Share

5. Keputusan Fika

"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.

Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing.

"Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih.

"Maksud kamu?" tanya Arfan

"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kalian berduaan, aku belum siap, Mas."

Mama Agni mendesah kasar. Ini sudah empat bulan, sampai kapan lagi harus menunggu hingga fika siap berbagi suami lahir batin dengan Hilmi?

"Bagaimana kalau Hilmi tinggal bersama mama saja? Arfan akan bergantian tinggal dengan kalian berdua," usul mama Agni membuat anak dan dua menantunya menatap kompak kearahnya.

"Mama rasa itu ide yang bagus, agar Fika tak melihat Arfan berduaan dengan Hilmi. Soal pembagian waktunya berapa hari itu menurut mama Fika empat hari, dan Hilmi tiga harinya. Bukankah itu cukup adil karena Fika istri pertama dan Hilmi istri kedua."

"Bagaimana Fika, Arfan?"

Hilmi? Wanita itu tak begitu di inginkan pendapatnya. Dia hanya cukup nurut dan berkata iya akan apa yang mereka pinta meskipun bertentangan dengan hatinya. Soal hati Hilmi, siapa yang peduli? Miris sekali hidupku, pikir Hilmi.

"Aku apa kata Fika saja, Ma," jawab Arfan menyerahkan semua keputusan kepada Fika.

"Apakah dalam tiga hari itu, mas Arfan hanya malam saja bersama Hilmi? Pagi saat sarapan, siang saat makan siang dan sore saat pulang kantor akan tetap bersamaku?"

Maksudnya Arfan datang kepada Hilmi hanya saat mau tidur saja begitu? Bukankah itu terlalu jahat. Rasanya Hilmi seperti wanita murahan yang hanya di datangi untuk di tiduri saja.

"Tidak. Bukan seperti itu. Jika waktunya bersama Hilmi yang tiga hari itu milik Hilmi dan Arfan."

Arfan setuju dengan perkataan mamanya, itu yang terbaik dari pada Arfan hanya datang pada Hilmi saat malam saja, ia akan merasa menjadi lelaki yang begitu brengsek yang datang hanya untuk menuntaskan nafsunya saja lalu pergi setelah puas.

"Aku gak setuju jika seperti itu, Ma. Bolehkan mas Arfan denganku lima hari dan dengan Hilmi dua hari saja?"

"Fika, ini semua juga demi kebaikan kita bersama. Tiga hari bersama Hilmi itu mama rasa sudah waktu yang sedikit mengingat tujuan pernikahan mereka untuk mendapatkan keturunan. Jika masih di kurangi lagi, kapan Hilmi hamilnya? Sedangkan usaha untuk membuat bayinya harus semaksimal mungkin."

Fika masih terlihat tidak setuju, karena rasa cemburu yang begitu besar. Rasa takut yang menghantui setiap kali melihat Hilmi. Takut jika Arfan mulai jatuh hati pada Hilmi, takut jika Arfan suatu saat berpaling dan meninggalkan dirinya. Sedangkan dirinya merupakan wanita yang tak sempurna, wanita yang tak bisa memberikan keturunan. Bersyukur Arfan tidak meninggalkan dirinya saat ini.

"Apa yang kamu ragukan Fika?" tanya mama Agni melihat keraguan di wajah menantu pertamanya ini.

"Aku takut mas Arfan berpaling dariku. Aku takut ditinggalkan, sedangkan aku wanita yang tak sempurna, wanita yang tak bisa memberikan keturunan."

Wanita mana yang rela di madu? Wanita mana yang tak takut di tinggalkan disaat kondisinya yang yang tak sempurna? Wanita mana yang tak takut suaminya memilih wanita lain dan meninggalkan dirinya? Tapi, Fika sadar bahwa dari awal dirinya yang salah. Dirinya yang sudah membawa Hilmi ke dalam biduk rumah tangganya. Dirinya yang menawarkan dan memaksa Arfan poligami.

*****

Disinilah kini Hilmi berada, di rumah dua lantai yang tak kalah megah dari rumah Arfan dan Fika. Dan hari ini adalah hari ke lima Hilmi berada disini, dan itu artinya hari ini merupakan waktunya Arfan bersamanya karena Fika meminta bagian terlebih dahulu.

"Sebentar lagi Arfan datang, kamu harus berpenampilan menarik agar Arfan tertarik menyentuhmu. Biarkan para asistenku itu mempermak dirimu. Jangan lupa setelah selesai, minum obat yang sudah aku sediakan di laci nakas."

"Baik, Ma."

"Oh, ya, kalian sekalian ajarkan dia cara make up natural dan cara merawat tubuh dengan baik!"

"Baik, Nyonya!" jawab mereka serempak.

Setelah mengatakan itu, mama Agni berlalu meninggalkan Hilmi bersama ketiga asistennya di kamar milik Arfan.

"Mari, Nona!" ajak salah satu dari tiga wanita cantik yang tampilannya lebih menarik dari Hilmi tersebut.

"Jangan panggil nona, panggil saja aku Hilmi." koreksi Hilmi karena merasa tak pantas di panggil nyonya.

"Kalau hanya panggil nama, kami takut di marahi nyonya Agni, bagaimana kalau mbak Hilmi saja?"

"Boleh juga,"

Setelahnya Hilmi pun di bawa ke kamar mandi terlebih dahulu untuk di mandikan serta luluran. Jujur Hilmi malu jika harus telanj*ng di hadapan orang lain, tapi karena mereka bilang memang begini aturannya, maka terpaksa Hilmi melakukannya dan setelah melepas pakaiannya, ia lekas masuk ke dalam bathtub. Setelah luluran, di lanjutkan dengan spa, setelahnya memberikan sapuan make up natural pada wajah Hilmi, serta mengecat kuku wanita itu.

"Wow, amazing!" Seru Zilla, salah satu dari tiga asisten mama Agni.

"Cantik banget mbak Hilmi, sumpah!" seru Yuva tak kalah kagum akan kecantikan Hilmi.

"Jangan berlebihan, kakak kakak. Aku begini juga karena kerja keras kalian,"

"Ah, kita hanya permak sedikit, karena pada dasarnya kamu memang cantik. Hanya butuh sedikit polesan saja untuk menonjolkan kecantikan kamu."

"Percuma sih cantik, kalau dinikahi hanya untuk punya anak!" kata Laura yang memang bermulut pedas tak punya perasaan.

Seketika Hilmi yang berwajah merona karena di puji berubah menjadi merah merona karena menahan sakit hati. Hampir saja air matanya menetes karena begitu sakit dengan perkataan Laura, tapi di tahannya. Matanya mengerjap berusaha menghalau air matanya.

"Hus, kamu ini, kebiasaan gak di rem kalau ngomong. Gak punya perasaan!" tegur Yuva sambil menyikut lengan Laura sedikit keras.

"Iya, Nih. Jaga perasaan orang kalau ngomong!"

"Gak apa-apa, Kak. Memang benar kok apa yang di katakan kak Laura."

Setelah menyelesaikan tugasnya, ketiga asisten mama Agni itupun meninggalkan kamar Hilmi. Sedangkan Hilmi menatap pantulan dirinya di cermin, sedikit banyak Hilmi mengagumi wajahnya yang memang terlihat lebih fresh dan cantik. Namun, perkataan Laura kembali terngiang di kepalanya.

"Kenapa aku harus sakit hati? Bukankah yang dikatakan kak Laura itu benar adanya, kalau aku hanya di nikahi untuk memberikan mereka keturunan." gumam Hilmi yang tanpa sadar setetes air matanya membasahi pipi tirusnya.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat jantung Hilmi berdebar, mungkinkah itu Arfan? Sungguh Hilmi kerasa tak siap dan malu menghadapi Arfan dengan kondisi seperti ini.

"Permisi, Nona!"

Suara seorang wanita membuat Hilmi bernafas dengan lega. Sontak secara refleks tangannya mengusap dadanya beberapa kali. Hilmi bangkit dan menuju pintu.

"Ya, ada apa, Bi?"

"Tuan Arfan sudah tiba, sekarang beliau sedang memasukkan mobil ke garasi. Nyonya Agni meminta Anda untuk bersiap-siap,"

"Baik, Bi, terimakasih infonya."

"Sudah tugas saya. Kalau begitu saya permisi, Non,"

"Silahkan!"

Hilmi kembali menutup pintu dengan rapat setelah kepergian art tersebut. Hilmi dilanda kegugupan. Hilmi memutuskan duduk di tepi pembaringan untuk menunggu Arfan. Matanya awas menatap pintu dengan jantung yang berdebar. Semenit, lima menit, sepuluh menit bahkan 30 menit berlalu Arfan belum juga muncul dari balik pintu. Kegugupan yang tadi menyerang Hilmi berganti dengan rasa penasaran kenapa Arfan belum juga masuk kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status