Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun.
"Sudah bangun?"
Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya.
"Ma-mas,"
"Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya.
"Ng-nggak papa,"
"Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya.
"Mas, sebaiknya mas cepat ganti baju dan segera keluar dari sini, aku mau ke kamar mandi!"
"Kalau mau ke kamar mandi, ya, ke kamar mandi saja sana, kenapa aku harus keluar?"
"Maaaas, ih! Aku malu, cepetan keluar aku gak tahan mau pipis!"
"Ngapain malu, sih. Kan aku sudah lihat semuanya bahkan aku sudah merasakannya."
"Masssss!!!"
"Yakin bisa jalan sendiri ke kamar mandi? Bukannya itunya sakit ya, kan yang pertama buat kamu? Mau aku gendong sekalian aku mandikan?"
"Astagfirullah,Mas Arfaaaaaaannnn!!!!"
Jika Hilmi terbangun dengan senyum malu-malu karena godaan dari Arfan, berbeda dengan Fika yang baru terbangun saat mentari susah merangkak naik, matanya terlihat bengkak pertanda ia habis menangis dan dalam waktu yang lama. Semalaman setelah Fika pulang dari berkumpul dengan teman-temannya, ia tak bisa lagi untuk mengalihkan pikirannya dari Arfan. Ia yang memang memilki rasa cemburu yang begitu besar, tak bisa menampik pikirannya yang membayangkan hal apa yang dilakukan suaminya dengan madunya tadi malam.
Semalaman Fika tak bisa tidur karena pikirannya selalu berpusat pada Arfan dan Hilmi. Fika meringkuk di atas pembaringan suara tangis yang lirih serta sesenggukan.
Fika bangkit dari pembaringan dan langsung masuk ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian dia keluar kamar dengan menggunakan kimono handuk. Mata yang tadi begitu bengkak kini mulai mereda meskipun masih terlihat begitu jelas dengan sekali pandang. Ia menuju walk in closed untuk berganti pakaian. Setelahnya ia menuju meja rias dan memperhatikan wajahnya dengan begitu saksama. Fika mengambil skincare lalu mengusapkannya ke wajahnya, dengan beberapa alat make up kini wajahnya sudah terlihat lebih fresh. Setelah selesai dengan segala peralatan make up nya, Fika gegas mengambil tas selempang serta kunci mobil.
"Have fun for me!" gumamnya sambil melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.
Fika saat ini berencana pergi ke sebuah tempat wisata guna untuk menenangkan pikirannya yang sedari tadi malam selalu memikirkan Arfan. Sebelum jam dua nanti ia ada pemotretan, Fika harus menjernihkan pikirannya terlebih dahulu agar nanti ia bisa berkonsentrasi dalam menjalani tugasnya.
Ponsel Fika yang terletak di dalam tas Selempangnya berdering membuat Fika menepikan mobilnya sejenak karena tasnya terletak di kursi samping.
"Ya, ada apa?" tanyanya langsung setelah menggeser panel hijau pada layar.
"Maaf, Bu. Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan kalau pasien atas nama Rian Anggara sudah siuman!"
"Baik, Sus. Terimakasih infonya, sebentar lagi saya kesitu!"
"Baik, Bu. Sampai jumpa!"
Niat awal yang ingin pergi ke tempat hiburan di urungkan, karena Fika memilih pergi ke rumah sakit tempat adik Hilmi di rawat. Hembusan nafas lega begitu terdengar jelas pertanda ia merasa begitu lega karena Rian sudah siuman setelah sebelumnya mengalami koma selama beberapa bulan. Fika tak hanya membiayai pengobatan Rian, tapi ia juga sering datang diam-diam ke rumah sakit untuk menjenguk Rian. Ia begitu prihatin pada Rian dan Hilmi yang tak memilki keluarga sama sekali. Meskipun begitu, tak Fika tunjukkan kepeduliannya ini di hadapan orang-orang terutama Hilmi, karena egonya terlalu besar untuk bersikap baik kepada wanita yang di pilihnya sebagai istri kedua sang suami, juga wanita yang membuat Fika merasa begitu cemburu.
Sebelum turun dari mobil, tak lupa Fika menggunakan masker terlebih dahulu. Selain untuk melindungi dai virus, ia juga ingin orang-orang tak mengenali dirinya. Setelah sampai pada ruang rawat Rian, Fika segera masuk dan menghampiri Rian yang terbaring dengan wajah terpejam.
"Pasien saat ini sedang istirahat, Bu. Setelah tadi tak hentinya mencari kakak perempuannya."
"Baik, Sus. Bagaimana kondisi Rian? Apakah dia sudah baik-baik saja?"
"Menurut pemeriksaan dokter tadi, Kondisinya sudah semakin membaik dan jika kedepannya semakin membaik, mungkin tiga hari lagi sudah boleh pulang."
"Oh, syukurlah kalau begitu."
Setelahnya suster pergi meninggalkan Fika di dalam ruang rawat Rian. Fika mendekat, ia hanya menatap lekat wajah remaja lelaki yang di perjuangkan hidupnya setengah mati oleh Hilmi. Fika tak berkata, ia hanya diam dan terus menatap lekat Rian yang tertidur setelah di beri obat oleh dokter. Lama ia memandangi Rian, Fika memutuskan untuk pergi, tapi sebelum dirinya pergi, Fika mendekat dan sedikit membungkukkan badannya.
"Cepatlah sehat, jangan sia-siakan pengorbanan kakakmu!"
****
Kabar kalau Rian sudah sadar dari koma menjadi berita paling membahagiakan bagi Hilmi. Ia teramat sangat bahagia, karena satu-satunya keluarga yang dimilikinya sudah sembuh, sudah kembali dari tidur panjangnya selama beberapa bulan ini.
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Hilmi menyempatkan diri untuk memasak makanan kesukaan sang adik, yaitu tumis kangkung dan pepes ikan tongkol. Setelah selesai memasak, Hilmi pamit pada Arfan untuk mengunjungi adiknya yang sudah siuman. Tak lupa ia juga pamitan kepada mama mertuanya yang kebetulan pagi ini masih ada di rumah.
"Ngapain bawa tas besar seperti itu?" tanya mama Agni melihat tas yang berukuran lumayan besar yang di tenteng oleh Hilmi.
"Ini buat ngisi pakaian adik saya, Ma. Juga ada pakaian ganti milik saya,"
"Kenapa harus bawa pakaian ganti segala kamu?"
"Saya mau nginep di rumah sakit, Ma. Kasihan Rian kalau sendirian pas malam,"
"Mau nginep? Ngapain kamu pakai nginep di rumah sakit segala? Kamu lupa biaya pengobatan adikmu itu dari mana asalnya? Kamu lupa tujuan kamu menikah dengan putraku? Nggak ada acara nginep segala. Kapan jadinya cucuku kalau kamu hanya sekali melakukannya dengan Arfan!"
"Tapi, Ma ...."
Jika Hilmi tak menginap, siapa yang akan menjaga Rian? Siapa yang akan menyiapkan segala kebutuhan adiknya tersebut? Kalau tengah malam adiknya butuh sesuatu siapa yang akan membantunya? Rian dan dirinya tak punya keluarga satupun, tak ada yang bisa dimintai tolong. Meskipun ada suster, suster hanya sesekali mengecek Rian, tak mungkin selalu menemani adiknya tersebut.
"Nggak ada tapi tapian, pokoknya sebelum jam tujuh kamu sudah ada di rumah!"
Ingin sekali Hilmi membantah, tapi apa daya, dirinya tak punya kuasa untuk membantah apapun yang di katakan oleh mama mertuanya. Dengan terpaksa, Hilmi menganggukkan kepalanya meskipun air mata sudah mengajak sungai di pelupuk matanya.
"Ya, sudah, sana! Ingat sebelum jam tujuh kamu sudah harus pulang!"
"Iya, Ma."
Hilmi segera keluar dari rumah mewah, tapi terasa penjara tersebut. Ia segera memasuki taksi yang sudah di pesannya tadi.
Sebuah pesan wa masuk ke ponsel Hilmi dari suaminya.
(Turuti saja apa kata mama, mama benar, agar kamu segera hamil dan segera memberikan cucu untuk mama. Sepulang kerja aku langsung jemput kamu. Hati-hati di jalan.)
Senyum miris tersungging di bibir Hilmi. Baru Lima menit dirinya keluar, mama mertuanya sudah mengadukan apa yang baru saja mereka perbincangkan kepada Arfan. Dan Arfan membenarkan apa perkataan mama Agni tanpa peduli perasaannya.
Aku sadari posisiku..
Aku sadari siapa diriku di matamu..
Aku sadari bahwa tak setiap saat kau mengingatku..
Aku sadar, bahwa aku hanya sebatas figuran..
Kau hanya mengingatku saat kau butuh dalam kesusahanmu..
Dan engkau melupakanku dalam bahagiamu..
Tak apa..
Tak usah pikirkan rasa sakitku..
Ah, benarkah kau memikirkan perasaanku? Terlalu percaya diri sekali diriku ini..
Seharusnya aku mengatakan, tak perlu ku kisahkan padamu tentang kesakitan ku..
Tak usah ku jadikan story' agar kau tau lukaku..
Aku hanya harus diam, harus ada saat kau butuh dan harus terbiasa pada setiap luka yang kau gores....
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba mun
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!""Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!""Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?""Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terbagi, hingga ia berpikir untuk memiliki keduanya dan tak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Hati Arfan
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhadapnya. Bukankah perasaan itu tak penting? Bagaimanapun perasaan Hilmi terhadap arfan atau bagaimanapun perasaan Arfan terhadap Hilmi bukankah lebih baik mereka tak saling mengetahui? Karena hubungan mereka tak seserius itu. Mereka h
Wajah Hilmi berubah menjadi mendung setelah mendengar perkataan si Mbok. Bagaimana mungkin dia berusaha dengan maksimal, jika sekarang saja Hilmi dan Arfan sudah bercerai. Hilmi menghembuskan nafas pelan, berusaha agar tak menangis di hadapan si Mbok."Mbok,""Ya, Non?""Mama kapan pulang?""Mungkin sekitar satu jam lagi katanya, Non,""Oh, baiklah, Mbok. Terimakasih minumannya." kata Hilmi sambil mengambil cangkir yang ada di atas nampan."Sama-sama, Non. Kalau begitu Mbok pamit ya,""Iya, Mbok, silahkan!"Setelah si mbok pergi, Hilmi segera masuk kamar dan meletakkan cangkir yang di bawanya ke atas nakas. Seketika rasa bersalah menyeruak hati Hilmi. Hilmi merasa sangat bersalah karena masih belum bisa memberikan cucu kepada mama Agni. Hilmi merasakan sakit dan bersalah dalam waktu yang bersamaan.Dalam tangisan Hilmi yang tergugu, Arfan tiba-tiba masuk membuat Hilmi seketika berhenti menangis dan secepat kilat menghapus air mata di pipinya. Hilmi bangkit dari duduknya dan menuju lem
Saling mencintai bukan berarti bisa membuka pintu untuk hidup bersama. Keduanya disatukan saat tak saling mengenal, dengan hati yang saling menolak. Namun, saat hati keduanya saling mencintai, berpisah adalah jalan yang mereka pilih. Pernikahan yang awalnya keterpaksaan yang terjadi pada Arfan dan Hilmi bukanlah pernikahan yang akhirnya saling jatuh cinta lalu hidup bahagia. Pernikahan mereka terjadi untuk diakhiri. Sekalipun saling mencintai, mereka akhirnya harus berpisah, bahkan berpisah lebih cepat karena rasa cinta yang dirasakan keduanya.Sekalipun mama Agni memohon agar bertahan, tapi Arfan tak ingin hatinya semakin jatuh pada pesona Hilmi. Ia tak ingin menyakiti Fika lebih dalam lagi. Ia ingin hanya Fika satu-satunya wanita dalam hidupnya sekalipun istrinya itu tak bisa memberikan dirinya keturunan."Sayang, sudah siap 'kan semuanya?" tanya Arfan yang saat ini sedang bersiap untuk berangkat liburan.Dua Minggu setelah perceraian Arfan dan Hilmi, Arfan berusaha menyempurnakan k
"Sayang, please, jangan ngomong seperti itu. Aku melakukan semua ini karena aku ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku ingin hanya kamu wanita satu-satunya di hidupku. Aku ingin kamu membantuku menghapus perasaan ini untuk Hilmi. Aku ingin hatiku kembali sadar bahwa kamu dan hanya kamu yang terbaik. Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah meninggalkan kamu."Arfan berusaha meraih Fika, tapi Fika selalu menghindar dan terus menghindar. Wanita mana yang tak sakit hati, dikala dirinya tahu bahwa di hati sang suami sudah timbul bibit-bibit cinta. Memang dia yang salah yang sudah membawa Hilmi ke tengah-tengah rumah tangga mereka, dia salah karena terlalu menyepelekan Hilmi yang menurutnya tak mungkin membuat Arfan jatuh cinta, tapi nyatanya sekarang?? Inikah konsekuensi yang harus diterima oleh Fika karena sudah mempermainkan pernikahannya?"Kenapa? Kenapa kamu mempertahankan aku, Mas? Kenapa kamu memilihku? Sedangkan aku hanya wanita mandul yang tak bisa memberikanmu keturunan. Apa h