"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.
Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing.
"Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih.
"Maksud kamu?" tanya Arfan
"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kalian berduaan, aku belum siap, Mas."
Mama Agni mendesah kasar. Ini sudah empat bulan, sampai kapan lagi harus menunggu hingga fika siap berbagi suami lahir batin dengan Hilmi?
"Bagaimana kalau Hilmi tinggal bersama mama saja? Arfan akan bergantian tinggal dengan kalian berdua," usul mama Agni membuat anak dan dua menantunya menatap kompak kearahnya.
"Mama rasa itu ide yang bagus, agar Fika tak melihat Arfan berduaan dengan Hilmi. Soal pembagian waktunya berapa hari itu menurut mama Fika empat hari, dan Hilmi tiga harinya. Bukankah itu cukup adil karena Fika istri pertama dan Hilmi istri kedua."
"Bagaimana Fika, Arfan?"
Hilmi? Wanita itu tak begitu di inginkan pendapatnya. Dia hanya cukup nurut dan berkata iya akan apa yang mereka pinta meskipun bertentangan dengan hatinya. Soal hati Hilmi, siapa yang peduli? Miris sekali hidupku, pikir Hilmi.
"Aku apa kata Fika saja, Ma," jawab Arfan menyerahkan semua keputusan kepada Fika.
"Apakah dalam tiga hari itu, mas Arfan hanya malam saja bersama Hilmi? Pagi saat sarapan, siang saat makan siang dan sore saat pulang kantor akan tetap bersamaku?"
Maksudnya Arfan datang kepada Hilmi hanya saat mau tidur saja begitu? Bukankah itu terlalu jahat. Rasanya Hilmi seperti wanita murahan yang hanya di datangi untuk di tiduri saja.
"Tidak. Bukan seperti itu. Jika waktunya bersama Hilmi yang tiga hari itu milik Hilmi dan Arfan."
Arfan setuju dengan perkataan mamanya, itu yang terbaik dari pada Arfan hanya datang pada Hilmi saat malam saja, ia akan merasa menjadi lelaki yang begitu brengsek yang datang hanya untuk menuntaskan nafsunya saja lalu pergi setelah puas.
"Aku gak setuju jika seperti itu, Ma. Bolehkan mas Arfan denganku lima hari dan dengan Hilmi dua hari saja?"
"Fika, ini semua juga demi kebaikan kita bersama. Tiga hari bersama Hilmi itu mama rasa sudah waktu yang sedikit mengingat tujuan pernikahan mereka untuk mendapatkan keturunan. Jika masih di kurangi lagi, kapan Hilmi hamilnya? Sedangkan usaha untuk membuat bayinya harus semaksimal mungkin."
Fika masih terlihat tidak setuju, karena rasa cemburu yang begitu besar. Rasa takut yang menghantui setiap kali melihat Hilmi. Takut jika Arfan mulai jatuh hati pada Hilmi, takut jika Arfan suatu saat berpaling dan meninggalkan dirinya. Sedangkan dirinya merupakan wanita yang tak sempurna, wanita yang tak bisa memberikan keturunan. Bersyukur Arfan tidak meninggalkan dirinya saat ini.
"Apa yang kamu ragukan Fika?" tanya mama Agni melihat keraguan di wajah menantu pertamanya ini.
"Aku takut mas Arfan berpaling dariku. Aku takut ditinggalkan, sedangkan aku wanita yang tak sempurna, wanita yang tak bisa memberikan keturunan."
Wanita mana yang rela di madu? Wanita mana yang tak takut di tinggalkan disaat kondisinya yang yang tak sempurna? Wanita mana yang tak takut suaminya memilih wanita lain dan meninggalkan dirinya? Tapi, Fika sadar bahwa dari awal dirinya yang salah. Dirinya yang sudah membawa Hilmi ke dalam biduk rumah tangganya. Dirinya yang menawarkan dan memaksa Arfan poligami.
*****
Disinilah kini Hilmi berada, di rumah dua lantai yang tak kalah megah dari rumah Arfan dan Fika. Dan hari ini adalah hari ke lima Hilmi berada disini, dan itu artinya hari ini merupakan waktunya Arfan bersamanya karena Fika meminta bagian terlebih dahulu.
"Sebentar lagi Arfan datang, kamu harus berpenampilan menarik agar Arfan tertarik menyentuhmu. Biarkan para asistenku itu mempermak dirimu. Jangan lupa setelah selesai, minum obat yang sudah aku sediakan di laci nakas."
"Baik, Ma."
"Oh, ya, kalian sekalian ajarkan dia cara make up natural dan cara merawat tubuh dengan baik!"
"Baik, Nyonya!" jawab mereka serempak.
Setelah mengatakan itu, mama Agni berlalu meninggalkan Hilmi bersama ketiga asistennya di kamar milik Arfan.
"Mari, Nona!" ajak salah satu dari tiga wanita cantik yang tampilannya lebih menarik dari Hilmi tersebut.
"Jangan panggil nona, panggil saja aku Hilmi." koreksi Hilmi karena merasa tak pantas di panggil nyonya.
"Kalau hanya panggil nama, kami takut di marahi nyonya Agni, bagaimana kalau mbak Hilmi saja?"
"Boleh juga,"
Setelahnya Hilmi pun di bawa ke kamar mandi terlebih dahulu untuk di mandikan serta luluran. Jujur Hilmi malu jika harus telanj*ng di hadapan orang lain, tapi karena mereka bilang memang begini aturannya, maka terpaksa Hilmi melakukannya dan setelah melepas pakaiannya, ia lekas masuk ke dalam bathtub. Setelah luluran, di lanjutkan dengan spa, setelahnya memberikan sapuan make up natural pada wajah Hilmi, serta mengecat kuku wanita itu.
"Wow, amazing!" Seru Zilla, salah satu dari tiga asisten mama Agni.
"Cantik banget mbak Hilmi, sumpah!" seru Yuva tak kalah kagum akan kecantikan Hilmi.
"Jangan berlebihan, kakak kakak. Aku begini juga karena kerja keras kalian,"
"Ah, kita hanya permak sedikit, karena pada dasarnya kamu memang cantik. Hanya butuh sedikit polesan saja untuk menonjolkan kecantikan kamu."
"Percuma sih cantik, kalau dinikahi hanya untuk punya anak!" kata Laura yang memang bermulut pedas tak punya perasaan.
Seketika Hilmi yang berwajah merona karena di puji berubah menjadi merah merona karena menahan sakit hati. Hampir saja air matanya menetes karena begitu sakit dengan perkataan Laura, tapi di tahannya. Matanya mengerjap berusaha menghalau air matanya.
"Hus, kamu ini, kebiasaan gak di rem kalau ngomong. Gak punya perasaan!" tegur Yuva sambil menyikut lengan Laura sedikit keras.
"Iya, Nih. Jaga perasaan orang kalau ngomong!"
"Gak apa-apa, Kak. Memang benar kok apa yang di katakan kak Laura."
Setelah menyelesaikan tugasnya, ketiga asisten mama Agni itupun meninggalkan kamar Hilmi. Sedangkan Hilmi menatap pantulan dirinya di cermin, sedikit banyak Hilmi mengagumi wajahnya yang memang terlihat lebih fresh dan cantik. Namun, perkataan Laura kembali terngiang di kepalanya.
"Kenapa aku harus sakit hati? Bukankah yang dikatakan kak Laura itu benar adanya, kalau aku hanya di nikahi untuk memberikan mereka keturunan." gumam Hilmi yang tanpa sadar setetes air matanya membasahi pipi tirusnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat jantung Hilmi berdebar, mungkinkah itu Arfan? Sungguh Hilmi kerasa tak siap dan malu menghadapi Arfan dengan kondisi seperti ini.
"Permisi, Nona!"
Suara seorang wanita membuat Hilmi bernafas dengan lega. Sontak secara refleks tangannya mengusap dadanya beberapa kali. Hilmi bangkit dan menuju pintu.
"Ya, ada apa, Bi?"
"Tuan Arfan sudah tiba, sekarang beliau sedang memasukkan mobil ke garasi. Nyonya Agni meminta Anda untuk bersiap-siap,"
"Baik, Bi, terimakasih infonya."
"Sudah tugas saya. Kalau begitu saya permisi, Non,"
"Silahkan!"
Hilmi kembali menutup pintu dengan rapat setelah kepergian art tersebut. Hilmi dilanda kegugupan. Hilmi memutuskan duduk di tepi pembaringan untuk menunggu Arfan. Matanya awas menatap pintu dengan jantung yang berdebar. Semenit, lima menit, sepuluh menit bahkan 30 menit berlalu Arfan belum juga muncul dari balik pintu. Kegugupan yang tadi menyerang Hilmi berganti dengan rasa penasaran kenapa Arfan belum juga masuk kamar.
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu. "Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya," Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan. Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi ap
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya."Mas,
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba mun
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!""Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!""Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?""Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terbagi, hingga ia berpikir untuk memiliki keduanya dan tak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Hati Arfan
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhadapnya. Bukankah perasaan itu tak penting? Bagaimanapun perasaan Hilmi terhadap arfan atau bagaimanapun perasaan Arfan terhadap Hilmi bukankah lebih baik mereka tak saling mengetahui? Karena hubungan mereka tak seserius itu. Mereka h
Wajah Hilmi berubah menjadi mendung setelah mendengar perkataan si Mbok. Bagaimana mungkin dia berusaha dengan maksimal, jika sekarang saja Hilmi dan Arfan sudah bercerai. Hilmi menghembuskan nafas pelan, berusaha agar tak menangis di hadapan si Mbok."Mbok,""Ya, Non?""Mama kapan pulang?""Mungkin sekitar satu jam lagi katanya, Non,""Oh, baiklah, Mbok. Terimakasih minumannya." kata Hilmi sambil mengambil cangkir yang ada di atas nampan."Sama-sama, Non. Kalau begitu Mbok pamit ya,""Iya, Mbok, silahkan!"Setelah si mbok pergi, Hilmi segera masuk kamar dan meletakkan cangkir yang di bawanya ke atas nakas. Seketika rasa bersalah menyeruak hati Hilmi. Hilmi merasa sangat bersalah karena masih belum bisa memberikan cucu kepada mama Agni. Hilmi merasakan sakit dan bersalah dalam waktu yang bersamaan.Dalam tangisan Hilmi yang tergugu, Arfan tiba-tiba masuk membuat Hilmi seketika berhenti menangis dan secepat kilat menghapus air mata di pipinya. Hilmi bangkit dari duduknya dan menuju lem