekat kok, gak jauh dari sini,"

Arfan jadi gamang, ia sudah mengajak Hilmi makan siang bareng, tapi sekarang istri pertamanya itu datang dan mengajaknya makan siang. Ingin jujur tentu ia takut Fika marah dan berimbas kepada pertengkaran. Mau menolak, ia tak punya alasan yang tepat. Pun jika ia menerima, maka kasihan Hilmi yang sudah memasakkan makan siang untuknya.

"Kok bengong sih, Mas?"

"Nggak kok, gak bengong." bantah Arfan sambil berpura-pura mengecek berkas

"Gimana, mau nggak makan siang bareng aku? Pasti mau lah ya, kamu kan memang nggak pernah nolak keinginanku," kata Fika sambil memeluk leher suaminya dan mengecup sekilas bibir sang suami.

"Ah, aku nggak rela kalau berbagi bibir ini dengan wanita kampung itu," gumam Fika sambil menyapu bibir Arfan dengan jari jempolnya.

"Mas, ih! Kok gak jawab lagi sih? Kamu nggak suka aku ada disini?" tanya Fika cemberut.

Arfan segera menarik tengkuk istrinya dan melumat bibirnya sekilas, agar mood wanitanya itu kembali membaik.

"Siapa sih yang nggak suka istri cantiknya nyamperin ke kantor?" kata Arfan sambil menjawil hidung Fika membuat kemarahan Fika seketika menguap di gantikan dengan senyum merekah.

"Ya sudah, yuk! Mau makan dimana?"

"Di tempat favorit kita saja,"

"Boleh, yuk, langsung berangkat!"

Fika bangkit dari pangkuan Arfan dan merapikan pakaiannya, setelah itu Arfan pun berdiri dari duduknya dan Fika membantu merapikan jas dan dasi Arfan sebelum mereka pergi makan siang. Keduanya melangkah beriringan menuju pintu dengan Fika yang memeluk pinggang Arfan begitupun sebaliknya.

Sedangkan di luar ruangan Arfan, sekertaris Arfan hendak mengetuk pintu guna ingin melaporkan bahwa istri kedua tuannya tersebut sudah datang. Belum sempat ia mengetuk pintu, si pintu sudah di buka terlebih dahulu dari dalam.

Tatapan Arfan dan Fika langsung tertuju kepada Hilmi yang memegang sebuah map dan kotak makanan. Fika merasa marah melihat Hilmi beraninya datang ke kantor sang suami, berbeda dengan Arfan yang merasa bersalah kepada istri keduanya tersebut.

"Ngapain kamu disini?" tanya Fika menatap sinis kepada Hilmi.

"Aku mau ngantarin map ini mbak, sekaligus ...."

"Sekaligus meminta ijin untuk kembali ke rumah sakit,"

Perkataan Hilmi di potong dan di jawab sendiri oleh Arfan. Mendengar itu, kemarahan Fika sedikit mereda, tapi tetap saja ia tak suka bila sang madu datang ke kantor suaminya lebih tepatnya kantor suami mereka. Sedangkan Hilmi kembali merasakan sakit di hatinya. Ia kembali terluka, luka yang tak berdarah tapi teramat menyakitkan.

"Oh, ya sudah, cepat berikan dan segera pergi dari sini!"

Hilmi menyerahkan map tersebut kepada Arfan, dan Arfan menerimanya tanpa sepatah katapun. Ia hanya menatap Hilmi dengan perasaan bersalah.

"Ya sudah, yuk, Mas, aku udah laper nih!" ajak Fika sedikit menyeret lengan Arfan.

"Aku pergi dulu," pamit Arfan pada Hilmi saat lelaki itu tiba di samping istri keduanya tersebut.

"Pak Rey, ini makan siang buat bapak ajah ya," perkataan Hilmi masih di dengar jelas oleh Arfan membuat ia semakin merasa bersalah tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Eh, tapi, Bu ...."

"Nggak apa-apa, bapak belum makan siang kan? Itu ada dua porsi kasikan saja ke siapa pun terserah pak Rey,"

Mau menolak tak enak hati, pun mau menerima juga tak enak hati. Dengan berat hati Rey si sekertaris menerima bekal makan siang tersebut.

"Makasih, Bu,"

"Iya, sama-sama. Ya sudah, saya pamit pulang dulu,"

"Ah, ya, Bu, silahkan! Mau saya minta supir kantor untuk mengantar ibu?"

"Nggak usah, saya sudah pesan taksi tadi,"

"Baik, Bu. Hati-hati,"

"Hmm,"

Lagi, langkahnya di temani oleh sebuah luka dan kecewa. Di temani oleh rasa sakit dan air mata. Seakan dunia menunjukkan bahwa dirinya memang tak pantas bahagia. Dia hina, hidupnya hina, sehingga hari-harinya di kelilingi oleh orang yang hanya boleh menghinanya. Seandainya adiknya sudah sembuh, tentu ia tak akan merasa sesakit ini. Tentunya ia tak akan merasakan kesepian berkepanjangan. Tentunya sang adik tak akan membiarkannya terluka, tapi kini sang adik sedang istirahat dari penatnya kehidupan. Istirahat sejenak, sebelum dirinya kembali bangkit untuk menjadi satu-satunya pelindung untuk sang kakak. Menjadi satu-satunya tempat berteduh di kala hujan menerjang hati Hilmi. Di kala petir saling bersahutan berusaha menghancurkan hati wanita rapuh itu.

Langkahnya begitu lunglai, tapi saat dirinya mensugesti hatinya bahwa dirinya hanya seorang pemeran pengganti, hatinya mulai memiliki kekuatan. Menekan rasa sakit dan berusaha menumbuhkan senyum ceria di wajahnya kepada semua orang.

"Kamu harus kuat Hilmi. Kamu harus sadar diri. Seorang pemeran pengganti nggak akan pernah jadi tokoh utama. Cukuplah kau bersyukur karena adikmu masih bisa di rawat dengan alat dan tenaga medis yang lengkap."

"Duh, hati, ku mohon kerjasamanya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status