Share

10. Negatif

"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!"

"Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!"

"Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?"

"Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"

Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.

Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi selalu merasakan ketakutan setiap kali di tes. Meskipun ini sudah kali ke tujuh, tapi Hilmi tetap saja takut ketika mendengar serentetan Omelan mama Agni yang membuat mood paginya rusak.

"Ma, kami sudah melakukannya sesuai petunjuk dokter. Kalau Hilmi belum hamil ya berarti belum rezeki, Ma."

"Alaah, mungkin wanita ini memang nggak subur tapi dibilang subur demi dapatkan uang!"

"Ma, bukankah mama sendiri yang membawa Hilmi periksa kesuburan ke dokter?" Arfan tetap berusaha membela Hilmi meskipun ia juga tak sabar memiliki anak.

"Sudahlah, mending kamu ceraikan saja Hilmi dan cari wanita lain yang jelas asal usulnya dan bukan wanita kampungan!"

Sreekkk!! Ada yang tergores tapi bukan tubuh. Ada yang terluka tapi tak berdarah. Ada yang tumbang tapi bukan pohon. Itu adalah hati seorang wanita yang terpaksa menjadi istri kedua.

Bukan Hilmi yang menawarkan diri untuk menjadi istri kedua. Ia hanya ditawari dan di janjikan sejumlah uang sebagai bayaran setimpal. Ya, mungkin memang benar julukan wanita mata duitan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan duit. Sekalipun mulut Hilmi berbusa karena menjelaskan alasannya, tentu mereka tak akan percaya atau pura-pura tak percaya karena mereka hanya mampu melihat tanpa mau memperhatikan.

Kedua mata Arfan membola mendengarkan perkataan mama Agni yang tak dipikirkan terlebih dahulu. Sungguh, Arfan tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mama. Namun, mama Agni seolah tak peduli dan tak melihat bagaimana ekspresi kedua orang dihadapannya ini. Hanya cucu yang mama Agni mau, mau dan mau. Tanpa peduli bahwa Arfan terluka akan perkataannya.

"Ma, mama kira aku lelaki apaan yang harus menjelajahi setiap l*b*ng! Ini saja aku terpaksa melakukannya karena menginginkan seorang keturunan!" Suara Arfan meninggi tanpa disadarinya.

"Kamu meninggikan suaramu pada mama, Arfan? Mama hanya ing ...."

"Cukup, Ma! Lebih baik mama sekarang keluar! Beri kami waktu dua Minggu lagi, kalau belum berhasil juga Arfan sendiri yang akan memutuskan bagaimana kelanjutannya!"

"ARFAN!"

"MA," suara Arfan tak kalah meninggi, lalu setelah menghela nafas Arfan berucap dengan lirih,"please!"

"Ck!"

Sekalipun kesal, mama Agni menuruti permintaan Arfan untuk keluar dari kamar Arfan. Dia berlalu dengan mulut yang tak hentinya mengomel, bahkan sumpah serapah ia ucapkan untuk Hilmi.

Setelah kepergian mama Agni, Hilmi dapat bernafas sedikit lega. Setidaknya mertuanya itu sudah tidak ada dihadapannya lagi.

"Ma ...."

"Sudah, tak perlu lagi dibahas!"

Arfan mengangkat tangannya pertanda meminta hilmi untuk berhenti bicara. Lalu Arfan berlalu begitu saja memasuki kamar mandi tanpa bicara lagi.

Hilmi membuang nafas kasar, lalu menuju lemari untuk menyiapkan keperluan Arfan. Setelah selesai menyiapkan pakaian Arfan, Hilmi memilih keluar dan menuju taman belakang rumah. Disana setidaknya Hilmi bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang rumah, karena kalau pagi hari, tak ada yang ke belakang akibat sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Hilmi harus siap pada kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada hidupnya dua Minggu lagi. Ia harus siap diceraikan dan terusir. Lagian dia sadar bahwa dirinya hanya sebatas figuran yang dianggap ketika dibutuhkan. Lalu ketika si figuran tak bisa memberikan kebutuhan pemeran utama, sudah pasti ia akan disingkirkan tanpa pikir panjang. Beruntung, uang nafkah yang Arfan berikan selama ini dia tabung, sehingga nanti ketika Hilmi terusir, ia masih memiliki pegangan untuk bertahan hidup dan mungkin untuk modal membuka usaha.

Arfan tak mendapati Hilmi di dalam kamar setelah selesai mandi, hanya ada pakaian yang sudah disiapkan Hilmi berada di atas kasur. Lekas Arfan segera bersiap agar tak kesiangan tiba di kantor. Setelah selesai bersiap, Arfan segera menuju ruang makan untuk sarapan, di sana ia juga tak mendapati Hilmi.

"Hilmi mana, Ma?"

"Napa tanya mama? Malu kali dia untuk ketemu kita karena tak kunjung hamil juga."

Tak lagi membahas, Arfan memutuskan melanjutkan sarapannya dan langsung berangkat ke kantor tanpa pamitan kepada Hilmi yang tak diketahui dimana keberadaannya.

Di perjalanan, Arfan tiba-tiba punya ide untuk tak masuk kantor dan memilih pulang ke rumah Fika. Mungkin Di sana ia bisa menenangkan pikirannya dan bisa mencari solusi terbaik.

"Loh, Mas, kok kesini bukan ke kantor?" tanya Fika heran mendapati Arfan pulang kerumahnya disaat jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat.

"Mas kangen kamu, mungkin untuk hari ini mas cuti dulu," ujar Arfan sambil mendudukkan bokongnya di sofa.

Fika menangkap raut tak biasa di wajah Arfan. Ia bisa menebak kalau Arfan saat ini sedang banyak pikiran, dan mungkin itulah alasan kenapa Arfan datang dan memilih cuti dari kantor.

"Ada yang mau kamu ceritain?"

Arfan tersenyum penuh cinta kepada Fika, sedari dulu Fika memang selalu paling mengerti akan dirinya. Fika yang paling memahami kondisinya. Itulah yang membuat Arfan begitu sangat mencintai Fika.

"Kamu memang paling pengertian dan paling memahami, sayang," puji Arfan sambil membawa Fika kedalam dekapannya.

"Jadi, apa yang sudah terjadi hingga membuat suamiku terlihat begitu kusut?"

Arfan pun menceritakan semuanya kepada Fika tentang kejadian tadi pagi. Tak ada yang terlewatkan, Arfan menjelaskan dengan begitu detail. Fika pun menyimak dengan saksama dengan perasaan yang ... entah! Bagaimana mungkin mertuanya segampang itu menyuruh Arfan mencari wanita lain untuk mengandung benihnya, sekalipun dirinya ingin anak dari benih Arfan, tapi tentu saja dirinya tak rela jika sang suami harus menikah lagi untuk yang ke tiga kalinya. Ini saja ia harus mati-matian menahan rasa cemburu demi seorang anak, lalu bagaimana mungkin ia akan mengizinkan Arfan menikahi wanita lain lagi. TIDAK AKAN!

"Menurutku, gak usah menunggu dua minggu lagi, Mas, untuk menentukan langkah selanjutnya,"

"Maksud kamu? Kamu setuju dengan ide gila mama itu?"

"Bukan gitu, Mas. Maksud aku, kamu ceraikan saja Hilmi sekarang tak perlu nunggu dua Minggu lagi. Toh tadi di tes negatif 'kan? Aku memutuskan kita adopsi anak saja di panti asuhan. Mungkin Tuhan memang nggak menakdirkan kita untuk memiliki anak kandung. Lagian Hilmi sudah tak butuh uang bukan, karena adiknya sudah sembuh dan sudah keluar dari rumah sakit. Tentu dia akan senang bebas dari kita. Dia akan bisa mencari kebahagiaannya sendiri. Kita tinggal kasih dia uang, anggap saja gono-gini, sebagai modal untuk dia nanti setelah pisah dari kamu,"

Tentu saja Fika memilih adopsi anak saja, dari pada suaminya harus menikah lagi. Dan tentunya Arfan tak akan membagi waktunya lagi untuk wanita lain. Sepenuhnya waktu Arfan ada untuk dirinya. Tak perlu lagi berbagi suami yang pastinya selalu membuat Fika sakit hati dan cemburu. Sangat jelas bahwa Fika menyesali keputusannya kala itu yang mencarikan istri kedua untuk Arfan. Sekarang, mumpung ada peluang tentu dirinya akan menggunakan kesempatan ini untuk memisahkan Arfan dari Hilmi. Dia sudah kapok dengan rasa sakit dan cemburu karena berbagi suami.

"Bagaimana, Mas?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status