Saling mencintai bukan berarti bisa membuka pintu untuk hidup bersama. Keduanya disatukan saat tak saling mengenal, dengan hati yang saling menolak. Namun, saat hati keduanya saling mencintai, berpisah adalah jalan yang mereka pilih. Pernikahan yang awalnya keterpaksaan yang terjadi pada Arfan dan Hilmi bukanlah pernikahan yang akhirnya saling jatuh cinta lalu hidup bahagia. Pernikahan mereka terjadi untuk diakhiri. Sekalipun saling mencintai, mereka akhirnya harus berpisah, bahkan berpisah lebih cepat karena rasa cinta yang dirasakan keduanya.Sekalipun mama Agni memohon agar bertahan, tapi Arfan tak ingin hatinya semakin jatuh pada pesona Hilmi. Ia tak ingin menyakiti Fika lebih dalam lagi. Ia ingin hanya Fika satu-satunya wanita dalam hidupnya sekalipun istrinya itu tak bisa memberikan dirinya keturunan."Sayang, sudah siap 'kan semuanya?" tanya Arfan yang saat ini sedang bersiap untuk berangkat liburan.Dua Minggu setelah perceraian Arfan dan Hilmi, Arfan berusaha menyempurnakan k
"Sayang, please, jangan ngomong seperti itu. Aku melakukan semua ini karena aku ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku ingin hanya kamu wanita satu-satunya di hidupku. Aku ingin kamu membantuku menghapus perasaan ini untuk Hilmi. Aku ingin hatiku kembali sadar bahwa kamu dan hanya kamu yang terbaik. Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah meninggalkan kamu."Arfan berusaha meraih Fika, tapi Fika selalu menghindar dan terus menghindar. Wanita mana yang tak sakit hati, dikala dirinya tahu bahwa di hati sang suami sudah timbul bibit-bibit cinta. Memang dia yang salah yang sudah membawa Hilmi ke tengah-tengah rumah tangga mereka, dia salah karena terlalu menyepelekan Hilmi yang menurutnya tak mungkin membuat Arfan jatuh cinta, tapi nyatanya sekarang?? Inikah konsekuensi yang harus diterima oleh Fika karena sudah mempermainkan pernikahannya?"Kenapa? Kenapa kamu mempertahankan aku, Mas? Kenapa kamu memilihku? Sedangkan aku hanya wanita mandul yang tak bisa memberikanmu keturunan. Apa h
"Mbak yakin mau menetap disini? Gak mau pindah gitu ke luar kota?"Entah pertanyaan yang ke berapa kalinya yang dilontarkan Rian kepada Hilmi, yang jelas setiap hari, semenjak satu bulan belakangan Rian tak pernah absen menanyakan tentang keputusan Hilmi yang memilih menetap di kontrakan yang masih satu kota dengan Arfan. Meskipun jaraknya lumayan jauh, tapi kemungkinan bertemu sangat besar mengingat masih berada dalam satu kota. Rian tak ingin Hilmi terus terluka. Rian ingin Hilmi melupakan segala kenangan pahit yang pernah di lalui Hilmi di kota ini."Sudah berapa kali kamu bertanya seperti itu kepada mbak, Dek? Dan jawaban mbak tetap sama. Bukan karena mbak mengharapkan mas Arfan, tapi mbak sudah nyaman disini. Lagian juga dagangan mbak disini laris manis. Banyak yang beli. Kalau pindah tempat, susah lagi cari pelanggan. Kamu juga sudah nyaman 'kan di tempat kerja kamu yang sekarang? kalau pindah lagi, susah lagi buat penyesuaiannya. Apalagi teman-teman kerjamu pada baik semua."Se
"Omaaaa, aku datang!"Seruan seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tiga tahunan membuat mama Agni yang tengah bersantai di ruang keluarga mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan kepalanya ke pintu yang menghubungkan ke ruang tamu, menanti suara langkah kaki mungil yang terdengar semakin mendekat.Setelah sekian detik, seorang bocah perempuan mengenakan gaun putih dengan rambut yang di kepang dua, tak lupa jepit mutiara terpasang di pangkal kedua kepangannya tersebut."Oma kok gak sambut aku sih? Oma gak kangen aku?"Mama Agni masih diliputi kebingungan akan hadirnya bocah perempuan tersebut yang tiba-tiba dan memanggilnya Oma. Padahal ia tak mengenalnya sama sekali. Sesekali mama Agni bergantian memandang bocah tersebut dan pintu berharap seseorang yang membawa bocah itu muncul agar rasa penasarannya terjawab. Namun, yang di tunggu-tunggu tak kunjung datang."Kamu siapa, Cantik?" tanya mama Agni sambil mengusap kepala anak perempuan yang barusan memanggilnya Oma tersebut."Oma gak
Kini mama Agni dan Hilmi sudah berada di sebuah restoran cepat saji yang kemungkinan besar tal ada yang mengenal mams Agni.Hilmi terpaksa mengiyakan permintaan mana Agni, dan tentu nanti setelah ia pulang, Hilmi harus siap dengan segala pertanyaan yang akan diajukan ibu-ibu tadi tentang siapa mama Agni."Kamu hamil?"Pertanyaan mama Agni membuat kedua pupil Hilmi melebar. Apa maksud dari pertanyaan mantan mertuanya tersebut?"Maksud mama?""Apa sekarang kamu sudah hamil?""Kenapa mama bertanya itu kepadaku, bahkan sudah sebulan lebih saya dan mas Arfan berpisah,""Aku tahu, tapi bukankah malam terakhir waktu itu kalian masih melakukannya?"Memori Hilmi kembali berputar pada malam disaat dia dan Arfan melakukan itu, dan ketika paginya dirinya yang di marahi oleh mama Agni karena hasil tes yang lagi-lagi negatif. Hingga malamnya Arfan memutuskan untuk menceraikan dirinya hanya karena tak mau rasa cinta arfan padanya semakin besar.Luka yang berusaha di sembuhkan oleh Hilmi, kini kembal
Semenjak keluar dari rumah sakit, Hilmi banyak merenung. Kesedihan terlihat dengan jelas di wajahnya. Berbagai ketakutan menghantui pikiran Hilmi membuat ia tak merespon perkataan mama Agni."Kamu kenapa? Kamu gak senang kalau hamil sehingga kamu terlihat sedih seperti itu?"tanya mama Agni sambil menepuk pundak Hilmi yang tampak mematung."Sa-saya gak papa, Ma,""Ma, apa perjanjian itu tetap berlaku untuk anak ini?""Aku inginnya seperti itu, tapi Arfan sudah memiliki anak yang ia adopsi dari panti. Mungkin Arfan tak akan peduli jika tak ada yang memberitahukan dirinya,"Ada rasa sakit di hati Hilmi, kala Arfan tak akan diberi tahu perihal kehamilannya. Namun, ada juga rasa bahagia karena dengan itu, kemungkinan anak dalam kandungannya akan tetap bersamanya. Haruskah anaknya tumbuh tanpa mengenal siapa sosok ayahnya? Tapi, kalau Arfan tahu, haruskah anaknya tak mengenal Hilmi karena diambil oleh ayahnya?"Kenapa mama gak mau memberitahu mas Arfan?""Aku melihat Arfan sudah bahagia se
Sedangkan di kediaman mama Agni, Arfan dan Fika tengah menemani anak mereka bermain. Arfan mengadopsi anak yang berumur tiga tahun sesuai keinginan Fika. Kalau masih bayi, Fika tak mau dengan alasan ia tak tahu bagaimana cara merawat seorang bayi.Fika dan Arfan sangat menyayangi anak angkatnya yang bernama Rico Arkareksa. Mereka menyayangi Rico layaknya anak kandung mereka sendiri."Mama kemana ya, Mas, kok tumben bawa mobil sendiri?""Entahlah, aku juga gak tahu."Tak lama, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah mama Agni. Keduanya bangun dengan Arfan yang menggendong Rico yang sedari tadi tak bisa diam."Tuyun, aku gak mau ndong, Papa!""Hei, kita ke depan, Nak. Oma datang, kita sambut Oma. Pasti Oma senang karena Rico ada disini,""Oma?""Iya, Oma,""Nah, itu Oma. Ayo panggil Oma!""Omaaaa! Yico datang!"Mama Agni yang hendak menaiki teras, melambaikan tangannya pada cucu angkatnya."Halo cucu Oma," sapanya dengan seulas senyum yang diberikan kepada Rico. Mengingat sebentar l
."Mbak, bukan yang itu maksud aku! Aku hanya tak ingin mbak semakin menderita. Sudah cukup penyesalanku karena mbak menderita demi aku, sekarang aku gak mau lagi, Mbak! Aku gak ingin diriku semakin menyesal karena aku melihat mbak kesusahan menjalani peran sebagai singgle parent. Aku ingin mbak menemukan kebahagiaan mbak yang lain,""Bayi ini, bayi ini kebahagiaan mbak, Re. Selain kamu, bayi ini yang menjadi penyemangat mbak. Jangan ungkit masa lalu. Jangan pernah ada penyesalan, karena mbak melakukan itu sesuai dengan keinginan mbak, itu murni kemauan mbak sendiri, Re. Tolong jangan tolak kehadiran keponakanmu ini, Re!" perlahan tubuhnya merosot hingga Hilmi terduduk di lantai.Terdengar suara tangis di balik pintu. Rian merasa serba salah. Ia meraup wajahnya dengan kasar. Ia tak ingin mbaknya terbebani dengan mengurus bayi seorang diri, tapi ia juga tak ingin Hilmi sedih karena pendapatnya itu."Mbak menyayanginya, Re, sungguh! Mbak tak ingin kehilangan untuk yang ketiga kali. Suda