"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku."
"Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesembuhan untuk adikku."
Pernyataan Hilmi membuat Arfan diam tak berkutik. Sungguh apa yang di katakan istri keduanya ini sangat mengiris hati. Dari nada suara, tampak Hilmi begitu pasrah akan luka yang dia dapat demi adiknya. Pun ada nada terluka yang teramat dalam di hati wanita itu. Rasa bersalah dalam hati Arfan semakin membesar. Arfan mengusap wajahnya kasar.
"Maaf ...."
Hanya itu yang bisa Arfan rasakan. Entah Arfan sudah ada hati pada Hilmi atau tidak, yang jelas hati Irfan merasa ikut sakit mendengar setiap ucapan Hilmi. Arfan seolah merasakan kesakitan yang istri keduanya itu rasakan.
"Sudahlah, Mas! Lebih baik kau pulang sekarang, Fika pasti sudah menunggumu. Aku tak mau jadi bahan kemarahannya jika tahu hal ini,"
Hilmi yang meminta Arfan pulang, tapi dia juga yang memilih keluar terlebih dahulu. Tak peduli panggilan Arfan dan pengejaran lelaki tersebut, pun tak peduli pandangan pengunjung restoran yang seolah semua tertuju padanya. Hilmi terus melangkah tergesa mengabaikan semuanya, hingga saat hampir tiba di pintu sebuah cekakan di tangannya menghentikan langkahnya. Ia menyangka itu cekalan tangan Arfan.
"Lepas, Mas!" pintanya tanpa menoleh
"Arfan, siapa perempuan ini sehingga kau memanggilnya berulang kali tanpa peduli harga dirimu?" gertakan seorang wanita paruh baya membuat Hilmi menolehkan kepalanya. Di belakangnya terlihat mama Agni, mama Arfan yang menggenggam tangannya dan menatap penuh marah ke arah keduanya.
Kenapa mertuanya itu bertanya seperti itu? Bukankah beliau sudah tahu kalau Hilmi adalah istri kedua dari putranya?
"Ma?" Arfan pun menatap heran pada mamanya yang seolah-olah tak tahu apa-apa tentang hubungannya dengan Hilmi.
"Siapa kamu? Apakah kamu seorang perempuan penggoda? Apakah kamu tak tahu lelaki ini sudah memiliki istri?"
Pertanyaan mama Agni membuat ulu hati Hilmi begitu terasa nyeri. Mertua yang selama ini bersikap baik padanya kini melontarkan kata-kata yang melukai perasaannya. Apakah ia lupa siapa Hilmi? Ataukah selama ini sikap baik itu hanya kepura-puraan saja, demi bisa mendapatkan cucu darinya?
"Sikat ajah perempuan kayak gitu, Jeng. Lindungi rumah tangga anakmu dari pelakor!" suara seorang ibu-ibu di salah satu meja membuat Afni semakin terluka. Ia malu, ia kecewa dan ia pun juga terluka.
Satu yang kini ia sadari, bahwa dia memang menantu yang tak dianggap. Dia hanyalah seorang istri siri yang di sembunyikan dari publik. Dan semua kebaikan mertuanya hanya bersifat di belakang layar, bukan di depan layar.
"Jeng semuanya, saya pamit pulang dulu ya, mau ngurus ini biar clear."
"Silahkan, Jeng. Basmi bersih pelakor itu!"
"Siap, Jeng!"
***
"Apa yang kalian lakukan di restoran itu, hah? Tanpa Fika lagi!" Mama Agni langsung membentak keduanya saat mereka tiba di rumah Arfan.
"Ma, aku hanya mengajak makan siang Hilmi dan ingin memperbaiki hubungan kita."
"Haruskah di restoran itu? Restoran mahal tempat para rekan bisnis keluarga kita selalu menghabiskan waktu? Bagaimana kalau rekan bisnis kita tahu kalau kamu berduaan dengan wanita lain? Pasti mereka akan dengan mudahnya menjatuhkan kita!"
"Ma, lagian Hilmi juga istriku, nggak ada salahnya kalau aku sesekali megajaknya makan siang berdua di restoran mewah."
"Apa kamu lupa Arfan, kalau pernikahan keduamu ini di sembunyikan dari siapapun?" tanya mama Agni menatap nyalang pada putranya tersebut.
"Ingatlah! Kamu menikahi dia hanya karena kamu ingin punya keturunan. Setelah kamu mendapatkan anak dari dia, kamu akan menceraikan dia."
"Ingat! Cukup sekali ini saja rekan arisan mama mendapati kalian berduaan, untuk seterusnya mama tak akan memaafkan kalian jika kejadian hari ini kembali terulang. Jangan bikin Mama malu!"
Hilmi hanya diam menyaksikan perdebatan ibu dan anak itu dengan air mata yang berderai.
"Ma, please jangan permainkan perasaan Hilmi. Cukup sudah menyakiti perasaannya. Tak ada seorang ibu yang mau di pisahkan dari anaknya, mama pasti tahu hal itu!"
"Hei, ini sudah konsekuensinya! Lagian ini simbiosis mutualisme kok. Dia mendapatkan uang untuk pengobatan adiknya, dan kamu akan mendapatkan anak dari dia. Jadi, saling menguntungkan bukan?"
"Benar yang mama katakan, Mas. Aku tak apa terpisah dengan bayi yang akan ku lahirkan kelak. Aku yakin kamu dan Fika akan merawat bayi itu dengan baik. Tak usah pikirkan aku, aku sudah mengatakan kalau aku baik-baik saja." kata Hilmi membenarkan ucapan mama Agni, meskipun hatinya terluka dan tak rela jika harus berpisah dengan buah hatinya.
"Oh, ya, kalian sudah menikah selama empat bulan lebih, apakah kamu belum juga hamil, Hilmi?" pertanyaan mama Agni menyentak hati Hilmi.
"Be-belum, Ma," bagaimana mungkin ia hamil, jika Arfan belum pernah menyentuhnya sama sekali. Jangankan menyentuh, tidur di satu ruangan saja tidak pernah.
"Bagaimana bisa kamu belum hamil, padahal saat di periksa kondisimu subur? Apakah kamu mengonsumsi obat pencegah kehamilan?" tanya mama Agni yang kembali menyalahkan tatapan sinis dan mengintimidasi kepada menantu keduanya ini.
"Bagaimana Hilmi mau hamil, Ma, kalau Arfan saja di larang menyentuhnya oleh Fika!"
bukan Hilmi yang menjawab melainkan Arfan.
Kedua mata mama Agni melotot sempurna mendengar jawaban Arfan. Ia begitu terkejut mengetahui bahwa Arfan sama sekali belum menyentuh Hilmi.
"Aarrgghh! Fikaaaaaaaaaa!!!!!"
"Apa mau istri pertamamu itu Arfan? Dia yang mengusulkan kamu menikah lagi dengan menjanjikan cucu untuk mama, tapi dia juga yang menghalangi kamu menyentuh Hilmi,"
Kemarahan mama Agni terasa mencapai ubun-ubun. Bagaimana tidak sangat marah, kalau selama empat bulan ini ia menunggu Hilmi hamil, tapi ternyata menantu pertamanya itu mengekang Arfan.
"Arfan, cepat telepon Fika fan suruh dia pulang, bilang kalau mama yang menyuruhmu!"
"Fika masih ada pemotretan, Ma."
"Telepon se.ka.rang!" tekan mama Agni tanpa bisa di bantah.
Mau tak mau Arfan pun menelepon Fika dan mengatakan kalau mama Agni memintanya untuk pulang sekarang. Akhirnya dengan terpaksa, Fika harus izin kepada managernya untuk pulang lebih awal.
"Ada apa mama memintaku pulang lebih awal, padahal aku belum selesai pemotretan?" tanya Fika ketika dirinya sudah tiba di rumah.
"Fika, apa benar kamu melarang Arfan nyentuh Hilmi?"
Fika melotot terkejut, kenapa mertuanya bisa tahu?
"Kalian ngadu sama mama?" bukan menjawab pertanyaan mama Agni, Fika malah balik bertanya kepada Arfan dan Hilmi sambil menatap tajam keduanya.
"Bukan ngadu, aku hanya jujur kenapa sampai sekarang Hilmi belum juga hamil," jelas Arfan membela diri.
"Mau kamu apa, Fika? Kamu menyuruh Arfan menikah lagi agar segera punya anak, tapi kamu melarang Arfan menyentuh Hilmi. Apa gunanya kamu selama ini membiayai pengobatan adik Hilmi, kalau Hilmi saja belum memberikan timbal balik kepada kita karena kamu halangi. kamu waras?"
"Aku waras! Lebih tepatnya pura-pura waras di hadapan kalian dan orang-orang! Kalian nggak tahu gimana sakitnya aku saat tahu aku mandul! Kalian nggak tahu gimana terlukanya aku melihat suami aku menikah dengan wanita lain! Lalu haruskah aku merelakan suamiku menyentuh wanita lain, sedangkan untuk membayangkannya saja aku sudah mau gila! Aku hampir gila gara-gara kalian yang selalu menuntut anak padahal aku mandul!"
Tanpa mereka duga, Fika berteriak mengungkapkan segala kekesalan di dalam hatinya. Wanita itu kini terduduk di lantai dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya, bahunya bergetar hebat. Namun, hatinya terasa plong karena sudah mengungkapkan uneg-uneg yang ia simpan selama ini.
Arfan segera menghampiri Fika merengkuhnya dengan begitu erat. Mengusap rambut istri pertamanya itu dengan penuh kasih sayang. Mama Agni pun turut memeluk Fika, karena sesungguhnya wanita paruh baya itu sangat menyayangi menantunya ini.
"Maafkan mama, sayang."
Sedangkan Hilmi hanya menangis sendirian di sudut kursi. Posisinya terasa serba salah. Ia sungguh tak tega melihat Fika yang seperti itu, ia merasa menjadi wanita paling jahat di dunia karena sudah menjadi orang ketiga, tapi, bukankah Fika yang membawanya kesini? Lalu, Hilmi harus merasa apa, bersalah atau tidak? Ingin rasanya Hilmi berteriak dengan kencang untuk mengurangi himpitan di dadanya.
"Sudah, sayang. Aku dan mama tak pernah memaksa untuk punya anak dari keturunanku. Aku pun sudah mengusulkan untuk ambil anak angkat dari panti, tapi kamu tak mau." Arfan berusaha menenangkan Fika.
"Aku gak mau anak panti, Mas. Aku takut suatu saat mereka di ambil lagi oleh orang tua kandungnya."
Fika memang memiliki karir bagus, memiliki segalanya, tapi sayang dirinya tak bisa memberikan anak untuk Arfan karena dirinya mandul. Hingga jalan inilah yang Fika ambil demi bisa memiliki anak yang jelas asal-usulnya, dari pada mengambil anak angkat di panti yang tak jelas asal-usulnya. Meskipun sampai saat ini dirinya sangat tidak rela Arfan menyentuh wanita lain selain dirinya, karena Fika sangat mencintai Arfan.
Taka da yang peduli kepada Hilmi karena memang wanita itu tak begitu penting bagi mereka selain untuk memberikan mereka keturunan dari darah daging mereka sendiri.
"Sudah dulu, lebih baik kita duduk di kursi dulu dan membicarakan kelanjutannya dengan baik-baik." ajak mama Agni sambil membantu Fika bangkit dari duduknya.
"Lalu bagaimana setelah ini?"
Hilmi hanya menunduk, ia pasrah akan nasibnya setelah ini. Ia hanya bisa menuruti apa yang mereka katakan tanpa bisa berkomentar. Ia pun pasrah jika pada akhirnya Fika meminta Arfan menceraikan dirinya dan menghentikan biaya pengobatan untuk sang adik. Sungguh Hilmi sudah benar-benar pasrah dan putus asa. Biarlah jika pengobatan sang adik di hentikan, dan adiknya tak tertolong, maka ia akan ikut adiknya yang akan menyusul orang tua mereka.
Hilmi bangkit dari duduknya dan hendak pergi dari sana.
"Mau kemana kamu?" Tanya Arfan
"Mau kedalam, Mas. Silahkan lanjutkan pembahasannya, apapun keputusan kalian aku siap dan selalu siap. Aku nurut saja apa yang kalian putuskan, aku ingin sholat dulu."
"Sholat nanti dulu, lebih baik kamu duduk dan kita dengarkan keputusan Fika sama-sama." Pinta mama Agni yang tak bisa di tolak oleh Hilmi. Hingga akhirnya Hilmi menurut dan kembali duduk di tempatnya semula.
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu. "Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya," Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan. Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi ap
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya."Mas,
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba mun
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!""Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!""Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?""Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?"Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja.Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hilmi
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terbagi, hingga ia berpikir untuk memiliki keduanya dan tak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Hati Arfan
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhadapnya. Bukankah perasaan itu tak penting? Bagaimanapun perasaan Hilmi terhadap arfan atau bagaimanapun perasaan Arfan terhadap Hilmi bukankah lebih baik mereka tak saling mengetahui? Karena hubungan mereka tak seserius itu. Mereka h