Share

8. Diusir

"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?"

"Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?"

"Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?"

"Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!"

"Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"

Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?

"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"

Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba muncul membelah kerumunan. Senyum sinis serta raut penuh kebencian di tunjukkannya kepada Hilmi.

Hilmi tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pikirannya terasa bleng tak tahu harus bagaimana. Sekalipun Hilmi berusaha menjelaskan, tentu ia akan tetap di salahkan dan tetap di nilai sebagai wanita murahan dan pelakor.

"Sudah, tak usah banyak pikir! Usir ajah dia dari sini. Jangan sampai suami ibu-ibu di goda juga olehnya. Ayo mumpung ada orangnya, kita keluarkan barang-barang miliknya dari rumah reotnya ini!"

Hilmi menggeleng, jangan, jangan usir Hilmi dari sini, dari rumah peninggalan kedua orang tuanya ini. Dimana dia akan tinggal disaat masa kontraknya sudah habis? Sungguh, Hilmi tak habis pikir pada wanita yang sedari dulu tak menyukainya tersebut tanpa alasan yang jelas. Kenapa dia menghasut warga untuk mengusir Hilmi dari rumahnya sendiri.

"Tolong, jangan usir saya dari sini ibu-ibu! Dimana saya akan tinggal jika saya di usir? Hanya ini peninggalan orang tua saya satu-satunya. Saya mohon jangan usir saya dari rumah saya sendiri. Saya tak akan mengganggu kalian, sungguh!" Dengan mengatupkan tangan di depan dada serta air mata yang kian berderai, Hilmi memohon agar warga tak mengusirnya dari satu-satunya harta yang dia miliki.

"Halah, gak usah drama! Air mata kadalmu itu tak mampu membuat hati kami iba, justru kami semakin jijik padamu! Ayo, kita segera bereskan barang wanita jalang ini agar tak lama-lama disini!" salah seorang ibu-ibu membentak Hilmi sambil menarik rambut Hilmi dan menyeretnya menjauhi pintu.

"Ampun! Sakit Mpok!"

"Makanya jangan ngelawan!"

Ibu-ibu mulai masuk dan mengobrak-abrik rumah milik Hilmi yang memang tak memilki barang berharga.

"Tolong jangan keluarkan barang-barang saya!"

"Jangan ngelawan!" Mpok Adin semakin mengeratkan pegangannya pada rambut Hilmi sehingga membuat wanita yang tak berdaya itu meringis kesakitan.

"Ba-baiklah, saya akan pergi dari sini, tapi tolong jangan keluarkan barang-barang saya. Saya janji besok akan menjemputnya dan membereskannya sendiri. Saya janji! saat ini ijinkan saya mengambil pakaian adik saya dan pergi dari sini. Adik saya sedang di rawat di rumah sakit dan baru sadar tadi pagi dari komanya."

Mungkin memang beginilah takdir Hilmi, harus selalu mengatakan iya atas kehendak orang lain tanpa bisa memilih bagaimana dan seperti apa yang diinginkannya sendiri.

Pasrah, itulah jalan satu-satunya yang mampu di pilih Hilmi. Tak ada waktu untuk mendebat. Tak ada celah untuk melawan.

"Baguslah kalau gitu. Jadi kita nggak usah repot-repot nyentuh barang-barang menjijikkan miliknya. Awas kalau besok nggak di beresin, kita akan bakar sekalian sama rumahnya!" Nia lagi-lagi menjadi pemandu dalam acara pengusiran tersebut.

Hilmi menatap marah pada Nia. Sungguh jika tidak ingin segera menemui adiknya di rumah sakit, Hilmi pasti sudah melawan bahkan ingin sekali menampol mulut wanita dihadapannya ini.

"Semoga Tuhan membalas semua yang kau lakukan padaku, Nia!" gumam Hilmi saat dirinya melewati Nia.

Hilmi gegas mengambil beberapa helai pakaian milik Rian. Kondisi di dalam rumahnya sudah berantakan, tapi Hilmi tak ada waktu untuk membereskannya. Setelah selesai dengan urusannya, Hilmi pun meninggalkan rumah orang tuanya tak lupa ia mengunci pintu agar barang-barang di dalam tetap aman meskipun tak ada barang berharga di dalamnya.

Wanita yang bernama Nia itu merasa sangat puas akan apa yang terjadi pada Hilmi, wanita yang dianggapnya sebagai saingan karena Hilmi lebih cantik dari dirinya. Pun lelaki impiannya memiliki rasa terhadap Hilmi. Tak sia-sia Nia mencari tahu kemana Hilmi selama ini. Tak sia-sia ia menjadi penguntit selama beberapa bulan belakangan, meksipun tidak setiap hari. Nia tahu semuanya, tentang Hilmi yang terpaksa menikah untuk memberikan keturunan kepada sepasang suami istri, dengan imbalan biaya pengobatan untuk adik Hilmi. Namun, dengan akal liciknya ia mengatakan bahwa Hilmi jadi pelakor karena tak kuat hidup susah. Foto-foto pun turut serta di perlihatkan Nia kepada warga agar mereka percaya. Foto-foto yang Nia tunjukkan benar adanya, tapi berita yang ia sampaikan merupakan fitnah yang sudah berhasil merusak nama baik serta citra Hilmi yang di kenal sebagai wanita baik-baik. Sehingga warga setuju untuk mengusir Hilmi dari kampung mereka.

****

"Re," panggil Hilmi ketika tiba di ruang rawat sang adik. Hilmi melihat adiknya tengah tidur miring menghadap ke arah pintu.

"Mbak,"

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Dek. Mbak seneng banget, setelah hampir lima bulan kamu tidur, akhirnya bangun juga. Ada yang sakit nggak?"

"Nggak, Mbak. Cuma rasanya badan agak kaku,"

"Syukurlah kalau gitu. Ini mbak udah masakin makanan kesukaan kamu, mbak suapi ya?"

Hilmi menaikkan brankar bagian depan, agar posisi Rian bisa menyandar dengan enak. Lalu Hilmi membuka rantang dan mulai menyuapi Rian. Ada rasa haru di hati Hilmi bisa kembali menyuapi sang adik, setelah sekian bulan Rian hanya terbaring koma di atas brankar rumah sakit.

"Mbak, apa benar aku koma selama hampir lima bulan? Soalnya aku rasanya nggak percaya kalau aku nggak sadar selama itu. Rasanya baru kemaren aku yang tertabrak."

"Benar, Dek. Mbak seneng banget kamu udah sadar. Mbak takut kamu pergi ninggalin mbak sendirian. Mbak hanya punya kamu, Re. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesembuhan untuk kamu."

"Lalu, bagaimana biaya rumah sakit ini, Mbak? Tentunya mbak pasti sangat kerepotan memikirkan biaya pengobatanku?"

"Tak usah kamu pikirkan masalah biaya, itu urusan mbak. Kamu cukup fokus pada kesembuhan kamu agar kita bisa bersama-sama lagi,"

"Tapi, Mbak, biaya rumah sakit tentu tidaklah murah. Apalagi sudah berbulan-bulan. Bagaimana caranya mbak bayar? Apa aku lebih baik keluar saja dari sini, dan aku akan bekerja untuk melunasi biaya pengobatanku. Semoga saja dokter mengizinkan kita untuk menyicil biaya pengobatanku,"

"Dek, kamu tenang ya. Kamu nggak usah pikirin masalah biaya. Mbak sudah mengurus semuanya. Biaya pengobatan kamu sudah di lunasi,"

"Dari mana mbak dapat uang sebanyak itu?"

"Mbak kerja, ya mbak kerja jadi art. Alhamdulillah majikan mbak baik banget mau ngasih pinjaman kepada mbak."

'Maafkan mbak sudah membohongimu, Dek. Mbak gak mau kamu kepikiran.'

Tiba-tiba Hilmi teringat akan dirinya yang sudah di usir dari rumahnya. Dimana adiknya akan tinggal ketika sudah keluar dari rumah sakit? Tak mungkin Hilmi membawa Rian tinggal bersamanya di rumah mama Agni. Jika di tempatkan di kontrakan, bagaimana dengan makannya? Selama ini Hilmi yang selalu memasak. Tak mungkin juga pagi sore Hilmi keluar rumah untuk mengantarkan makanan untuk adiknya. Jika tak ada keperluan, enggan rasanya Hilmi keluar rumah karena pasti akan bertemu dengan tetangga yang akan bersikap sinis kepadanya.

Tak terasa matahari sudah mulai terbenam dan tergantikan bulan yang menyinari bumi. Tak tega rasanya untuk meninggalkan Rian seorang diri, tapi jika tak pulang maka ia akan kena semprot oleh mama Agni. Bahkan sedari tadi, handphonenya tiada henti berdering.

"Dek, maaf ya, mbak harus pulang. Mbak gak bisa nemenin kamu malam ini,"

"Gak apa-apa, Mbak. Ada suster yang menjagaku. Lagian gak enak juga sama majikan mbak kalau mbak gak pulang. Sudah syukur dari siang mbak sudah diizinin nemenin aku disini."

Sesungguhnya Rian tak ingin di tinggalkan oleh Hilmi. Ia ingin sang kakak berada disini menemaninya. Namun, ia sadar diri dan harus mengizinkan Hilmi pulang. Mbaknya sudah banyak berkorban untuk dirinya. Rian tak ingin menyusahkan Hilmi lebih banyak lagi dengan meminta Hilmi untuk tetap tinggal. Rian pun takut Hilmi dimarahi oleh majikannya dan berimbas dengan pemecatan dan menagih semua biaya rumah sakit yang sudah dipinjamkan oleh majikan Hilmi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status