Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.
Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya.
"Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.
Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?"
"Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin dari kamunya dulu,"
"Wah, ke mana itu?"
"Balikpapan, Mas. Kalau mas ngizinin aku terima, kalau nggak, ya, aku tolak,"
"Memangnya kapan kesananya dan berapa hari?"
"Seminggu lagi. Mungkin sekitar dua mingguan,"
"Mas cek kerjaan dulu, kalau sedikit luang, mas izini sekalian kita liburan ke sana."
"Waaaahh, beneran sayang?" Fika tampak begitu girang mendengar penuturan Arfan, apalagi di tambah pria itu akan ikut dan sekalian mau mengajak dirinya liburan. Siapa yang senang coba?
"Iya, udah lama juga 'kan kita gak liburan?"
"Makasih, Mas,"
"Sama-sama, sayang."
"Mas mandi dulu gih, ntar kita langsung berangkat sekalian kita makan di luar, bajunya sudah aku siapin di kamar,"
"Oke."
Tanpa terasa waktu berjam-jam kini sudah di lewati dengan keseruan dan kemeriahan acara pernikahan teman Fika. Jam 00:32 mereka baru pulang dari acara tersebut. Puluhan panggilan tak terjawab serta chat dari mama Agni menghiasi layar utama pada ponsel keduanya.
"Mas, tak bisakah untuk tetap tinggal?" pinta Fika dengan raut sedihnya.
"Sayang, ini peraturan yang sudah kita sepakati bersama bukan? Aku pun berat harus meninggalkanmu di rumah dengan bibi, tapi jika kita melanggar, kamu tahu sendiri 'kan gimana kerasnya mama?"
"Mas,"
Arfan sungguh tak tega pada Fika, apalagi kini air mata sudah mulai membasahi wajah istrinya tersebut. Arfan membawa Fika kedalam pelukannya.
"Ini hanya sebentar, sayang. Kalau dia sudah hamil, mas tak akan bermalam dengannya lagi,"
*****
"Baguslah kamu datang tepat waktu. Lekas bebersih dan jangan lupa pakai pakaian yang sudah aku siapkan!"
"Baik, Ma."
Baru saja Hilmi memasuki rumah dan mengucapkan salam, dirinya sudah di sambut oleh mama Agni yang tengah duduk di ruang tamu di temani secangkir kopi dan sepiring camilan. Tak lupa sebuah majalah menjadi teman mama Agni bersantai malam ini.
"Oh, ya, tadi Arfan diminta Fika untuk pulang katanya mau minta antar kondangan. Jadi, nanti mungkin agak malam datangnya."
"Iya, Ma,"
"Ya, sudah sana!"
"Mbok!" panggilan dari mama Agni membuat si mbok yang ada di ruang setrika tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.
"Buatkan minuman seperti yang kemaren untuk Hilmi, langsung antarkan ke kamarnya!"
"Baik, Nya."
Hilmi pun melangkah menuju anak tangga, sebelum menaiki tangga, Hilmi menuju dapur terlebih dahulu untuk meletakkan rantang yang dibawanya tadi. Setelah selesai, ia mulai menaiki tangga dan melakukan apa yang di perintahkan mertuanya tadi. Sebelum mandi, Hilmi mengecek ponselnya. Kosong! Tak ada satupun pesan ataupun panggilan tak terjawab dari Arfan maupun yang lainnya.
"Siapa aku bagimu, Mas?" gumamnya seraya menghelat nafas berat.
Hilmi mulai memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa keringat karena aktifitas seharian tadi. Apalagi kejadian ketika di kompleks perumahan miliknya tadi yang sangat menguras keringat.
Selesai mandi, Hilmi menggunakan baju yang sudah disediakan oleh mama Agni yang tersimpan di bagian gantungan. Ia meraih satu dress di atas tanpa lengan berwarna hitam lalu mengenakannya. Kemudian Hilmi menuju meja rias dan mulai memoles wajahnya dengan make up sesuai yang diajarkan oleh ketiga asisten mama Agni. Hilmi berdiri dan menuju kaca panjang yang bisa menampilkan seluruh tubuhnya, ia memandangi lekat lekat dirinya dari pantulan kaca. Sungguh Hilmi merasa ia sudah mirip dengan para wanita yang bekerja di club malam. Beruntungnya dia hanya di sentuh oleh satu lelaki, dan dia dinikahi meski hanya pernikahan siri.
Dua jam sudah Hilmi menunggu Arfan datang, dan Hilmj sudah terkantuk-kantuk sejak tadi, tapi karena mertuanya memerintahkan dirinya untuk tidak tidur dan harus menunggu Arfan, jadilah Hilmi berusaha agar tetap tidak tidur. Bahkan dua cangkir kopi sudah di habiskan oleh Hilmi, tetap saja matanya enggan untuk terbuka. Hingga pada akhirnya Hilmi tertidur di sofa dengan posisi duduk.
Entah jam berapa Arfan tiba di rumah mama Agni, yang jelas saat itu semua orang sudah tertidur bahkan semua lampu sudah di matikan kecuali lampu teras. Mata Arfan pun sudah sangat mengantuk. Jika tidak dihubungi terus menerus oleh mama Agni, sudah pasti saat ini Arfan bermalam di rumah Fika, karena tadi ia masih menghabiskan malam yang indah dengan istri pertamanya tersebut. Arfan sebenarnya sudah tertidur setelah aktifitasnya bersama Fika, tapi dering ponsel yang tak kunjung berhenti membuat Arfan mau tak mau harus pulang ke rumah mama Agni walaupun konsentrasi menyetirnya terpecah karena kantuk yang mendera.
Arfan memasuki kamarnya yang mungkin hanya kamar ini satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Ia mendapati Hilmi yang tertidur di sofa, ingin memindahkan Hilmi ke kasur, tapi rasanya ia sudah tak bertenaga dan sangat mengantuk hingga Arfan mengabaikan Hilmi. Arfan hanya membuka sepatunya dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap dan kesadarannya langsung hilang hanya dalam beberapa detik.
Suara alarm membuat Hilmi perlahan membuka matanya, rasa sakit pada pinggang dan leher mendera membuat Hilmi meringis sambil memijat pelan keduanya. kepalanya terasa begitu berat dengan leher yang sangat kaku seolah tak bisa di gerakkan. Sambil meringis, Hilmi bangkit hendak ke kamar mandi, ia terpaku melihat Arfan yang masih tertidur nyenyak di atas pembaringan.
"Jadi, semalam mas Arfan pulang? Kenapa aku nggak di bangunkan dan justru tetap di biarkan di ...." tak meneruskan kalimatnya, Hilmi membuang nafas kasar berusaha membuang sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya. Seenggak peduli itu Arfan padanya, hingga membiarkan Hilmi tertidur di sofa dengan posisi duduk.
Hilmi melanjutkan niatnya untuk ke kamar mandi, dia mulai membasuh mukanya dan mematut dirinya di cermin.
"Semoga aku segera hamil, agar aku segera terbebas dari rasa sesak ini."
Ingin sekali dirinya tak melibatkan perasaan pada hubungannya dengan Arfan, tapi sayang, ia tak bisa mengendalikan hatinya. Ia tak bisa mengatur hatinya untuk menyukai atau tidak menyukai pada siapa.
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!""Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!""Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?""Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terbagi, hingga ia berpikir untuk memiliki keduanya dan tak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Hati Arfan
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhadapnya. Bukankah perasaan itu tak penting? Bagaimanapun perasaan Hilmi terhadap arfan atau bagaimanapun perasaan Arfan terhadap Hilmi bukankah lebih baik mereka tak saling mengetahui? Karena hubungan mereka tak seserius itu. Mereka h
Wajah Hilmi berubah menjadi mendung setelah mendengar perkataan si Mbok. Bagaimana mungkin dia berusaha dengan maksimal, jika sekarang saja Hilmi dan Arfan sudah bercerai. Hilmi menghembuskan nafas pelan, berusaha agar tak menangis di hadapan si Mbok."Mbok,""Ya, Non?""Mama kapan pulang?""Mungkin sekitar satu jam lagi katanya, Non,""Oh, baiklah, Mbok. Terimakasih minumannya." kata Hilmi sambil mengambil cangkir yang ada di atas nampan."Sama-sama, Non. Kalau begitu Mbok pamit ya,""Iya, Mbok, silahkan!"Setelah si mbok pergi, Hilmi segera masuk kamar dan meletakkan cangkir yang di bawanya ke atas nakas. Seketika rasa bersalah menyeruak hati Hilmi. Hilmi merasa sangat bersalah karena masih belum bisa memberikan cucu kepada mama Agni. Hilmi merasakan sakit dan bersalah dalam waktu yang bersamaan.Dalam tangisan Hilmi yang tergugu, Arfan tiba-tiba masuk membuat Hilmi seketika berhenti menangis dan secepat kilat menghapus air mata di pipinya. Hilmi bangkit dari duduknya dan menuju lem
Saling mencintai bukan berarti bisa membuka pintu untuk hidup bersama. Keduanya disatukan saat tak saling mengenal, dengan hati yang saling menolak. Namun, saat hati keduanya saling mencintai, berpisah adalah jalan yang mereka pilih. Pernikahan yang awalnya keterpaksaan yang terjadi pada Arfan dan Hilmi bukanlah pernikahan yang akhirnya saling jatuh cinta lalu hidup bahagia. Pernikahan mereka terjadi untuk diakhiri. Sekalipun saling mencintai, mereka akhirnya harus berpisah, bahkan berpisah lebih cepat karena rasa cinta yang dirasakan keduanya.Sekalipun mama Agni memohon agar bertahan, tapi Arfan tak ingin hatinya semakin jatuh pada pesona Hilmi. Ia tak ingin menyakiti Fika lebih dalam lagi. Ia ingin hanya Fika satu-satunya wanita dalam hidupnya sekalipun istrinya itu tak bisa memberikan dirinya keturunan."Sayang, sudah siap 'kan semuanya?" tanya Arfan yang saat ini sedang bersiap untuk berangkat liburan.Dua Minggu setelah perceraian Arfan dan Hilmi, Arfan berusaha menyempurnakan k
"Sayang, please, jangan ngomong seperti itu. Aku melakukan semua ini karena aku ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku ingin hanya kamu wanita satu-satunya di hidupku. Aku ingin kamu membantuku menghapus perasaan ini untuk Hilmi. Aku ingin hatiku kembali sadar bahwa kamu dan hanya kamu yang terbaik. Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah meninggalkan kamu."Arfan berusaha meraih Fika, tapi Fika selalu menghindar dan terus menghindar. Wanita mana yang tak sakit hati, dikala dirinya tahu bahwa di hati sang suami sudah timbul bibit-bibit cinta. Memang dia yang salah yang sudah membawa Hilmi ke tengah-tengah rumah tangga mereka, dia salah karena terlalu menyepelekan Hilmi yang menurutnya tak mungkin membuat Arfan jatuh cinta, tapi nyatanya sekarang?? Inikah konsekuensi yang harus diterima oleh Fika karena sudah mempermainkan pernikahannya?"Kenapa? Kenapa kamu mempertahankan aku, Mas? Kenapa kamu memilihku? Sedangkan aku hanya wanita mandul yang tak bisa memberikanmu keturunan. Apa h
"Mbak yakin mau menetap disini? Gak mau pindah gitu ke luar kota?"Entah pertanyaan yang ke berapa kalinya yang dilontarkan Rian kepada Hilmi, yang jelas setiap hari, semenjak satu bulan belakangan Rian tak pernah absen menanyakan tentang keputusan Hilmi yang memilih menetap di kontrakan yang masih satu kota dengan Arfan. Meskipun jaraknya lumayan jauh, tapi kemungkinan bertemu sangat besar mengingat masih berada dalam satu kota. Rian tak ingin Hilmi terus terluka. Rian ingin Hilmi melupakan segala kenangan pahit yang pernah di lalui Hilmi di kota ini."Sudah berapa kali kamu bertanya seperti itu kepada mbak, Dek? Dan jawaban mbak tetap sama. Bukan karena mbak mengharapkan mas Arfan, tapi mbak sudah nyaman disini. Lagian juga dagangan mbak disini laris manis. Banyak yang beli. Kalau pindah tempat, susah lagi cari pelanggan. Kamu juga sudah nyaman 'kan di tempat kerja kamu yang sekarang? kalau pindah lagi, susah lagi buat penyesuaiannya. Apalagi teman-teman kerjamu pada baik semua."Se
"Omaaaa, aku datang!"Seruan seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tiga tahunan membuat mama Agni yang tengah bersantai di ruang keluarga mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan kepalanya ke pintu yang menghubungkan ke ruang tamu, menanti suara langkah kaki mungil yang terdengar semakin mendekat.Setelah sekian detik, seorang bocah perempuan mengenakan gaun putih dengan rambut yang di kepang dua, tak lupa jepit mutiara terpasang di pangkal kedua kepangannya tersebut."Oma kok gak sambut aku sih? Oma gak kangen aku?"Mama Agni masih diliputi kebingungan akan hadirnya bocah perempuan tersebut yang tiba-tiba dan memanggilnya Oma. Padahal ia tak mengenalnya sama sekali. Sesekali mama Agni bergantian memandang bocah tersebut dan pintu berharap seseorang yang membawa bocah itu muncul agar rasa penasarannya terjawab. Namun, yang di tunggu-tunggu tak kunjung datang."Kamu siapa, Cantik?" tanya mama Agni sambil mengusap kepala anak perempuan yang barusan memanggilnya Oma tersebut."Oma gak