Share

9. Menanti Kepulangan Arfan

Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.

Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya.

"Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.

Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?"

"Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin dari kamunya dulu,"

"Wah, ke mana itu?"

"Balikpapan, Mas. Kalau mas ngizinin aku terima, kalau nggak, ya, aku tolak,"

"Memangnya kapan kesananya dan berapa hari?"

"Seminggu lagi. Mungkin sekitar dua mingguan,"

"Mas cek kerjaan dulu, kalau sedikit luang, mas izini sekalian kita liburan ke sana."

"Waaaahh, beneran sayang?" Fika tampak begitu girang mendengar penuturan Arfan, apalagi di tambah pria itu akan ikut dan sekalian mau mengajak dirinya liburan. Siapa yang senang coba?

"Iya, udah lama juga 'kan kita gak liburan?"

"Makasih, Mas,"

"Sama-sama, sayang."

"Mas mandi dulu gih, ntar kita langsung berangkat sekalian kita makan di luar, bajunya sudah aku siapin di kamar,"

"Oke."

Tanpa terasa waktu berjam-jam kini sudah di lewati dengan keseruan dan kemeriahan acara pernikahan teman Fika. Jam 00:32 mereka baru pulang dari acara tersebut. Puluhan panggilan tak terjawab serta chat dari mama Agni menghiasi layar utama pada ponsel keduanya.

"Mas, tak bisakah untuk tetap tinggal?" pinta Fika dengan raut sedihnya.

"Sayang, ini peraturan yang sudah kita sepakati bersama bukan? Aku pun berat harus meninggalkanmu di rumah dengan bibi, tapi jika kita melanggar, kamu tahu sendiri 'kan gimana kerasnya mama?"

"Mas,"

Arfan sungguh tak tega pada Fika, apalagi kini air mata sudah mulai membasahi wajah istrinya tersebut. Arfan membawa Fika kedalam pelukannya.

"Ini hanya sebentar, sayang. Kalau dia sudah hamil, mas tak akan bermalam dengannya lagi,"

*****

"Baguslah kamu datang tepat waktu. Lekas bebersih dan jangan lupa pakai pakaian yang sudah aku siapkan!"

"Baik, Ma."

Baru saja Hilmi memasuki rumah dan mengucapkan salam, dirinya sudah di sambut oleh mama Agni yang tengah duduk di ruang tamu di temani secangkir kopi dan sepiring camilan. Tak lupa sebuah majalah menjadi teman mama Agni bersantai malam ini.

"Oh, ya, tadi Arfan diminta Fika untuk pulang katanya mau minta antar kondangan. Jadi, nanti mungkin agak malam datangnya."

"Iya, Ma,"

"Ya, sudah sana!"

"Mbok!" panggilan dari mama Agni membuat si mbok yang ada di ruang setrika tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.

"Buatkan minuman seperti yang kemaren untuk Hilmi, langsung antarkan ke kamarnya!"

"Baik, Nya."

Hilmi pun melangkah menuju anak tangga, sebelum menaiki tangga, Hilmi menuju dapur terlebih dahulu untuk meletakkan rantang yang dibawanya tadi. Setelah selesai, ia mulai menaiki tangga dan melakukan apa yang di perintahkan mertuanya tadi. Sebelum mandi, Hilmi mengecek ponselnya. Kosong! Tak ada satupun pesan ataupun panggilan tak terjawab dari Arfan maupun yang lainnya.

"Siapa aku bagimu, Mas?" gumamnya seraya menghelat nafas berat.

Hilmi mulai memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa keringat karena aktifitas seharian tadi. Apalagi kejadian ketika di kompleks perumahan miliknya tadi yang sangat menguras keringat.

Selesai mandi, Hilmi menggunakan baju yang sudah disediakan oleh mama Agni yang tersimpan di bagian gantungan. Ia meraih satu dress di atas tanpa lengan berwarna hitam lalu mengenakannya. Kemudian Hilmi menuju meja rias dan mulai memoles wajahnya dengan make up sesuai yang diajarkan oleh ketiga asisten mama Agni. Hilmi berdiri dan menuju kaca panjang yang bisa menampilkan seluruh tubuhnya, ia memandangi lekat lekat dirinya dari pantulan kaca. Sungguh Hilmi merasa ia sudah mirip dengan para wanita yang bekerja di club malam. Beruntungnya dia hanya di sentuh oleh satu lelaki, dan dia dinikahi meski hanya pernikahan siri.

Dua jam sudah Hilmi menunggu Arfan datang, dan Hilmj sudah terkantuk-kantuk sejak tadi, tapi karena mertuanya memerintahkan dirinya untuk tidak tidur dan harus menunggu Arfan, jadilah Hilmi berusaha agar tetap tidak tidur. Bahkan dua cangkir kopi sudah di habiskan oleh Hilmi, tetap saja matanya enggan untuk terbuka. Hingga pada akhirnya Hilmi tertidur di sofa dengan posisi duduk.

Entah jam berapa Arfan tiba di rumah mama Agni, yang jelas saat itu semua orang sudah tertidur bahkan semua lampu sudah di matikan kecuali lampu teras. Mata Arfan pun sudah sangat mengantuk. Jika tidak dihubungi terus menerus oleh mama Agni, sudah pasti saat ini Arfan bermalam di rumah Fika, karena tadi ia masih menghabiskan malam yang indah dengan istri pertamanya tersebut. Arfan sebenarnya sudah tertidur setelah aktifitasnya bersama Fika, tapi dering ponsel yang tak kunjung berhenti membuat Arfan mau tak mau harus pulang ke rumah mama Agni walaupun konsentrasi menyetirnya terpecah karena kantuk yang mendera.

Arfan memasuki kamarnya yang mungkin hanya kamar ini satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Ia mendapati Hilmi yang tertidur di sofa, ingin memindahkan Hilmi ke kasur, tapi rasanya ia sudah tak bertenaga dan sangat mengantuk hingga Arfan mengabaikan Hilmi. Arfan hanya membuka sepatunya dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap dan kesadarannya langsung hilang hanya dalam beberapa detik.

Suara alarm membuat Hilmi perlahan membuka matanya, rasa sakit pada pinggang dan leher mendera membuat Hilmi meringis sambil memijat pelan keduanya. kepalanya terasa begitu berat dengan leher yang sangat kaku seolah tak bisa di gerakkan. Sambil meringis, Hilmi bangkit hendak ke kamar mandi, ia terpaku melihat Arfan yang masih tertidur nyenyak di atas pembaringan.

"Jadi, semalam mas Arfan pulang? Kenapa aku nggak di bangunkan dan justru tetap di biarkan di ...." tak meneruskan kalimatnya, Hilmi membuang nafas kasar berusaha membuang sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya. Seenggak peduli itu Arfan padanya, hingga membiarkan Hilmi tertidur di sofa dengan posisi duduk.

Hilmi melanjutkan niatnya untuk ke kamar mandi, dia mulai membasuh mukanya dan mematut dirinya di cermin.

"Semoga aku segera hamil, agar aku segera terbebas dari rasa sesak ini."

Ingin sekali dirinya tak melibatkan perasaan pada hubungannya dengan Arfan, tapi sayang, ia tak bisa mengendalikan hatinya. Ia tak bisa mengatur hatinya untuk menyukai atau tidak menyukai pada siapa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status