Share

4. Alasan Memilih Pasrah

"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku."

"Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesembuhan untuk adikku."

Pernyataan Hilmi membuat Arfan diam tak berkutik. Sungguh apa yang di katakan istri keduanya ini sangat mengiris hati. Dari nada suara, tampak Hilmi begitu pasrah akan luka yang dia dapat demi adiknya. Pun ada nada terluka yang teramat dalam di hati wanita itu. Rasa bersalah dalam hati Arfan semakin membesar. Arfan mengusap wajahnya kasar.

"Maaf ...."

Hanya itu yang bisa Arfan rasakan. Entah Arfan sudah ada hati pada Hilmi atau tidak, yang jelas hati Irfan merasa ikut sakit mendengar setiap ucapan Hilmi. Arfan seolah merasakan kesakitan yang istri keduanya itu rasakan.

"Sudahlah, Mas! Lebih baik kau pulang sekarang, Fika pasti sudah menunggumu. Aku tak mau jadi bahan kemarahannya jika tahu hal ini,"

Hilmi yang meminta Arfan pulang, tapi dia juga yang memilih keluar terlebih dahulu. Tak peduli panggilan Arfan dan pengejaran lelaki tersebut, pun tak peduli pandangan pengunjung restoran yang seolah semua tertuju padanya. Hilmi terus melangkah tergesa mengabaikan semuanya, hingga saat hampir tiba di pintu sebuah cekakan di tangannya menghentikan langkahnya. Ia menyangka itu cekalan tangan Arfan.

"Lepas, Mas!" pintanya tanpa menoleh

"Arfan, siapa perempuan ini sehingga kau memanggilnya berulang kali tanpa peduli harga dirimu?" gertakan seorang wanita paruh baya membuat Hilmi menolehkan kepalanya. Di belakangnya terlihat mama Agni, mama Arfan yang menggenggam tangannya dan menatap penuh marah ke arah keduanya.

Kenapa mertuanya itu bertanya seperti itu? Bukankah beliau sudah tahu kalau Hilmi adalah istri kedua dari putranya?

"Ma?" Arfan pun menatap heran pada mamanya yang seolah-olah tak tahu apa-apa tentang hubungannya dengan Hilmi.

"Siapa kamu? Apakah kamu seorang perempuan penggoda? Apakah kamu tak tahu lelaki ini sudah memiliki istri?"

Pertanyaan mama Agni membuat ulu hati Hilmi begitu terasa nyeri. Mertua yang selama ini bersikap baik padanya kini melontarkan kata-kata yang melukai perasaannya. Apakah ia lupa siapa Hilmi? Ataukah selama ini sikap baik itu hanya kepura-puraan saja, demi bisa mendapatkan cucu darinya?

"Sikat ajah perempuan kayak gitu, Jeng. Lindungi rumah tangga anakmu dari pelakor!" suara seorang ibu-ibu di salah satu meja membuat Afni semakin terluka. Ia malu, ia kecewa dan ia pun juga terluka.

Satu yang kini ia sadari, bahwa dia memang menantu yang tak dianggap. Dia hanyalah seorang istri siri yang di sembunyikan dari publik. Dan semua kebaikan mertuanya hanya bersifat di belakang layar, bukan di depan layar.

"Jeng semuanya, saya pamit pulang dulu ya, mau ngurus ini biar clear."

"Silahkan, Jeng. Basmi bersih pelakor itu!"

"Siap, Jeng!"

***

"Apa yang kalian lakukan di restoran itu, hah? Tanpa Fika lagi!" Mama Agni langsung membentak keduanya saat mereka tiba di rumah Arfan.

"Ma, aku hanya mengajak makan siang Hilmi dan ingin memperbaiki hubungan kita."

"Haruskah di restoran itu? Restoran mahal tempat para rekan bisnis keluarga kita selalu menghabiskan waktu? Bagaimana kalau rekan bisnis kita tahu kalau kamu berduaan dengan wanita lain? Pasti mereka akan dengan mudahnya menjatuhkan kita!"

"Ma, lagian Hilmi juga istriku, nggak ada salahnya kalau aku sesekali megajaknya makan siang berdua di restoran mewah."

"Apa kamu lupa Arfan, kalau pernikahan keduamu ini di sembunyikan dari siapapun?" tanya mama Agni menatap nyalang pada putranya tersebut.

"Ingatlah! Kamu menikahi dia hanya karena kamu ingin punya keturunan. Setelah kamu mendapatkan anak dari dia, kamu akan menceraikan dia."

"Ingat! Cukup sekali ini saja rekan arisan mama mendapati kalian berduaan, untuk seterusnya mama tak akan memaafkan kalian jika kejadian hari ini kembali terulang. Jangan bikin Mama malu!"

Hilmi hanya diam menyaksikan perdebatan ibu dan anak itu dengan air mata yang berderai.

"Ma, please jangan permainkan perasaan Hilmi. Cukup sudah menyakiti perasaannya. Tak ada seorang ibu yang mau di pisahkan dari anaknya, mama pasti tahu hal itu!"

"Hei, ini sudah konsekuensinya! Lagian ini simbiosis mutualisme kok. Dia mendapatkan uang untuk pengobatan adiknya, dan kamu akan mendapatkan anak dari dia. Jadi, saling menguntungkan bukan?"

"Benar yang mama katakan, Mas. Aku tak apa terpisah dengan bayi yang akan ku lahirkan kelak. Aku yakin kamu dan Fika akan merawat bayi itu dengan baik. Tak usah pikirkan aku, aku sudah mengatakan kalau aku baik-baik saja." kata Hilmi membenarkan ucapan mama Agni, meskipun hatinya terluka dan tak rela jika harus berpisah dengan buah hatinya.

"Oh, ya, kalian sudah menikah selama empat bulan lebih, apakah kamu belum juga hamil, Hilmi?" pertanyaan mama Agni menyentak hati Hilmi.

"Be-belum, Ma," bagaimana mungkin ia hamil, jika Arfan belum pernah menyentuhnya sama sekali. Jangankan menyentuh, tidur di satu ruangan saja tidak pernah.

"Bagaimana bisa kamu belum hamil, padahal saat di periksa kondisimu subur? Apakah kamu mengonsumsi obat pencegah kehamilan?" tanya mama Agni yang kembali menyalahkan tatapan sinis dan mengintimidasi kepada menantu keduanya ini.

"Bagaimana Hilmi mau hamil, Ma, kalau Arfan saja di larang menyentuhnya oleh Fika!"

bukan Hilmi yang menjawab melainkan Arfan.

Kedua mata mama Agni melotot sempurna mendengar jawaban Arfan. Ia begitu terkejut mengetahui bahwa Arfan sama sekali belum menyentuh Hilmi.

"Aarrgghh! Fikaaaaaaaaaa!!!!!"

"Apa mau istri pertamamu itu Arfan? Dia yang mengusulkan kamu menikah lagi dengan menjanjikan cucu untuk mama, tapi dia juga yang menghalangi kamu menyentuh Hilmi,"

Kemarahan mama Agni terasa mencapai ubun-ubun. Bagaimana tidak sangat marah, kalau selama empat bulan ini ia menunggu Hilmi hamil, tapi ternyata menantu pertamanya itu mengekang Arfan.

"Arfan, cepat telepon Fika fan suruh dia pulang, bilang kalau mama yang menyuruhmu!"

"Fika masih ada pemotretan, Ma."

"Telepon se.ka.rang!" tekan mama Agni tanpa bisa di bantah.

Mau tak mau Arfan pun menelepon Fika dan mengatakan kalau mama Agni memintanya untuk pulang sekarang. Akhirnya dengan terpaksa, Fika harus izin kepada managernya untuk pulang lebih awal.

"Ada apa mama memintaku pulang lebih awal, padahal aku belum selesai pemotretan?" tanya Fika ketika dirinya sudah tiba di rumah.

"Fika, apa benar kamu melarang Arfan nyentuh Hilmi?"

Fika melotot terkejut, kenapa mertuanya bisa tahu?

"Kalian ngadu sama mama?" bukan menjawab pertanyaan mama Agni, Fika malah balik bertanya kepada Arfan dan Hilmi sambil menatap tajam keduanya.

"Bukan ngadu, aku hanya jujur kenapa sampai sekarang Hilmi belum juga hamil," jelas Arfan membela diri.

"Mau kamu apa, Fika? Kamu menyuruh Arfan menikah lagi agar segera punya anak, tapi kamu melarang Arfan menyentuh Hilmi. Apa gunanya kamu selama ini membiayai pengobatan adik Hilmi, kalau Hilmi saja belum memberikan timbal balik kepada kita karena kamu halangi. kamu waras?"

"Aku waras! Lebih tepatnya pura-pura waras di hadapan kalian dan orang-orang! Kalian nggak tahu gimana sakitnya aku saat tahu aku mandul! Kalian nggak tahu gimana terlukanya aku melihat suami aku menikah dengan wanita lain! Lalu haruskah aku merelakan suamiku menyentuh wanita lain, sedangkan untuk membayangkannya saja aku sudah mau gila! Aku hampir gila gara-gara kalian yang selalu menuntut anak padahal aku mandul!"

Tanpa mereka duga, Fika berteriak mengungkapkan segala kekesalan di dalam hatinya. Wanita itu kini terduduk di lantai dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya, bahunya bergetar hebat. Namun, hatinya terasa plong karena sudah mengungkapkan uneg-uneg yang ia simpan selama ini.

Arfan segera menghampiri Fika merengkuhnya dengan begitu erat. Mengusap rambut istri pertamanya itu dengan penuh kasih sayang. Mama Agni pun turut memeluk Fika, karena sesungguhnya wanita paruh baya itu sangat menyayangi menantunya ini.

"Maafkan mama, sayang."

Sedangkan Hilmi hanya menangis sendirian di sudut kursi. Posisinya terasa serba salah. Ia sungguh tak tega melihat Fika yang seperti itu, ia merasa menjadi wanita paling jahat di dunia karena sudah menjadi orang ketiga, tapi, bukankah Fika yang membawanya kesini? Lalu, Hilmi harus merasa apa, bersalah atau tidak? Ingin rasanya Hilmi berteriak dengan kencang untuk mengurangi himpitan di dadanya.

"Sudah, sayang. Aku dan mama tak pernah memaksa untuk punya anak dari keturunanku. Aku pun sudah mengusulkan untuk ambil anak angkat dari panti, tapi kamu tak mau." Arfan berusaha menenangkan Fika.

"Aku gak mau anak panti, Mas. Aku takut suatu saat mereka di ambil lagi oleh orang tua kandungnya."

Fika memang memiliki karir bagus, memiliki segalanya, tapi sayang dirinya tak bisa memberikan anak untuk Arfan karena dirinya mandul. Hingga jalan inilah yang Fika ambil demi bisa memiliki anak yang jelas asal-usulnya, dari pada mengambil anak angkat di panti yang tak jelas asal-usulnya. Meskipun sampai saat ini dirinya sangat tidak rela Arfan menyentuh wanita lain selain dirinya, karena Fika sangat mencintai Arfan.

Taka da yang peduli kepada Hilmi karena memang wanita itu tak begitu penting bagi mereka selain untuk memberikan mereka keturunan dari darah daging mereka sendiri.

"Sudah dulu, lebih baik kita duduk di kursi dulu dan membicarakan kelanjutannya dengan baik-baik." ajak mama Agni sambil membantu Fika bangkit dari duduknya.

"Lalu bagaimana setelah ini?"

Hilmi hanya menunduk, ia pasrah akan nasibnya setelah ini. Ia hanya bisa menuruti apa yang mereka katakan tanpa bisa berkomentar. Ia pun pasrah jika pada akhirnya Fika meminta Arfan menceraikan dirinya dan menghentikan biaya pengobatan untuk sang adik. Sungguh Hilmi sudah benar-benar pasrah dan putus asa. Biarlah jika pengobatan sang adik di hentikan, dan adiknya tak tertolong, maka ia akan ikut adiknya yang akan menyusul orang tua mereka.

Hilmi bangkit dari duduknya dan hendak pergi dari sana.

"Mau kemana kamu?" Tanya Arfan

"Mau kedalam, Mas. Silahkan lanjutkan pembahasannya, apapun keputusan kalian aku siap dan selalu siap. Aku nurut saja apa yang kalian putuskan, aku ingin sholat dulu."

"Sholat nanti dulu, lebih baik kamu duduk dan kita dengarkan keputusan Fika sama-sama." Pinta mama Agni yang tak bisa di tolak oleh Hilmi. Hingga akhirnya Hilmi menurut dan kembali duduk di tempatnya semula.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status