"Omaaaa, aku datang!"Seruan seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tiga tahunan membuat mama Agni yang tengah bersantai di ruang keluarga mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan kepalanya ke pintu yang menghubungkan ke ruang tamu, menanti suara langkah kaki mungil yang terdengar semakin mendekat.Setelah sekian detik, seorang bocah perempuan mengenakan gaun putih dengan rambut yang di kepang dua, tak lupa jepit mutiara terpasang di pangkal kedua kepangannya tersebut."Oma kok gak sambut aku sih? Oma gak kangen aku?"Mama Agni masih diliputi kebingungan akan hadirnya bocah perempuan tersebut yang tiba-tiba dan memanggilnya Oma. Padahal ia tak mengenalnya sama sekali. Sesekali mama Agni bergantian memandang bocah tersebut dan pintu berharap seseorang yang membawa bocah itu muncul agar rasa penasarannya terjawab. Namun, yang di tunggu-tunggu tak kunjung datang."Kamu siapa, Cantik?" tanya mama Agni sambil mengusap kepala anak perempuan yang barusan memanggilnya Oma tersebut."Oma gak
Kini mama Agni dan Hilmi sudah berada di sebuah restoran cepat saji yang kemungkinan besar tal ada yang mengenal mams Agni.Hilmi terpaksa mengiyakan permintaan mana Agni, dan tentu nanti setelah ia pulang, Hilmi harus siap dengan segala pertanyaan yang akan diajukan ibu-ibu tadi tentang siapa mama Agni."Kamu hamil?"Pertanyaan mama Agni membuat kedua pupil Hilmi melebar. Apa maksud dari pertanyaan mantan mertuanya tersebut?"Maksud mama?""Apa sekarang kamu sudah hamil?""Kenapa mama bertanya itu kepadaku, bahkan sudah sebulan lebih saya dan mas Arfan berpisah,""Aku tahu, tapi bukankah malam terakhir waktu itu kalian masih melakukannya?"Memori Hilmi kembali berputar pada malam disaat dia dan Arfan melakukan itu, dan ketika paginya dirinya yang di marahi oleh mama Agni karena hasil tes yang lagi-lagi negatif. Hingga malamnya Arfan memutuskan untuk menceraikan dirinya hanya karena tak mau rasa cinta arfan padanya semakin besar.Luka yang berusaha di sembuhkan oleh Hilmi, kini kembal
Semenjak keluar dari rumah sakit, Hilmi banyak merenung. Kesedihan terlihat dengan jelas di wajahnya. Berbagai ketakutan menghantui pikiran Hilmi membuat ia tak merespon perkataan mama Agni."Kamu kenapa? Kamu gak senang kalau hamil sehingga kamu terlihat sedih seperti itu?"tanya mama Agni sambil menepuk pundak Hilmi yang tampak mematung."Sa-saya gak papa, Ma,""Ma, apa perjanjian itu tetap berlaku untuk anak ini?""Aku inginnya seperti itu, tapi Arfan sudah memiliki anak yang ia adopsi dari panti. Mungkin Arfan tak akan peduli jika tak ada yang memberitahukan dirinya,"Ada rasa sakit di hati Hilmi, kala Arfan tak akan diberi tahu perihal kehamilannya. Namun, ada juga rasa bahagia karena dengan itu, kemungkinan anak dalam kandungannya akan tetap bersamanya. Haruskah anaknya tumbuh tanpa mengenal siapa sosok ayahnya? Tapi, kalau Arfan tahu, haruskah anaknya tak mengenal Hilmi karena diambil oleh ayahnya?"Kenapa mama gak mau memberitahu mas Arfan?""Aku melihat Arfan sudah bahagia se
Sedangkan di kediaman mama Agni, Arfan dan Fika tengah menemani anak mereka bermain. Arfan mengadopsi anak yang berumur tiga tahun sesuai keinginan Fika. Kalau masih bayi, Fika tak mau dengan alasan ia tak tahu bagaimana cara merawat seorang bayi.Fika dan Arfan sangat menyayangi anak angkatnya yang bernama Rico Arkareksa. Mereka menyayangi Rico layaknya anak kandung mereka sendiri."Mama kemana ya, Mas, kok tumben bawa mobil sendiri?""Entahlah, aku juga gak tahu."Tak lama, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah mama Agni. Keduanya bangun dengan Arfan yang menggendong Rico yang sedari tadi tak bisa diam."Tuyun, aku gak mau ndong, Papa!""Hei, kita ke depan, Nak. Oma datang, kita sambut Oma. Pasti Oma senang karena Rico ada disini,""Oma?""Iya, Oma,""Nah, itu Oma. Ayo panggil Oma!""Omaaaa! Yico datang!"Mama Agni yang hendak menaiki teras, melambaikan tangannya pada cucu angkatnya."Halo cucu Oma," sapanya dengan seulas senyum yang diberikan kepada Rico. Mengingat sebentar l
."Mbak, bukan yang itu maksud aku! Aku hanya tak ingin mbak semakin menderita. Sudah cukup penyesalanku karena mbak menderita demi aku, sekarang aku gak mau lagi, Mbak! Aku gak ingin diriku semakin menyesal karena aku melihat mbak kesusahan menjalani peran sebagai singgle parent. Aku ingin mbak menemukan kebahagiaan mbak yang lain,""Bayi ini, bayi ini kebahagiaan mbak, Re. Selain kamu, bayi ini yang menjadi penyemangat mbak. Jangan ungkit masa lalu. Jangan pernah ada penyesalan, karena mbak melakukan itu sesuai dengan keinginan mbak, itu murni kemauan mbak sendiri, Re. Tolong jangan tolak kehadiran keponakanmu ini, Re!" perlahan tubuhnya merosot hingga Hilmi terduduk di lantai.Terdengar suara tangis di balik pintu. Rian merasa serba salah. Ia meraup wajahnya dengan kasar. Ia tak ingin mbaknya terbebani dengan mengurus bayi seorang diri, tapi ia juga tak ingin Hilmi sedih karena pendapatnya itu."Mbak menyayanginya, Re, sungguh! Mbak tak ingin kehilangan untuk yang ketiga kali. Suda
Pada akhirnya ummi Zakia menemani Hilmi berbelanja sampai selesai. Sedangkan Zidan sudah bermuka masam sejak ummi Zakia memutuskan untuk menemani Hilmi belanja dan enggan pulang. Entah kenapa Zidan merasa kurang menyukai Hilmi. Hanya melihat penampilan Hilmi yang tak menggunakan hijab, Zidan merasa keluargany tak pantas berakrab ria dengan Hilmi."Eh, Ummi Zakia. Mau belanja apa?" tanya pedagang sayuran yang mengenal ummi Zakia."Ini lagi nemenin mbak Hilmi," jawab Ummi Zakia sambil menunjuk Hilmi yang ada di sampingnya."Walah, ini Eneng yang sering belanja sayur ke saya, ya? Ini siapanya, Ummi? Apa calonnya mas Zidan?" ternyata ibu itu juga lumayan mengenali Hilmi yang memang kalau belanja sayur selalu kepada ibu tersebut."Ya, nggak mungkinlah, Dah. Mana mungkin calon mantunya ummi nggak berhijab gitu. Iya kan, Mi?" sela pedangan lainnya yang berada disebelah Bu Hamidah."Bener tuh, Mas Ridwan saja istrinya anak Kiai. Masak iya Mas Zidan calon istrinya kayak gitu!" pedagang sebelah
'Puk' sebuah pukulan mendarat di bahu Zidan setelah selesai berbicara. Ia menatap sang ummi hendak protes, "apaan sih, Mi, kok Zidan di pukul?""Kamu tuh ngomong kok sembarangan! Hilmi itu sudah punya suami, sudah bercerai juga, tapi waktu cerai mungkin belum ketahuan kalau hamil. Ibu itu mertuanya mungkin,""Di cerai karena ketahuan selingkuh pastinya itu. Dan anak itu pasti anak selingkuhannya, tapi minta tanggung jawabnya ke suami. Dasar wanita sekarang!""Duuhhh, sakit, Ummi!" pukulan kembali mendarat di bahu Zidan, tapi kali lebih keras dari yang pertama.Ummi Zakia sungguh tak habis pikir dengan pikiran negatif yang ada di otak anaknya. Bagaimana bisa Zidan berpikir sebegitu negatifnya terhadap wanita yang bahkan baru hari bertemu dengannya."Kamu kok makin buruk sih omongannya! Ummi dan Abah gak pernah ngajarin kamu untuk negatif thinking pada orang lain, apalagi pada wanita yang seharusnya di muliakan. Selama sebulanan ini ummi mengenal mbak Hilmi, tak sekalipun ummi menemukan
Semua heboh melihat Hilmi yang tiba-tiba pingsan. Kompor dimatikan, aktifitas semua berhenti karena pingsannya Hilmi. Ada yang benar-benar khawatir hingga heboh, ada yang hanya sebatas melihat dan berlalu lagi. Ada juga yang tak peduli sama sekali, walau hanya sekedar melihat kondisinya saat ini. Hilmi di gotong oleh beberapa ibu-ibu dan di baringkan di atas tikar yang sudah di gelar di lantai ruang tengah.Ummi Zakia mengambil minyak kayu putih yang ada di dalam kamarnya lalu mengoleskan di perut Hilmi serta bagian bawah hidungnya. Ada yang mengipas Hilmi, Ada juga yang memijat kaki Hilmi. Ada pula sebagian yang melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.Hampir satu jam, Hilmi tak jua sadarkan diri membuat yang ada di sana semakin khawatir, apalagi kondisi Hilmi saat ini sedang hamil muda. Mereka takut terjadi apa-apa pada kandungan wanita yang sudah tak punya suami tersebut."Bagaimana ini, Ummi?" tanya Bu Rahmi yang sedari tadi menemani ummi Zakia yang menunggui kesadaran Hil