"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!"
"Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!"
"Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?"
"Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"
Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.
Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi selalu merasakan ketakutan setiap kali di tes. Meskipun ini sudah kali ke tujuh, tapi Hilmi tetap saja takut ketika mendengar serentetan Omelan mama Agni yang membuat mood paginya rusak.
"Ma, kami sudah melakukannya sesuai petunjuk dokter. Kalau Hilmi belum hamil ya berarti belum rezeki, Ma."
"Alaah, mungkin wanita ini memang nggak subur tapi dibilang subur demi dapatkan uang!"
"Ma, bukankah mama sendiri yang membawa Hilmi periksa kesuburan ke dokter?" Arfan tetap berusaha membela Hilmi meskipun ia juga tak sabar memiliki anak.
"Sudahlah, mending kamu ceraikan saja Hilmi dan cari wanita lain yang jelas asal usulnya dan bukan wanita kampungan!"
Sreekkk!! Ada yang tergores tapi bukan tubuh. Ada yang terluka tapi tak berdarah. Ada yang tumbang tapi bukan pohon. Itu adalah hati seorang wanita yang terpaksa menjadi istri kedua.
Bukan Hilmi yang menawarkan diri untuk menjadi istri kedua. Ia hanya ditawari dan di janjikan sejumlah uang sebagai bayaran setimpal. Ya, mungkin memang benar julukan wanita mata duitan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan duit. Sekalipun mulut Hilmi berbusa karena menjelaskan alasannya, tentu mereka tak akan percaya atau pura-pura tak percaya karena mereka hanya mampu melihat tanpa mau memperhatikan.
Kedua mata Arfan membola mendengarkan perkataan mama Agni yang tak dipikirkan terlebih dahulu. Sungguh, Arfan tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mama. Namun, mama Agni seolah tak peduli dan tak melihat bagaimana ekspresi kedua orang dihadapannya ini. Hanya cucu yang mama Agni mau, mau dan mau. Tanpa peduli bahwa Arfan terluka akan perkataannya.
"Ma, mama kira aku lelaki apaan yang harus menjelajahi setiap l*b*ng! Ini saja aku terpaksa melakukannya karena menginginkan seorang keturunan!" Suara Arfan meninggi tanpa disadarinya.
"Kamu meninggikan suaramu pada mama, Arfan? Mama hanya ing ...."
"Cukup, Ma! Lebih baik mama sekarang keluar! Beri kami waktu dua Minggu lagi, kalau belum berhasil juga Arfan sendiri yang akan memutuskan bagaimana kelanjutannya!"
"ARFAN!"
"MA," suara Arfan tak kalah meninggi, lalu setelah menghela nafas Arfan berucap dengan lirih,"please!"
"Ck!"
Sekalipun kesal, mama Agni menuruti permintaan Arfan untuk keluar dari kamar Arfan. Dia berlalu dengan mulut yang tak hentinya mengomel, bahkan sumpah serapah ia ucapkan untuk Hilmi.
Setelah kepergian mama Agni, Hilmi dapat bernafas sedikit lega. Setidaknya mertuanya itu sudah tidak ada dihadapannya lagi.
"Ma ...."
"Sudah, tak perlu lagi dibahas!"
Arfan mengangkat tangannya pertanda meminta hilmi untuk berhenti bicara. Lalu Arfan berlalu begitu saja memasuki kamar mandi tanpa bicara lagi.
Hilmi membuang nafas kasar, lalu menuju lemari untuk menyiapkan keperluan Arfan. Setelah selesai menyiapkan pakaian Arfan, Hilmi memilih keluar dan menuju taman belakang rumah. Disana setidaknya Hilmi bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang rumah, karena kalau pagi hari, tak ada yang ke belakang akibat sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Hilmi harus siap pada kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada hidupnya dua Minggu lagi. Ia harus siap diceraikan dan terusir. Lagian dia sadar bahwa dirinya hanya sebatas figuran yang dianggap ketika dibutuhkan. Lalu ketika si figuran tak bisa memberikan kebutuhan pemeran utama, sudah pasti ia akan disingkirkan tanpa pikir panjang. Beruntung, uang nafkah yang Arfan berikan selama ini dia tabung, sehingga nanti ketika Hilmi terusir, ia masih memiliki pegangan untuk bertahan hidup dan mungkin untuk modal membuka usaha.
Arfan tak mendapati Hilmi di dalam kamar setelah selesai mandi, hanya ada pakaian yang sudah disiapkan Hilmi berada di atas kasur. Lekas Arfan segera bersiap agar tak kesiangan tiba di kantor. Setelah selesai bersiap, Arfan segera menuju ruang makan untuk sarapan, di sana ia juga tak mendapati Hilmi.
"Hilmi mana, Ma?"
"Napa tanya mama? Malu kali dia untuk ketemu kita karena tak kunjung hamil juga."
Tak lagi membahas, Arfan memutuskan melanjutkan sarapannya dan langsung berangkat ke kantor tanpa pamitan kepada Hilmi yang tak diketahui dimana keberadaannya.
Di perjalanan, Arfan tiba-tiba punya ide untuk tak masuk kantor dan memilih pulang ke rumah Fika. Mungkin Di sana ia bisa menenangkan pikirannya dan bisa mencari solusi terbaik.
"Loh, Mas, kok kesini bukan ke kantor?" tanya Fika heran mendapati Arfan pulang kerumahnya disaat jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat.
"Mas kangen kamu, mungkin untuk hari ini mas cuti dulu," ujar Arfan sambil mendudukkan bokongnya di sofa.
Fika menangkap raut tak biasa di wajah Arfan. Ia bisa menebak kalau Arfan saat ini sedang banyak pikiran, dan mungkin itulah alasan kenapa Arfan datang dan memilih cuti dari kantor.
"Ada yang mau kamu ceritain?"
Arfan tersenyum penuh cinta kepada Fika, sedari dulu Fika memang selalu paling mengerti akan dirinya. Fika yang paling memahami kondisinya. Itulah yang membuat Arfan begitu sangat mencintai Fika.
"Kamu memang paling pengertian dan paling memahami, sayang," puji Arfan sambil membawa Fika kedalam dekapannya.
"Jadi, apa yang sudah terjadi hingga membuat suamiku terlihat begitu kusut?"
Arfan pun menceritakan semuanya kepada Fika tentang kejadian tadi pagi. Tak ada yang terlewatkan, Arfan menjelaskan dengan begitu detail. Fika pun menyimak dengan saksama dengan perasaan yang ... entah! Bagaimana mungkin mertuanya segampang itu menyuruh Arfan mencari wanita lain untuk mengandung benihnya, sekalipun dirinya ingin anak dari benih Arfan, tapi tentu saja dirinya tak rela jika sang suami harus menikah lagi untuk yang ke tiga kalinya. Ini saja ia harus mati-matian menahan rasa cemburu demi seorang anak, lalu bagaimana mungkin ia akan mengizinkan Arfan menikahi wanita lain lagi. TIDAK AKAN!
"Menurutku, gak usah menunggu dua minggu lagi, Mas, untuk menentukan langkah selanjutnya,"
"Maksud kamu? Kamu setuju dengan ide gila mama itu?"
"Bukan gitu, Mas. Maksud aku, kamu ceraikan saja Hilmi sekarang tak perlu nunggu dua Minggu lagi. Toh tadi di tes negatif 'kan? Aku memutuskan kita adopsi anak saja di panti asuhan. Mungkin Tuhan memang nggak menakdirkan kita untuk memiliki anak kandung. Lagian Hilmi sudah tak butuh uang bukan, karena adiknya sudah sembuh dan sudah keluar dari rumah sakit. Tentu dia akan senang bebas dari kita. Dia akan bisa mencari kebahagiaannya sendiri. Kita tinggal kasih dia uang, anggap saja gono-gini, sebagai modal untuk dia nanti setelah pisah dari kamu,"
Tentu saja Fika memilih adopsi anak saja, dari pada suaminya harus menikah lagi. Dan tentunya Arfan tak akan membagi waktunya lagi untuk wanita lain. Sepenuhnya waktu Arfan ada untuk dirinya. Tak perlu lagi berbagi suami yang pastinya selalu membuat Fika sakit hati dan cemburu. Sangat jelas bahwa Fika menyesali keputusannya kala itu yang mencarikan istri kedua untuk Arfan. Sekarang, mumpung ada peluang tentu dirinya akan menggunakan kesempatan ini untuk memisahkan Arfan dari Hilmi. Dia sudah kapok dengan rasa sakit dan cemburu karena berbagi suami.
"Bagaimana, Mas?"
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terbagi, hingga ia berpikir untuk memiliki keduanya dan tak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Hati Arfan
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhadapnya. Bukankah perasaan itu tak penting? Bagaimanapun perasaan Hilmi terhadap arfan atau bagaimanapun perasaan Arfan terhadap Hilmi bukankah lebih baik mereka tak saling mengetahui? Karena hubungan mereka tak seserius itu. Mereka h
Wajah Hilmi berubah menjadi mendung setelah mendengar perkataan si Mbok. Bagaimana mungkin dia berusaha dengan maksimal, jika sekarang saja Hilmi dan Arfan sudah bercerai. Hilmi menghembuskan nafas pelan, berusaha agar tak menangis di hadapan si Mbok."Mbok,""Ya, Non?""Mama kapan pulang?""Mungkin sekitar satu jam lagi katanya, Non,""Oh, baiklah, Mbok. Terimakasih minumannya." kata Hilmi sambil mengambil cangkir yang ada di atas nampan."Sama-sama, Non. Kalau begitu Mbok pamit ya,""Iya, Mbok, silahkan!"Setelah si mbok pergi, Hilmi segera masuk kamar dan meletakkan cangkir yang di bawanya ke atas nakas. Seketika rasa bersalah menyeruak hati Hilmi. Hilmi merasa sangat bersalah karena masih belum bisa memberikan cucu kepada mama Agni. Hilmi merasakan sakit dan bersalah dalam waktu yang bersamaan.Dalam tangisan Hilmi yang tergugu, Arfan tiba-tiba masuk membuat Hilmi seketika berhenti menangis dan secepat kilat menghapus air mata di pipinya. Hilmi bangkit dari duduknya dan menuju lem
Saling mencintai bukan berarti bisa membuka pintu untuk hidup bersama. Keduanya disatukan saat tak saling mengenal, dengan hati yang saling menolak. Namun, saat hati keduanya saling mencintai, berpisah adalah jalan yang mereka pilih. Pernikahan yang awalnya keterpaksaan yang terjadi pada Arfan dan Hilmi bukanlah pernikahan yang akhirnya saling jatuh cinta lalu hidup bahagia. Pernikahan mereka terjadi untuk diakhiri. Sekalipun saling mencintai, mereka akhirnya harus berpisah, bahkan berpisah lebih cepat karena rasa cinta yang dirasakan keduanya.Sekalipun mama Agni memohon agar bertahan, tapi Arfan tak ingin hatinya semakin jatuh pada pesona Hilmi. Ia tak ingin menyakiti Fika lebih dalam lagi. Ia ingin hanya Fika satu-satunya wanita dalam hidupnya sekalipun istrinya itu tak bisa memberikan dirinya keturunan."Sayang, sudah siap 'kan semuanya?" tanya Arfan yang saat ini sedang bersiap untuk berangkat liburan.Dua Minggu setelah perceraian Arfan dan Hilmi, Arfan berusaha menyempurnakan k
"Sayang, please, jangan ngomong seperti itu. Aku melakukan semua ini karena aku ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku ingin hanya kamu wanita satu-satunya di hidupku. Aku ingin kamu membantuku menghapus perasaan ini untuk Hilmi. Aku ingin hatiku kembali sadar bahwa kamu dan hanya kamu yang terbaik. Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah meninggalkan kamu."Arfan berusaha meraih Fika, tapi Fika selalu menghindar dan terus menghindar. Wanita mana yang tak sakit hati, dikala dirinya tahu bahwa di hati sang suami sudah timbul bibit-bibit cinta. Memang dia yang salah yang sudah membawa Hilmi ke tengah-tengah rumah tangga mereka, dia salah karena terlalu menyepelekan Hilmi yang menurutnya tak mungkin membuat Arfan jatuh cinta, tapi nyatanya sekarang?? Inikah konsekuensi yang harus diterima oleh Fika karena sudah mempermainkan pernikahannya?"Kenapa? Kenapa kamu mempertahankan aku, Mas? Kenapa kamu memilihku? Sedangkan aku hanya wanita mandul yang tak bisa memberikanmu keturunan. Apa h
"Mbak yakin mau menetap disini? Gak mau pindah gitu ke luar kota?"Entah pertanyaan yang ke berapa kalinya yang dilontarkan Rian kepada Hilmi, yang jelas setiap hari, semenjak satu bulan belakangan Rian tak pernah absen menanyakan tentang keputusan Hilmi yang memilih menetap di kontrakan yang masih satu kota dengan Arfan. Meskipun jaraknya lumayan jauh, tapi kemungkinan bertemu sangat besar mengingat masih berada dalam satu kota. Rian tak ingin Hilmi terus terluka. Rian ingin Hilmi melupakan segala kenangan pahit yang pernah di lalui Hilmi di kota ini."Sudah berapa kali kamu bertanya seperti itu kepada mbak, Dek? Dan jawaban mbak tetap sama. Bukan karena mbak mengharapkan mas Arfan, tapi mbak sudah nyaman disini. Lagian juga dagangan mbak disini laris manis. Banyak yang beli. Kalau pindah tempat, susah lagi cari pelanggan. Kamu juga sudah nyaman 'kan di tempat kerja kamu yang sekarang? kalau pindah lagi, susah lagi buat penyesuaiannya. Apalagi teman-teman kerjamu pada baik semua."Se
"Omaaaa, aku datang!"Seruan seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tiga tahunan membuat mama Agni yang tengah bersantai di ruang keluarga mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan kepalanya ke pintu yang menghubungkan ke ruang tamu, menanti suara langkah kaki mungil yang terdengar semakin mendekat.Setelah sekian detik, seorang bocah perempuan mengenakan gaun putih dengan rambut yang di kepang dua, tak lupa jepit mutiara terpasang di pangkal kedua kepangannya tersebut."Oma kok gak sambut aku sih? Oma gak kangen aku?"Mama Agni masih diliputi kebingungan akan hadirnya bocah perempuan tersebut yang tiba-tiba dan memanggilnya Oma. Padahal ia tak mengenalnya sama sekali. Sesekali mama Agni bergantian memandang bocah tersebut dan pintu berharap seseorang yang membawa bocah itu muncul agar rasa penasarannya terjawab. Namun, yang di tunggu-tunggu tak kunjung datang."Kamu siapa, Cantik?" tanya mama Agni sambil mengusap kepala anak perempuan yang barusan memanggilnya Oma tersebut."Oma gak
Kini mama Agni dan Hilmi sudah berada di sebuah restoran cepat saji yang kemungkinan besar tal ada yang mengenal mams Agni.Hilmi terpaksa mengiyakan permintaan mana Agni, dan tentu nanti setelah ia pulang, Hilmi harus siap dengan segala pertanyaan yang akan diajukan ibu-ibu tadi tentang siapa mama Agni."Kamu hamil?"Pertanyaan mama Agni membuat kedua pupil Hilmi melebar. Apa maksud dari pertanyaan mantan mertuanya tersebut?"Maksud mama?""Apa sekarang kamu sudah hamil?""Kenapa mama bertanya itu kepadaku, bahkan sudah sebulan lebih saya dan mas Arfan berpisah,""Aku tahu, tapi bukankah malam terakhir waktu itu kalian masih melakukannya?"Memori Hilmi kembali berputar pada malam disaat dia dan Arfan melakukan itu, dan ketika paginya dirinya yang di marahi oleh mama Agni karena hasil tes yang lagi-lagi negatif. Hingga malamnya Arfan memutuskan untuk menceraikan dirinya hanya karena tak mau rasa cinta arfan padanya semakin besar.Luka yang berusaha di sembuhkan oleh Hilmi, kini kembal