Share

7. Bangun Dari Tidur Panjang

Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun.

"Sudah bangun?"

Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya.

"Ma-mas,"

"Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya.

"Ng-nggak papa,"

"Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya.

"Mas, sebaiknya mas cepat ganti baju dan segera keluar dari sini, aku mau ke kamar mandi!"

"Kalau mau ke kamar mandi, ya, ke kamar mandi saja sana, kenapa aku harus keluar?"

"Maaaas, ih! Aku malu, cepetan keluar aku gak tahan mau pipis!"

"Ngapain malu, sih. Kan aku sudah lihat semuanya bahkan aku sudah merasakannya."

"Masssss!!!"

"Yakin bisa jalan sendiri ke kamar mandi? Bukannya itunya sakit ya, kan yang pertama buat kamu? Mau aku gendong sekalian aku mandikan?"

"Astagfirullah,Mas Arfaaaaaaannnn!!!!"

Jika Hilmi terbangun dengan senyum malu-malu karena godaan dari Arfan, berbeda dengan Fika yang baru terbangun saat mentari susah merangkak naik, matanya terlihat bengkak pertanda ia habis menangis dan dalam waktu yang lama. Semalaman setelah Fika pulang dari berkumpul dengan teman-temannya, ia tak bisa lagi untuk mengalihkan pikirannya dari Arfan. Ia yang memang memilki rasa cemburu yang begitu besar, tak bisa menampik pikirannya yang membayangkan hal apa yang dilakukan suaminya dengan madunya tadi malam.

Semalaman Fika tak bisa tidur karena pikirannya selalu berpusat pada Arfan dan Hilmi. Fika meringkuk di atas pembaringan suara tangis yang lirih serta sesenggukan.

Fika bangkit dari pembaringan dan langsung masuk ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian dia keluar kamar dengan menggunakan kimono handuk. Mata yang tadi begitu bengkak kini mulai mereda meskipun masih terlihat begitu jelas dengan sekali pandang. Ia menuju walk in closed untuk berganti pakaian. Setelahnya ia menuju meja rias dan memperhatikan wajahnya dengan begitu saksama. Fika mengambil skincare lalu mengusapkannya ke wajahnya, dengan beberapa alat make up kini wajahnya sudah terlihat lebih fresh. Setelah selesai dengan segala peralatan make up nya, Fika gegas mengambil tas selempang serta kunci mobil.

"Have fun for me!" gumamnya sambil melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.

Fika saat ini berencana pergi ke sebuah tempat wisata guna untuk menenangkan pikirannya yang sedari tadi malam selalu memikirkan Arfan. Sebelum jam dua nanti ia ada pemotretan, Fika harus menjernihkan pikirannya terlebih dahulu agar nanti ia bisa berkonsentrasi dalam menjalani tugasnya.

Ponsel Fika yang terletak di dalam tas Selempangnya berdering membuat Fika menepikan mobilnya sejenak karena tasnya terletak di kursi samping.

"Ya, ada apa?" tanyanya langsung setelah menggeser panel hijau pada layar.

"Maaf, Bu. Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan kalau pasien atas nama Rian Anggara sudah siuman!"

"Baik, Sus. Terimakasih infonya, sebentar lagi saya kesitu!"

"Baik, Bu. Sampai jumpa!"

Niat awal yang ingin pergi ke tempat hiburan di urungkan, karena Fika memilih pergi ke rumah sakit tempat adik Hilmi di rawat. Hembusan nafas lega begitu terdengar jelas pertanda ia merasa begitu lega karena Rian sudah siuman setelah sebelumnya mengalami koma selama beberapa bulan. Fika tak hanya membiayai pengobatan Rian, tapi ia juga sering datang diam-diam ke rumah sakit untuk menjenguk Rian. Ia begitu prihatin pada Rian dan Hilmi yang tak memilki keluarga sama sekali. Meskipun begitu, tak Fika tunjukkan kepeduliannya ini di hadapan orang-orang terutama Hilmi, karena egonya terlalu besar untuk bersikap baik kepada wanita yang di pilihnya sebagai istri kedua sang suami, juga wanita yang membuat Fika merasa begitu cemburu.

Sebelum turun dari mobil, tak lupa Fika menggunakan masker terlebih dahulu. Selain untuk melindungi dai virus, ia juga ingin orang-orang tak mengenali dirinya. Setelah sampai pada ruang rawat Rian, Fika segera masuk dan menghampiri Rian yang terbaring dengan wajah terpejam.

"Pasien saat ini sedang istirahat, Bu. Setelah tadi tak hentinya mencari kakak perempuannya."

"Baik, Sus. Bagaimana kondisi Rian? Apakah dia sudah baik-baik saja?"

"Menurut pemeriksaan dokter tadi, Kondisinya sudah semakin membaik dan jika kedepannya semakin membaik, mungkin tiga hari lagi sudah boleh pulang."

"Oh, syukurlah kalau begitu."

Setelahnya suster pergi meninggalkan Fika di dalam ruang rawat Rian. Fika mendekat, ia hanya menatap lekat wajah remaja lelaki yang di perjuangkan hidupnya setengah mati oleh Hilmi. Fika tak berkata, ia hanya diam dan terus menatap lekat Rian yang tertidur setelah di beri obat oleh dokter. Lama ia memandangi Rian, Fika memutuskan untuk pergi, tapi sebelum dirinya pergi, Fika mendekat dan sedikit membungkukkan badannya.

"Cepatlah sehat, jangan sia-siakan pengorbanan kakakmu!"

****

Kabar kalau Rian sudah sadar dari koma menjadi berita paling membahagiakan bagi Hilmi. Ia teramat sangat bahagia, karena satu-satunya keluarga yang dimilikinya sudah sembuh, sudah kembali dari tidur panjangnya selama beberapa bulan ini.

Sebelum berangkat ke rumah sakit, Hilmi menyempatkan diri untuk memasak makanan kesukaan sang adik, yaitu tumis kangkung dan pepes ikan tongkol. Setelah selesai memasak, Hilmi pamit pada Arfan untuk mengunjungi adiknya yang sudah siuman. Tak lupa ia juga pamitan kepada mama mertuanya yang kebetulan pagi ini masih ada di rumah.

"Ngapain bawa tas besar seperti itu?" tanya mama Agni melihat tas yang berukuran lumayan besar yang di tenteng oleh Hilmi.

"Ini buat ngisi pakaian adik saya, Ma. Juga ada pakaian ganti milik saya,"

"Kenapa harus bawa pakaian ganti segala kamu?"

"Saya mau nginep di rumah sakit, Ma. Kasihan Rian kalau sendirian pas malam,"

"Mau nginep? Ngapain kamu pakai nginep di rumah sakit segala? Kamu lupa biaya pengobatan adikmu itu dari mana asalnya? Kamu lupa tujuan kamu menikah dengan putraku? Nggak ada acara nginep segala. Kapan jadinya cucuku kalau kamu hanya sekali melakukannya dengan Arfan!"

"Tapi, Ma ...."

Jika Hilmi tak menginap, siapa yang akan menjaga Rian? Siapa yang akan menyiapkan segala kebutuhan adiknya tersebut? Kalau tengah malam adiknya butuh sesuatu siapa yang akan membantunya? Rian dan dirinya tak punya keluarga satupun, tak ada yang bisa dimintai tolong. Meskipun ada suster, suster hanya sesekali mengecek Rian, tak mungkin selalu menemani adiknya tersebut.

"Nggak ada tapi tapian, pokoknya sebelum jam tujuh kamu sudah ada di rumah!"

Ingin sekali Hilmi membantah, tapi apa daya, dirinya tak punya kuasa untuk membantah apapun yang di katakan oleh mama mertuanya. Dengan terpaksa, Hilmi menganggukkan kepalanya meskipun air mata sudah mengajak sungai di pelupuk matanya.

"Ya, sudah, sana! Ingat sebelum jam tujuh kamu sudah harus pulang!"

"Iya, Ma."

Hilmi segera keluar dari rumah mewah, tapi terasa penjara tersebut. Ia segera memasuki taksi yang sudah di pesannya tadi.

Sebuah pesan wa masuk ke ponsel Hilmi dari suaminya.

(Turuti saja apa kata mama, mama benar, agar kamu segera hamil dan segera memberikan cucu untuk mama. Sepulang kerja aku langsung jemput kamu. Hati-hati di jalan.)

Senyum miris tersungging di bibir Hilmi. Baru Lima menit dirinya keluar, mama mertuanya sudah mengadukan apa yang baru saja mereka perbincangkan kepada Arfan. Dan Arfan membenarkan apa perkataan mama Agni tanpa peduli perasaannya.

Aku sadari posisiku..

Aku sadari siapa diriku di matamu..

Aku sadari bahwa tak setiap saat kau mengingatku..

Aku sadar, bahwa aku hanya sebatas figuran..

Kau hanya mengingatku saat kau butuh dalam kesusahanmu..

Dan engkau melupakanku dalam bahagiamu..

Tak apa..

Tak usah pikirkan rasa sakitku..

Ah, benarkah kau memikirkan perasaanku? Terlalu percaya diri sekali diriku ini..

Seharusnya aku mengatakan, tak perlu ku kisahkan padamu tentang kesakitan ku..

Tak usah ku jadikan story' agar kau tau lukaku..

Aku hanya harus diam, harus ada saat kau butuh dan harus terbiasa pada setiap luka yang kau gores....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status