“Tunggu saja suamimu di kamar ini, nanti dia akan datang."
Permintaan ibu mertuanya seketika membuat Helena gugup bukan main. Wanita itu berusaha untuk tetap memancarkan senyuman, namun dia tahu, bahwa telapak tangannya kini sudah basah dengan keringat.Hari itu, adalah hari pernikahannya. Helena mendapatkan permintaan langsung dari Rebecca, mertuanya, untuk menikahi putranya. Awalnya, Helena menolak dengan keras. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang tak bertemu dengannya sama sekali?Namun, satu ucapan dari Rebecca membuat Helena tak bisa mengelak."Jika kamu menikah dengan putraku, aku akan melunasi seluruh utang yang ditinggalkan oleh orang tuamu, dan juga memindahkan kakakmu ke rumah sakit yang lebih memadai."Tawaran itu membuat Helena berubah pikiran. Ia mengingat sosok kakak laki-lakinya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit pasca mengalami kecelakaan hebat tempo hari. Helena tak tega melihat Arkan yang mati-matian berjuang melunasi utang keluarga mereka. Namun, sekeras apa pun usaha Helena untuk membantu, tetap saja hutang yang ditinggalkan orang tuanya seakan tak berkurang.“Baiklah, Tan. Aku akan menikah dengan putra Tante.”Karena persetujuan tersebut, Helena kini terduduk manis di atas sebuah ranjang yang bertabur kelopak mawar merah. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dekorasinya sungguh indah. Melihat ini semua, Helena bisa merasakan seberapa besar antusias suami barunya, dan juga keluarganya, untuk menyambut malam pertama mereka.“Ternyata begini rasanya jadi pengantin baru.” Helena menyentuh dada yang berdegup hebat. Ia sungguh tak sabar bertemu dengan suaminya sendiri.Pasalnya, keluarga Maverick memiliki sebuah peraturan yang unik. Siapa pun anggota keluarga yang hendak menikah, maka orang tersebut dan calonnya tidak diizinkan untuk saling bertemu selama seminggu menjelang pernikahan.Bahkan, pesta pernikahannya hanya diadakan secara eksklusif, dan keduanya mengucap janji di latar yang berbeda, sehingga Helena pun belum mengetahui wajah suaminya sendiri.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu nan kasar terdengar sangat lantang. Segeralah Helena bangkit dan membukakan pintu tersebut. Sebelum itu, ia merapikan penampilannya terlebih dahulu dan menyunting raut wajahnya agar tampak ceria. Ia tak mau terlihat ketus di hadapan suami barunya.Bruk!!Begitu terkejut Helena saat ia menangkap tubuh kekar yang tiba-tiba saja hampir jatuh menimpanya.“Mas, kamu—“Helena gemetar saat menyadari bahwa suaminya tengah mabuk berat. Kaki wanita itu seakan menjadi lemah tak bertulang. Namun, keadaan memaksanya untuk tetap kuat.Helena memapah dan merebahkan tubuh sang pria di atas ranjang. Entah apa yang terjadi, Helena sama sekali tidak mengerti.“Sshh!” desis pria itu sambil memegangi kepalanya yang ngilu.“Mas, kamu kenapa? Apa yang membuatmu seperti ini?” tanya Helena. Ia begitu khawatir dengan keadaan suaminya.Lantunan suara lembut milik Helena berhasil membuat pria itu menoleh ke arahnya. Dalam hitungan detik mereka sempat saling bertukar pandang terlebih dahulu sebelum akhirnya sang pria menarik tubuh Helena.“Mas, tolong lepaskan.” Helena memberontak. Tetapi tak butuh waktu lama untuk Helena kembali terdiam dan pasrah. Dirinya sadar bahwa mulai saat ini dia sudah menjadi seorang istri. Dan kewajiban utama istri adalah melayani suami sendiri. Meski suaminya sedang di bawah pengaruh alkohol sekalipun.Lemahnya tubuh Helena membuat pria itu dengan mudah mengambil kendali dan mengurung Helena di bawah tubuhnya.Jantung Helena berdegup tak karuan. Tangannya mencengkeram sprei dengan sedikit gemetar. Tenggorokannya terasa kering dan lidahnya menjadi kelu. Haruskah mereka melakukannya sekarang? Tidak bisakah mereka menundanya hingga Helena siap?"Mas, aku ... eummph!!" Helena langsung terbungkam tatkala bibir tipis pria itu menyentuh bibir ranumnya. Helena bisa merasakan aliran panas menjalari tubuhnya.Helena mencoba melarikan pandangannya dan menoleh ke samping demi menghindari ciuman tersebut. Namun, dengan gesit lelaki itu mengembalikan dirinya pada posisi semula dan menyesap habis seluruh rasa manis pada bibirnya.Napas Helena terpogoh-pogoh saat pria tersebut melepaskan bibirnya dan sedikit memberi jarak di antara wajah mereka. Ingin sekali Helena menyedot seluruh udara di ruangan itu untuk menormalkan kembali napasnya yang sesak.Dalam posisi tersebut, tanpa sadar Helena merenungi ketampanan pria di hadapannya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa pria ini adalah Dion, suaminya sendiri.Tetapi meski begitu, ada banyak pertanyaan yang menari-nari di kepala Helena. Mengapa mereka harus melakukan malam pertama dalam keadaan konyol seperti ini? Bukankah seharusnya mereka melakukannya dalam keadaan sadar satu sama lain? Lalu kenapa Dion lebih memilih untuk memabukkan diri di malam yang spesial ini?Tiba-tiba saja sebuah sentuhan mengembalikan Helena pada kenyataan. Ia sedikit terkejut saat tangan kasar pria itu menyentuh pipinya dengan lembut dan penuh kasih. Helena semakin gugup saat tatapan mereka bertemu."Cantik." Pujian pria itu bercampur dengan suaranya yang dalam dan berat. Telinga Helena hampir meleleh saat mendengarnya.Tak lama kemudian, kegugupan kembali meluap saat lelaki tersebut menurunkan tali lingerie yang menghiasi kedua pundaknya. Tak hanya itu, bibir pria itu bahkan mulai menyesap leher putih Helena, meninggalkan jejak merah, serta membuat sang wanita mendesah nikmat.“Ah…”Helena membiarkan pria tersebut berbuat sesukanya dan memberi akses untuk berbuat lebih jauh lagi. Dan akhirnya, malam itu pun terjadi. Mereka melakukan sesuatu yang seharusnya memang dilakukan pasangan suami-istri. ***Kring!Suara dering alarm tiba-tiba membangunkan Helena. Wanita itu meregangkan tangannya, mencoba mencari keberadaan suaminya.“Mas?” panggilnya di tengah-tengah kesadarannya. Namun, wanita itu sama sekali tak menemukan suaminya.Mengapa Dion tidak membangunkannya? Apakah Dion tahu betapa lelahnya Helena dan bermaksud memberinya kesempatan untuk terus beristirahat? Jika memang benar begitu, bukankah suaminya terkesan manis sekali?Tapi tetap saja. Helena khawatir jika dia akan di cap sebagai wanita tidak tahu diri karena bangun kesiangan di hari pertamanya menjadi istri dan menantu di keluarga Maverick.Meski badannya masih terasa remuk dan jalannya tertatih-tatih, sebisa mungkin Helena sampai di ruang makan tepat waktu.Syukurlah, saat tiba di sana, semua anggota keluarga belum memulai sarapannya. Namun, sepertinya ada yang aneh. Ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Dion sedikitpun. Bukankah seharusnya pria itu sudah ada sejak tadi?"Helena, ayo duduk. Jangan sungkan-sungkan. Bagaimanapun juga, sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Rebecca berbicara setelah melihat ekspresi Helena yang tampak kebingungan. Ia berpikir bahwa Helena tengah malu-malu lantaran ia tidak terbiasa dengan lingkungan baru ini.Helena terjaga dari lamunannya dan segera menatap Rebecca. "Ma, di mana Mas Dion?"Rebecca mengernyitkan kening. "Dia tidak memberitahumu?""Memberitahu apa?" Helena semakin kebingungan."Kemarin setelah acara resepsi selesai, Dion pergi untuk menangani masalah kantor yang sedang membutuhkan perhatiannya. Dia baru akan pulang pagi ini dan berjanji untuk segera mengirimkanmu chat pribadi. Apakah dia tidak mengirim pesan apa pun?”Kedua manik Helena membulat sempurna. Kilatan petir baru saja menyambar jiwanya dengan sangat hebat. Tubuhnya yang lemah mungkin sudah jatuh ke lantai saat ini jika ia tidak segera menahan dirinya.Helena berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Namun, rasa sakit pada bagian bawah tubuhnya dan bercak darah segar yang menghiasi tempat tidurnya membuat dia yakin bahwa semua ini adalah kenyataan.Lalu, siapa pria itu? Siapa pria yang telah menghabiskan malam panjang bersamanya?"Helena.”“I-iya, Ma. Sepertinya aku melewatkan pesan Mas Dion. Sejak kemarin aku belum membuka ponselku sama sekali,” kata Helena jujur.Dengan gemetar, tangan lentik itu meraih sebuah kursi dan menempatinya. Pikirin Helena menjadi kosong dalam sekejap. Tak ada sedikitpun tenaga dalam dirinya untuk menyentuh santapan yang ada di hadapannya."Pagi, Ma, Pa." Suara bariton yang khas menyapa telinga Helena dengan sejuk. Dia ingat sekali suara itu. Dengan keberanian penuh Helena mengangkat kepala dan melihat sosok yang baru saja datang.Dan benar saja, dia adalah pria yang telah menghabiskan malam indah bersama dengannya."Helena, perkenalkan. Ini Willson, kakak kandungnya Dion.""Ka-kakak?" Helena tergagap. Namun, Rebecca justru membalasnya dengan anggukan penuh antusias sambil memasang senyuman lebarnya.Helena menelan saliva dengan berat sebelum ia melihat kembali ke arah Willson. Begitu terkejut dirinya saat menyadari bahwa sejak tadi Willson tengah memperhatikannya. Pria tersebut melirik dengan sorot yang cukup tajam. Tapi, ekspresinya tetap datar. Helena tidak bisa membaca apa yang ada di pikiran pria itu saat ini. Belum selesai Helena berperang dengan keterkejutannya, tiba-tiba saja sebuah kejutan lain datang."Dion." Titah Rebecca saat ia menatap sosok di belakang Helena yang baru saja tiba.Dengan ragu-ragu Helena menoleh dan mendapati pria yang belum pernah dilihatnya. Inikah Dion, pria yang berstatus sebagai suami sahnya? Pria yang seharusnya bersamanya tadi malam? Dada Helena semakin sesak. Sepertinya ada sesuatu yang mengunci tubuhnya karena ia tak dapat bergerak sedikitpun. Ingin sekali Helena menenggelamkan dirinya ke inti bumi daripada h
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” seru Willson. “B-bicara? Denganku?” “Ya.”Berhubung kantor Willson searah dengan lokasi pemotretan Helena, jadi pria itu mengajak Helena untuk berangkat bersama tanpa sepengetahuan siapa pun. Tentu saja Helena merasa keberatan dan ingin menolak. Tapi mengetahui bahwa Willson ingin membicarakan sesuatu dengannya, pada akhirnya Helena menerima ajakan tersebut.Keheningan menyelimuti Helena dan Willson. Meskipun mereka sedang bersama, namun suasananya hampa seakan mereka sedang tidak bersama siapa-siapa. Merasa sedikit gugup saat berdekatan dengan Willson, sebisa mungkin Helena memberikan jarak cukup jauh di antara mereka. “Sebenarnya apa yang ingin dia katakan? Mengapa sejak tadi hanya diam saja? Apakah ini ada kaitannya dengan kejadian semalam? Tapi kenapa dia terlihat tenang sekali? Atau jangan-jangan dia sudah melupakannya dan ingin membicarakan tentang hal lain?” batin Helena dengan segala pertanyaannya.Namun, sayangnya itu semua ti
“Kau sudah menjadi istriku, Helena. Sudah kewajibanmu untuk melayaniku.” Ucap Dion, jemarinya mulai menyentuh dan meraba kulit halus Helena. Seketika, tubuh Helena semakin merinding. Dia tidak menginginkan ini. Tubuh wanita itu membeku, seakan tak memiliki tenaga untuk berteriak. Puas dengan sentuhan tersebut, Dion menatap bibir ranum Helena. Tampak sangat manis dan menggiurkan. Wajah istrinya yang terlihat ketakutan, justru semakin membangunkan gairahnya. ”Mas, tolong berikan aku waktu. Aku mohon,” gumam Helena yang mulai terisak. Dia pikir permohonannya akan membuat Dion luluh. Namun, justru hal itu membuat suaminya semakin penasaran dan ingin segera mencicipinya.”Aku bukan orang penyabar yang mau menunggu keputusan orang lain, Helena.” Kali ini Dion tampak lebih serius. Setelah berkata demikian, dia langsung mencengkeram pipi Helena dan menempelkan bibir mereka dengan paksa.Helena memberontak. Dia ingin berteriak sekeras mungkin tapi bibir Dion membungkamnya. Semakin Hele
“Apa yang terjadi padamu?”Helena tertegun. Ia baru paham kalau ternyata Willson menyadari luka buatan Dion di lehernya. Secepat kilat Helena menutupi luka segar tersebut.“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu?”“Aku ... aku tidak kenapa-napa. Ini hanya luka kecil saja.”“Sekali lagi aku tanya. Apa yang terjadi padamu, Helena?!” Willson mulai tegas. Dan ya, ketegasan pria itu membuat Helena gemetar. Ini adalah kali pertamanya ia mendengar Willson berbicara dengan lantang.“Jangan bilang kalau ini ulahnya Dion,” tambah Willson dengan intonasi yang kembali rendah.Helena menggeleng cepat. “Tentu saja bukan. Kemarin aku jatuh dan—““Kamu jatuh dan menyebabkan luka di leher? Jangan konyol, Hel. Kamu tidak bisa membohongiku.”“Aku tidak bohong, Kak.”Willson semakin penasaran. Ia membuka paksa cardigan yang dipakai Helena dan mendapati beberapa luka serta lebam lainnya. “Sekarang kamu masih mau bilang bahwa kamu terjatuh?” Helena mengaku kalah. Dia tak bisa mengelak lagi.
"Will, siapa yang sakit?" Rebecca mengernyit."Tidak ada." Respon singkat Willson membuat semua orang saling bersitatap satu sama lain."Lalu untuk apa kamu memanggil dokter ke sini kalau tidak ada yang sakit?""Sekedar memeriksa kondisi kesehatan kita semua," jawabnya santai. Sekilas ia melirik ke arah Dion, merasa geli dengan wajah gugup adiknya tersebut."Jangan ngaco, Will. Kita semua baik-baik saja," sambar Manda."Ya, Bibi benar. Kita memang baik-baik saja. Tapi mungkin tidak dengan yang lain. Aku ingin semua orang di rumah ini diperiksa kesehatannya. Termasuk para pelayan dan sopir sekalipun. Minimal kita harus memastikan bahwa semua penghuni di sini dalam keadaan sehat."Bagi mereka, keputusan Willson terdengar tidak masuk akal. Untuk apa ia repot-repot melakukan hal itu hanya demi mengetahui kondisi kesehatan orang lain? Apalagi ini adalah kali pertamanya Willson melakukan hal bodoh tersebut. Selama ini dia selalu bersikap acuh dan tak peduli dengan kondisi siapapun."
“Tidak. Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya.” Helena dengan lantang membalasnya. Dia panik sehingga tidak bisa memikirkan jawaban lain selain yang dilontarkan.Melihat raut wajah Helena yang gugup seperti itu, Dion memicingkan mata. “Kau yakin?” tanyanya.Helena mengangguk tegas, namun bibirnya terasa kaku. Ia tak bisa berkata saat menjawabnya. Tak diduga, Dion malah tertawa kecil. Entah apa yang ditertawakan oleh pria itu, Helena sama sekali tidak mengetahuinya. Yang dia tahu hanyalah dirinya yang sedang berada di ujung jurang.“Tapi sepertinya sikap Willson berkata lain.”“Ma-maaf, Mas. Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan,” titah Helena.Dion mendekat, memotong jarak di antara mereka. Dengan santai pria itu mengambil sedikit rambut Helena dan memainkan dengan jari-jemarinya. Selama sepersekian detik, jantung Helena rasanya seperti berhenti. Dia merasa sesak dan kesulitan untuk bernapas.“Bukankah Willson tampak sangat peduli padamu, hm?”“Peduli bagaimana, Ma
“Terima kasih.”Helena menatap Willson tulus. Tatapan wanita itu tampak sangat teduh dan damai. Suaranya yang selembut kapas mengalir di telinga Willson dengan indah. Sungguh ucapan terima kasih yang begitu anggun, namun Willson tidak tahu Helena berterimakasih untuk apa.Willson mengernyit, membalas tatapan wanita itu dengan segala kebingungannya. Menunjukkan bahwa ia membutuhkan penjelasan lebih.“Berkat Kakak, Dion sudah tidak pernah melukaiku lagi. Dia tidak pernah melayangkan tangannya untuk memukulku.”Sekilas, Willson mengamati tubuh Helena. Bekas luka dan memar yang menghiasi tubuhnya memang sudah memudar drastis, bahkan nyaris tak terlihat lagi. Selain itu, tidak ada juga tanda-tanda luka atau lebam baru di tangan dan kakinya. “Sama-sama,” jawab Willson singkat diikuti senyuman tipis.“Aku berjanji untuk segera membalasnya. Kakak tinggal katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk balas budi pada Kakak,” titah Helena. Dia sungguh merasa harus membalas segala kebaikan
“Ti-tidak! Tentu saja tidak.” Helena langsung membantah, mematahkan pemikiran bodoh sahabatnya. Kalau saat ini Mia tidak sedang menjadi pusat perhatian banyak orang, Helena pasti sudah membungkam mulut wanita itu. Bagaimana bisa dia berbicara seenaknya di hadapan Willson? Menyadari Helena panik, Mia dan suaminya terkekeh sementara Willson hanya melirik Helena dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Untuk mengalihkan topik pembicaraan dan kabur dari pembahasan konyol ini, Helena menyapa suami Mia yang sejak tadi dia acuhkan. Meski sapaannya terdengar akrab, tapi Helena berusaha untuk tidak berlebihan demi menjaga perasaan sahabatnya. Percakapan hangat mereka terputus saat pengumuman digemakan di ruangan tersebut. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa kini sudah memasuki waktunya pesta dansa. “Di mana pasanganmu, Helena? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawa pasangan?” tanya Mia. “Aku ... aku tidak tahu harus mengajak siapa.” “Astaga, kau punya beberapa teman pria, ‘kan? Ken