"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon.
"Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.
Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti.
"Aku minta tolong boleh?"
"Boleh, Mas,"
"Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana.
"Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?"
"Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"
Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Diam, adalah caranya menyikapi semuanya. Hilmi selalu mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa dia harus sadar posisinya saat ini.
"Baik, Mas,"
"Bawa dua porsi, ya. Kita makan siang bersama," pinta arfan
"I-iya, Mas." ada rasa gugup di hatinya kala Arfan memintanya untuk makan siang bersama, pasalnya selama menikah ia tak pernah makan berdua dengan Arfan, pasti selalu ada Fika. Bahkan saat siang pun Hilmi lebih sering makan seorang diri tanpa teman. Terkadang, ia suka melewatkan makan siangnya dan akan makan untuk yang ke dua kalinya di waktu makan malam.
Kini Hilmi sedang berkutat di dapur untuk membuat makanan kesukaan sang suami. Ia yang niatnya mau mandi, di urungkan karena harus memasak terlebih dahulu. Ada rasa bahagia di hatinya karena baru kali Hilmi membuatkan makanan untuk Arfan dan di suruh untuk mengantarkannya ke kantor lelaki tersebut. Sebelum memutuskan sambungan telepon, Arfan meminta Hilmi untuk memasakkan makanan kesukaannya berhubung di rumah sedang tidak ada Fika. Map yang katanya ketinggalan akan di pakai pukul dua nanti, sehingga masih ada waktu untuk memasakkan makan siang. Art rumah tangga mereka sudah menawarkan diri untuk memasakkan pesanan Arfan, tapi Hilmi menolak dengan alasan ini adalah kesempatan langka untuk melayani suaminya.
Selesai memasak, Hilmi langsung menghidangkan masakannya ke dalam t*p*rw*r*. Setelahnya ia bersiap-siap untuk berangkat ke kantor sang suami. Dengan pakaian terbaiknya, Hilmi menunggu taxsi di kursi yah tersedia di teras rumah. Di perjalanan, tak hentinya jantungnya berdebar membayangkan ia akan makan berdua dengan sang suami. Terdengar berlebihan memang, tapi inilah yang dirasakan Hilmi karena selama menikah belum pernah mereka makan berdua. Ah, apakah Hilmi sudah menaruh hati pada Arfan? Jika memang iya, dia harus sadar bahwa dirinya tak boleh berharap lebih pada perasaannya itu.
****
"Sayang!" seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Arfan membuat lelaki yang sedang fokus membaca laporan di tangannya itu menoleh dan mendapati istri pertamanya sudah ada di depannya melangkah mendekat sambil menenteng tas jinjing.
"Loh, kok kesini, katanya ada pemotretan?" tanya Arfan kepada Fika yang kini sudah duduk di pangkuannya.
"lagi istirahat. Aku kesini ingin ngajakin kamu makan siang, lagian tempat aku pemotretan dekat kok, gak jauh dari sini,"
Arfan jadi gamang, ia sudah mengajak Hilmi makan siang bareng, tapi sekarang istri pertamanya itu datang dan mengajaknya makan siang. Ingin jujur tentu ia takut Fika marah dan berimbas kepada pertengkaran. Mau menolak, ia tak punya alasan yang tepat. Pun jika ia menerima, maka kasihan Hilmi yang sudah memasakkan makan siang untuknya.
"Kok bengong sih, Mas?"
"Nggak kok, gak bengong." bantah Arfan sambil berpura-pura mengecek berkas
"Gimana, mau nggak makan siang bareng aku? Pasti mau lah ya, kamu kan memang nggak pernah nolak keinginanku," kata Fika sambil memeluk leher suaminya dan mengecup sekilas bibir sang suami.
"Ah, aku nggak rela kalau berbagi bibir ini dengan wanita kampung itu," gumam Fika sambil menyapu bibir Arfan dengan jari jempolnya.
"Mas, ih! Kok gak jawab lagi sih? Kamu nggak suka aku ada disini?" tanya Fika cemberut.
Arfan segera menarik tengkuk istrinya dan melumat bibirnya sekilas, agar mood wanitanya itu kembali membaik.
"Siapa sih yang nggak suka istri cantiknya nyamperin ke kantor?" kata Arfan sambil menjawil hidung Fika membuat kemarahan Fika seketika menguap di gantikan dengan senyum merekah.
"Ya sudah, yuk! Mau makan dimana?"
"Di tempat favorit kita saja,"
"Boleh, yuk, langsung berangkat!"
Fika bangkit dari pangkuan Arfan dan merapikan pakaiannya, setelah itu Arfan pun berdiri dari duduknya dan Fika membantu merapikan jas dan dasi Arfan sebelum mereka pergi makan siang. Keduanya melangkah beriringan menuju pintu dengan Fika yang memeluk pinggang Arfan begitupun sebaliknya.
Sedangkan di luar ruangan Arfan, sekertaris Arfan hendak mengetuk pintu guna ingin melaporkan bahwa istri kedua tuannya tersebut sudah datang. Belum sempat ia mengetuk pintu, si pintu sudah di buka terlebih dahulu dari dalam.
Tatapan Arfan dan Fika langsung tertuju kepada Hilmi yang memegang sebuah map dan kotak makanan. Fika merasa marah melihat Hilmi beraninya datang ke kantor sang suami, berbeda dengan Arfan yang merasa bersalah kepada istri keduanya tersebut.
"Ngapain kamu disini?" tanya Fika menatap sinis kepada Hilmi.
"Aku mau ngantarin map ini mbak, sekaligus ...."
"Sekaligus meminta ijin untuk kembali ke rumah sakit,"
Perkataan Hilmi di potong dan di jawab sendiri oleh Arfan. Mendengar itu, kemarahan Fika sedikit mereda, tapi tetap saja ia tak suka bila sang madu datang ke kantor suaminya lebih tepatnya kantor suami mereka. Sedangkan Hilmi kembali merasakan sakit di hatinya. Ia kembali terluka, luka yang tak berdarah tapi teramat menyakitkan.
"Oh, ya sudah, cepat berikan dan segera pergi dari sini!"
Hilmi menyerahkan map tersebut kepada Arfan, dan Arfan menerimanya tanpa sepatah katapun. Ia hanya menatap Hilmi dengan perasaan bersalah.
"Ya sudah, yuk, Mas, aku udah laper nih!" ajak Fika sedikit menyeret lengan Arfan.
"Aku pergi dulu," pamit Arfan pada Hilmi saat lelaki itu tiba di samping istri keduanya tersebut.
"Pak Rey, ini makan siang buat bapak ajah ya," perkataan Hilmi masih di dengar jelas oleh Arfan membuat ia semakin merasa bersalah tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Eh, tapi, Bu ...."
"Nggak apa-apa, bapak belum makan siang kan? Itu ada dua porsi kasikan saja ke siapa pun terserah pak Rey,"
Mau menolak tak enak hati, pun mau menerima juga tak enak hati. Dengan berat hati Rey si sekertaris menerima bekal makan siang tersebut.
"Makasih, Bu,"
"Iya, sama-sama. Ya sudah, saya pamit pulang dulu,"
"Ah, ya, Bu, silahkan! Mau saya minta supir kantor untuk mengantar ibu?"
"Nggak usah, saya sudah pesan taksi tadi,"
"Baik, Bu. Hati-hati,"
"Hmm,"
Lagi, langkahnya di temani oleh sebuah luka dan kecewa. Di temani oleh rasa sakit dan air mata. Seakan dunia menunjukkan bahwa dirinya memang tak pantas bahagia. Dia hina, hidupnya hina, sehingga hari-harinya di kelilingi oleh orang yang hanya boleh menghinanya. Seandainya adiknya sudah sembuh, tentu ia tak akan merasa sesakit ini. Tentunya ia tak akan merasakan kesepian berkepanjangan. Tentunya sang adik tak akan membiarkannya terluka, tapi kini sang adik sedang istirahat dari penatnya kehidupan. Istirahat sejenak, sebelum dirinya kembali bangkit untuk menjadi satu-satunya pelindung untuk sang kakak. Menjadi satu-satunya tempat berteduh di kala hujan menerjang hati Hilmi. Di kala petir saling bersahutan berusaha menghancurkan hati wanita rapuh itu.
Langkahnya begitu lunglai, tapi saat dirinya mensugesti hatinya bahwa dirinya hanya seorang pemeran pengganti, hatinya mulai memiliki kekuatan. Menekan rasa sakit dan berusaha menumbuhkan senyum ceria di wajahnya kepada semua orang.
"Kamu harus kuat Hilmi. Kamu harus sadar diri. Seorang pemeran pengganti nggak akan pernah jadi tokoh utama. Cukuplah kau bersyukur karena adikmu masih bisa di rawat dengan alat dan tenaga medis yang lengkap."
"Duh, hati, ku mohon kerjasamanya!"
Langkahnya ia bawa menuju lift untuk karyawan, menekan tombol lantai satu bersama para karyawan lainnya yang hendak turun untuk makan siang. Semua yang ada di dalam lift sedikit menepi melihat istri bos mereka memasuki lift. Hilmi menebar senyum memberitahu bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi yang melihat kejadian barusan mereka tahu bahwa senyum itu hanya sebagai penutup luka lara yang ada di hatinya."Hati-hati, Bu," ucap salah seorang karyawan perempuan yang ada di samping Hilmi saat Hilmi sudah mulai melangkah keluar dari lift tersebut."Iya, terimakasih, saya permisi dulu." jawab Hilmi sambil memberikan senyum singkat."Maaf, Bu, bapak meminta saya untuk mengantar ibu," pak Kasim, supir perusahaan menghampiri Hilmi yang sudah berdiri di pintu lobi perusahaan."Nggak usah, saya sudah pesan taksi," jawab Hilmi menolak."Tapi, Bu, ini perintah bapak!""Maaf, taksi saya sudah datang, saya permisi."Tanpa menghiraukan pak Kasim, Hilmi melangkah menuju taksi yang ada di depan gerbang
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesembuhan untuk adikku."Pernyataan Hilmi membuat Arfan diam t
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu. "Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya," Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan. Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi ap
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya."Mas,
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba mun
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!""Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!""Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?""Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi