Share

3. Apakah Aku Berhak Untuk Marah?

Langkahnya ia bawa menuju lift untuk karyawan, menekan tombol lantai satu bersama para karyawan lainnya yang hendak turun untuk makan siang. Semua yang ada di dalam lift sedikit menepi melihat istri bos mereka memasuki lift. Hilmi menebar senyum memberitahu bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi yang melihat kejadian barusan mereka tahu bahwa senyum itu hanya sebagai penutup luka lara yang ada di hatinya.

"Hati-hati, Bu," ucap salah seorang karyawan perempuan yang ada di samping Hilmi saat Hilmi sudah mulai melangkah keluar dari lift tersebut.

"Iya, terimakasih, saya permisi dulu." jawab Hilmi sambil memberikan senyum singkat.

"Maaf, Bu, bapak meminta saya untuk mengantar ibu," pak Kasim, supir perusahaan menghampiri Hilmi yang sudah berdiri di pintu lobi perusahaan.

"Nggak usah, saya sudah pesan taksi," jawab Hilmi menolak.

"Tapi, Bu, ini perintah bapak!"

"Maaf, taksi saya sudah datang, saya permisi."

Tanpa menghiraukan pak Kasim, Hilmi melangkah menuju taksi yang ada di depan gerbang kantor. Hilmi menghembuskan nafas kasar setelah ia mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang. Perlahan air mata yang sedari tadi ia tahan tumpah begitu saja tanpa di tahan lagi.

"Sesuai alamat yang ibu sebutkan tadi kan?" tanya supir taksi sambil mengecek handphonenya.

"Ganti, Pak. Ke rumah sakit Bina Artha saja, Pak."

"Baik, Bu."

Sepanjang perjalanan, Hilmi menatap kosong ke arah luar jendela. Hati dan pikirannya berperang antara pergi atau bertahan. Jika ia pergi maka ia akan terbebas dari belenggu rumah tangga yang menyakitkan ini, tapi nyawa sang adik akan menjadi taruhannya. Namun, jika ia bertahan hatinya akan semakin sakit dan terluka. Kadang, terbesit di hatinya untuk menyalahkan nasibnya yang tak punya siapa-siapa selain sang adik yang kini terbaring koma di rumah sakit. Percuma ia punya suami, tapi tak bisa menjadi sandaran untuknya, justru menjadi racun dalam hatinya.

"Ayah, ibu, seandainya kalian masih ada, mungkin aku tak akan semenderita ini. Mungkin aku tak 'kan bernasib menjadi istri kedua. Mungkin aku tak akan mendapat hinaan pelakor dari tetangga suamiku. Mungkin ...."

"Ibu, ini sangat menyakitkan. Aku bukan tak bisa melawan, tapi aku takut jika aku melawan maka akan berdampak pada pengobatan adik, Bu. Aku lemah, Bu. Aku lelah. Hanya adik satu-satunya yang ku punya, tak mungkin aku mengedepankan egoku demi kebahagiaanku dengan mengorbankan hartaku satu-satunya."

"Ibu, apakah kau bisa melihat penderitaan kami disini?"

****

"Mas, aku langsung ke lokasi ya," pamit Fika setelah mereka selesai makan siang.

"Iya, sayang. Hati-hati ya,"

"Siap!"

"Pulangnya jam berapa?"

"Mungkin malam, Mas,"

"Oh, oke. Mas tunggu di rumah ya."

"

Arfan memasuki mobilnya, sedangkan Fika memasuki taksi yang sudah di pesannya.

Setibanya di kantor, Arfan gegas menemui Rey, skertarisnya dan menanyakan di mana bekal makanan yang tadi di bawakan Hilmi. Arfan akan memakan bekal yang di bawakan Hilmi untuknya, berharap Rey tidak memakan makanan tersebut.

"Ini, Pak." Rey menyerahkan kotak makanan yang sudah kosong kepada Arfan.

"Kok enteng? Kamu makan isinya?" tanya Arfan menatap tajam Rey yang kini sudah ketakutan.

"I-iya, Pak. Ibu memberikannya kepada saya dan beliau menyuruh saya berbagi kepada satu teman lagi,"

"Kenapa kau memakannya?" Arfan menarik kerah baju Rey.

"Ampun, Pak. Saya hanya menjalankan perintah ibu," kata Rey dengan wajah ketakutan

Arfan membuang napas kasar, ia melepaskan cengkeramannya pada Rey dan meraup wajahnya.

"Ya sudah," kata Arfan lirih sambil melangkah ke ruangannya dengan menenteng kotak makanan.

"Huft, susah bener punya istri dua!"

Arfan merasa begitu bersalah kepada Hilmi. Baru kemaren ia berjanji tak akan melukai wanita itu, berjanji akan bersikap adil, tapi nyatanya hari ini ia sudah kembali membuat Hilmi terluka. Hatinya tak bisa tenang karena merasa bersalah. Ia merogoh ponselnya dan menghubungi istri keduanya tersebut.

"Ada apa, Mas?" tanya Hilmi diseberang

"Kamu di mana?"

Bukannya menjawab, Arfan Malih balik bertanya.

"Di rumah sakit, Mas,"

"Owh, oke."

Setelahnya Arfan langsung mematikan sambungan teleponnya, membuat Hilmi yang ada di sana heran, tapi tak begitu di perdulikan oleh wanita itu karena menurutnya Arfan berhak bertindak sesuka hatinya kepada Hilmi.

Arfan merapikan meja kerjanya, setelahnya ia menghampiri sang sekertaris dan meminta agar Rey yang memimpin rapat siang ini. Ia akan pulang, lebih tepatnya ia akan menemui Hilmi di rumah sakit dan akan meminta maaf.

Setibanya di rumah sakit, Arfan langsung menuju ruang rawat Rian adik iparnya. Ia mengetuk pintu, Hilmi yang sedang duduk di sofa bangkit dan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, seseorang langsung menubruk tubuhnya, memeluknya dengan erat membuat tubuh Hilmi menegang.

"Maaf,"

"Maafkan aku, Hil,"

"M-mas, kok ada disini?" Hilmi berusaha mengurai pelukan mereka, tapi Arfan memeluknya begitu erat.

Tanpa sepatah katapun, Arfan menarik tangan Hilmi untuk keluar dari ruang rawat tersebut. Ia ingin mengajak Hilmi ke suatu tempat yang sekiranya nyaman untuk berbincang tanpa ada gangguan dokter maupun perawat.

"Mau kemana, Mas?" tanya Hilmi heran karena Arfan tiba-tiba membawanya keluar tanpa dirinya sempat mengambil tas yang ada di sofa.

"Ikut saja sebentar, disini kurang nyaman!" kata yang terus melangkah sambil menggandeng tangan Hilmi.

Hilmi tak lagi berkata, ia kini berusaha mensejajarkan langkahnya dengan sang suami yang entah akan membawanya ke mana. Bahkan saat memasuki mobil, keduanya sama-sama terdiam. Mobil melaju membelah jalanan. Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti di sebuah restoran mewah.

Keduanya turun dan memasuki restoran, seorang waiters menghampiri keduanya.

"Selamat datang, Tuan, Nona," sambut sang waiters dengan ramah kepada keduanya.

"Ya, sediakan satu ruang VIP!"

"Baik, Tuan, Nona, mari ikut saya."

Mereka berdua mengikuti langkah sang waiters menuju lantai dua dan memasuki sebuah ruang yang di atasnya bertuliskan RUANG VIP.

Selesai memesan makanan, keduanya masih terdiam tanpa ada yang berniat untuk memulai pembicaraan.

"Mas, kenapa membawaku kemari?" tanya Hilmi yang merasa dirinya sudah terlalu lama berada di sini.

"Aku tahu kamu belum makan siang. Setelah selesa makan nanti, ada yang mau aku omongin,"

"Oh, oke,"

Satu jam berlalu, tapi Arfan masih saja bungkam padahal mereka sudah menghabiskan makanan sejak lima belas menit yang lalu.

"Aku minta maaf," ujar Arfan

"Untuk apa?"

"Maaf untuk kejadian tadi siang," kata Arfan penuh sesal dengan menatap lekat manik coklat milik Hilmi.

"Nggak apa-apa kok, Mas." jawab Hilmi santai.

"Kamu nggak marah?" tanya Arfan heran.

"Apa aku berhak untuk marah?" Hilmi balik bertanya dengan seulas senyum di bibirnya.

"Silahkan! Jika kau ingin marah, bahkan jika kau mau menamparku silahkan! Aku akan menerima karena itu adalah konsekuensi yang harus aku terima atas kesalahanku padamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status