Share

6. Suami dan Istri

"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu.

"Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"

Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.

Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi apapun yang suaminya perintahkan. Fika sangat ingin punya anak, bahkan ia berencana akan berhenti jadi model kalau dirinya sudah memiliki anak. Namun, takdir berkata lain, Fika ditakdirkan menjadi wanita mandul yang membuatnya terpaksa mencarikan suaminya wanita lain demi mendapatkan keturunan. Sesungguhnya Fika merupakan pribadi yang baik dan ramah, tapi karena kecemburuannya kepada wanita yang di bawanya sendiri, membuat Fika meninggikan sifat egoisnya, meninggikan keras kepalanya yang tak ingin berbagi suami. Karena Fika memang sama dengan kebanyakan bahkan semua perempuan yang tak rela berbagi suami.

Fika memutuskan bersiap-siap, tadi ia sudah izin kepada Arfan bahwa dirinya akan berkumpul dengan teman-temannya. Dari padanya dirinya diam di rumah dan memikirkan yang nggak-nggak tentang Arfan dan Hilmi, .lebih baik Fika berkumpul bersama teman-temannya dan bercanda tawa melupakan sejenak keberadaan suaminya di rumah sang mertua.

Di tempat lain, Arfan kini tengah duduk di ruang pribadinya di kediaman sang ibu. Tadi, setelah tiba di rumah mama Agni, Arfan memutuskan untuk ke ruang kerjanya terlebih dahulu, karena dirinya belum siap untuk bertemu dan melakukan kewajibannya. Pikirannya masih di penuhi oleh Fika, ia begitu mencintai istri pertamanya tersebut. Meskipun acapkali hatinya ingin berlaku adil, tapi tak bisa di pungkiri bahwa Fika masih sangatlah menguasai hatinya.

Tak di pedulikan suara ketukan di pintu yang tiada hentinya. Bahkan berulang kali sang nyonya rumah memanggil Arfan dan memintanya segera keluar. Arfan tak peduli, sungguh!

"Arfan, please buka pintunya dan temui Hilmi! Mama tahu kamu sangat mencintai Fika, tapi ingat tujuan kamu menikah dengan Hilmi itu apa? Semakin cepat semakin baik. Kalau kamu menunda-nunda terus, maka akan semakin lama kamu memiliki anak dan pisah dari Hilmi, kalau sudah makin lama, mama khawatir kamu mulai jatuh hati pada Hilmi. Jadi lebih baik kamu jalani tugas kamu secepatnya agar Kamu segera terbebas dai Hilmi dan Fika tak akan sakit hati lagi."

Arfan tercenung mendengar penuturan mamanya. Benar apa yang di sang mama bahwa lebih cepat lebih baik.

"Ya, Ma. Aku sebentar lagi keluar, tolong tinggalkan aku sebentar!"

"Baiklah, jangan lama-lama. Takutnya Hilmi sudah ketiduran!"

"Iya, Ma."

Sekitar tiga puluh menit, Arfan memantapkan hatinya untuk keluar dan menemui istri keduanya. Dengan pasti, ia melangkahkan kakinya menaiki satu persatu anak tangga untuk sampai di lantai dua. Setibanya di depan pintu, Arfan bingung, haruskah ia langsung masuk atau ketuk pintu dulu? Setelah lama menimbang, Arfan memutuskan masuk tanpa mengetuk pintu. Ia tekan handle pintu perlahan yang ternyata tidak di kunci oleh Hilmi. Perlahan Arfan memasuki kamar miliknya dari sejak ia kecil dahulu.

Wanita yang hendak memejamkan matanya itu kembali terjaga di kala pendengarannya mendengar pintu terbuka. Gegas Hilmi bangun dan berusaha merapikan dress-nya yang sedikit tersingkap di bagian paha.

Jantung Arfan berdesir melihat penampilan Hilmi malam ini yang terlihat begitu cantik dan seksi. Sungguh Hilmi sekarang sangat cantik dan mempesona, berbeda dengan Hilmi yang setiap hari di temuinya ketika di rumah dulu.

"Ka-kamu!"

Hilmi tampak gugup dan jantungnya bertalu dengan cepat mendapati dirinya ditatap sedemikian rupa oleh Arfan.

"Ma-maaf, Mas. Tadi mama meminta ketiga asistennya untuk mendandaniku. Maaf kalau ini membuatmu risih," ujar Hilmi sambil memilin jari-jarinya.

Arfan tak menanggapi membuat Hilmi merasa semakin malu karena mengira Arfan tak suka akan penampilannya saat ini.

"Kalau begitu, aku ganti baju dulu!"

Hilmi berjalan dengan tergesa untuk tiba di lemari dan ingin mengambil piama tidur. Namun, tangannya di cekal oleh Arfan dan sedikit di tarik membuat Hilmi perlahan mendekat ke arah Arfan. Jantungnya semakin berdetak kencang. Hilmi tak berani menatap Arfan yang kini menatapnya dengan lekat sejak tadi.

"Tak usah ganti baju, aku suka lihat kamu seperti ini. Kamu terlihat makin cantik dan seksi," gumam Arfan di dekat telinga Hilmi yang membuat buku kuduk wanita itu merinding.

Bagaimana Arfan tak terpesona, jika melihat Hilmi yang begitu cantik dengan dress selutut tanpa lengan berwarna hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. Rambut yang digerai bergelombang serta make up natural membuat Hilmi semakin terlihat cantik.

Perlahan tangan Arfan melingkar pada perut rata Hilmi. Hidungnya mencium rambut dan leher Hilmi yang begitu wangi. Sesekali lidahnya menyapu daun telinga Hilmi membuat Hilmi menggeliat karena rasa geli.

"Ma-mas!"

"Hm? Kamu cantik sekali malam ini," pujian itu membuat kedua pipi Hilmi merona.

Arfan menyadari sesuatu, bahwa ketakutan yang tadi begitu menguasai hatinya menguat begitu saja. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa bahwa ini wajar-wajar saja karena Hilmi juga istrinya. Fika berusaha disingkirkannya dari pikiran, sekarang ia harus fokus pada istri keduanya ini agar Hilmi bisa segera hamil anaknya.

"Tak usah tegang, rileks saja," pinta Arfan saat merasakan tubuh Hilmi yang begitu menegang.

"I-iya, Mas."

Tangan Arfan mulai mengusap-usap perut rata Hilmi membuat si empunya perut merasa geli dan entahlah.. ada sesuatu yang tak bisa di jabarkan lewat kata-kata. Tangannya perlahan pindah ke lengan Hilmi, mengusapnya dari bawah ke atas berulang-ulang. Tubuh Hilmi mulai rileks dan mulai menikmati setiap sentuhan Arfan.

Arfan membalikkan tubuh Hilmi, dan kini keduanya bertatapan dengan intens. Tangan kanan Arfan mulai mengusap wajah Hilmi, sedangkan satu tangannya memeluk pinggang Hilmi guna menahan tubuh wanitanya tersebut.

"Maaf, aku lama masuknya," kata Arfan yang masih menikmati wajah sang istri dengan elusan tangannya.

"Aku kira mas Arfan tidur di kamar lain dan belum siap,"

"Maaf membuatmu menunggu,"

Arfan memegang tengkuk Hilmi dan perlahan mendekatkan wajah mereka. Otomatis Hilmi melingkarkan tangannya pada pinggang Arfan. Entah mulai kapan bibir keduanya kini sudah bertaut seolah meluapkan rindu yang begitu membuncah. Tangan Arfan tak tinggal diam, ia menyusuri setiap inci tubuh sang istri dengan penuh nafsu.

Hingga kini keduanya sudah menyatu di atas pembaringan tanpa sehelai benangpun dengan tangan saling bertaut berusaha mencapai surga dunia bersama.

Meskipun sudah selesai, Hilmi masih merasakan bunga-bunga bermekaran di dadanya. Meskipun ini pengalaman pertama bagi Hilmi, tapi Hilmi tak begitu merasakan kesakitan karena Arfan melakukannya dengan penuh kelembutan dan mampu membuat dirinya melayang ke nirwana.

"Terimakasih sudah memberikan mahkotamu kepada Mas, Dik. Terimakasih sudah menjaga dirimu sebaik mungkin,"

"Ini memang sudah hak kamu, Mas."

Kini keduanya terlelap dengan saling mendekap erat di bawah selimut. Pakaian masih berserakan di lantai, tapi mereka tak peduli. Mereka hanya ingin mengistirahatkan tubuh mereka setelah beberapa jam terkuras tenaganya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status