Share

Menantikan Masa Lalu

“Apa yang terjadi padamu?”

Helena tertegun. Ia baru paham kalau ternyata Willson menyadari luka buatan Dion di lehernya. Secepat kilat Helena menutupi luka segar tersebut.

“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu?”

“Aku ... aku tidak kenapa-napa. Ini hanya luka kecil saja.”

“Sekali lagi aku tanya. Apa yang terjadi padamu, Helena?!” Willson mulai tegas. Dan ya, ketegasan pria itu membuat Helena gemetar. Ini adalah kali pertamanya ia mendengar Willson berbicara dengan lantang.

“Jangan bilang kalau ini ulahnya Dion,” tambah Willson dengan intonasi yang kembali rendah.

Helena menggeleng cepat. “Tentu saja bukan. Kemarin aku jatuh dan—“

“Kamu jatuh dan menyebabkan luka di leher? Jangan konyol, Hel. Kamu tidak bisa membohongiku.”

“Aku tidak bohong, Kak.”

Willson semakin penasaran. Ia membuka paksa cardigan yang dipakai Helena dan mendapati beberapa luka serta lebam lainnya.

“Sekarang kamu masih mau bilang bahwa kamu terjatuh?”

Helena mengaku kalah. Dia tak bisa mengelak lagi.

“Jujurlah. Aku tidak akan memberitahukannya pada siapa pun.” Willson berusaha membujuk Helena dengan cara yang lebih lembut. Ia tahu pasti Dion sudah mengancam Helena hingga wanita itu tak berani mengatakannya.

“Kakak benar. Ini memang perbuatan Dion.”

Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Tangannya mengepal erat hingga menampakkan urat-urat tegasnya.

“Anak itu!!”

“Kak, tolong bicara pelan-pelan. Nanti ada yang mendengarnya.”

Willson menurut. Ia merendahkan kembali intonasinya dan mencoba mengendalikan emosi.

“Apakah ini karena aku telah merusakmu?”

Willson sangat khawatir. Meski dia tidak memiliki perasaan apa pun pada Helena, tapi entah mengapa ia sangat tak terima jika ada yang berani menyakiti wanita itu. Mungkin hal ini disebabkan oleh perasaan bersalah yang terus menghantuinya.

“Sepertinya bukan karena itu saja, Kak. Sejak awal bertemu, dia memang sudah memperlakukanku dengan kasar. Bahkan dia menunjukkan secara terang-terangan bahwa aku tidak pantas untuknya.”

“Lalu mengapa kamu masih mempertahankan pernikahan ini? Dia tidak mencintaimu, Hel.”

“Tapi aku mencintainya,” bantah Helena.

Seketika suasana menjadi hening. Entah apa yang ada di pikiran Helena hingga ia mengeluarkan kalimat bodoh itu.

Cinta? Tentu saja tidak ada sedikitpun cinta untuk Dion. Meski ia sudah berusaha untuk mencintai pria itu, namun nyatanya sangat sulit. Tak ada alasan yang dapat membuat Helena jatuh cinta padanya sekarang.

“Kamu mencintai orang seperti dia?”

“Ya. Aku sangat-sangat mencintainya.” Helena tidak berani menatap Willson. Ia takut pria itu dapat membaca kebohongannya lagi.

Willson membeku. Dia sempat berpikir apakah Helena sudah tidak normal? Bagaimana bisa ada wanita normal mencintai pria yang terus menyiksanya? Namun, dia juga tidak memiliki hak untuk mengatur perasaan siapa pun.

Tampaknya Willson sudah tak mau membahas hal itu lebih jauh lagi. Ia pergi sejenak mengambil P3K dan mengobati luka-luka di tubuh Helena.

“Ini sudah masuk ke dalam tindakan kriminal, Hel. Dion melakukan kekerasan padamu. Tapi kamu malah diam saja.”

“Aku bisa mengatasi masalahku sendiri, Kak. Akan ku pastikan Dion luluh suatu hari nanti. Mungkin bukan sekarang, tapi aku yakin saatnya akan segera tiba.”

Sambil mengobati luka tersebut, sesekali Willson mencuri pandang ke arah Helena. Sepertinya dia harus mengambil tindakan agar Dion segera menyudahi tindakan KDRT-nya.

“Kamu adalah wanita baik dan kamu pantas mendapatkan yang baik juga.” Kalimat terakhir yang Willson ucapkan sebelum ia pergi meninggalkan Helena sendirian. Sementara Helena hanya terdiam bisu seraya memandang punggung Willson yang mulai lenyap dari pandangannya.

Malam ini Dion memutuskan untuk menginap di apartemennya. Melihat Helena setiap hari sungguh membuatnya jenuh. Selain itu, di apartemen ini juga ada Monica, kekasih dan belahan jiwanya.

Monica, wanita yang sudah memegang status sebagai pacar Dion selama tiga tahun terakhir. Mereka bahkan tinggal bersama di apartemen ini sebelum akhirnya Dion diminta untuk pulang ke kediaman Maverick setelah menikah dengan Helena.

Dion mengambil kesucian Monica sejak mereka baru menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Baginya itu merupakan sebuah kehormatan tersendiri. Dia pikir dirinya akan melakukan hal yang sama pada Helena. Tapi ternyata istrinya itu sudah tidak suci lagi. Ada pria lain yang telah mengambil kesempatannya lebih dulu.

Itulah salah satu alasan yang membuat Dion murka. Monica saja yang berstatus sebagai pacar rela menyerahkan mahkotanya untuk dia, lantas mengapa Helena berani menyerahkannya pada pria lain?

“Istri kamu tahu kalau kamu pergi ke sini, Mas?”

“Untuk apa aku memberitahunya? Lagipula tidak penting juga, ‘kan.”

“Sebegitu bencinya kamu pada Helena?”

“Ya, tentu saja. Dan apakah kamu tahu? saat aku menyentuh dia, miliknya sudah tidak rapat lagi. Aku rasa sepertinya sudah ada pria lain yang mencobanya lebih dulu daripada aku,” ujar Dion.

Walau tampangnya terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya Dion merasa sedikit kecewa. Dia sungguh tak menyangka bahwa sudah ada pria lain yang mencicipi tubuh Helena sebelum dirinya. Tapi meskipun begitu, setidaknya ini bisa menjadi alasan dia untuk lebih membenci wanita itu lagi. Alasan untuk terus menyiksanya tanpa ampun.

Monica terlihat syok. Ia reflek menutup mulutnya yang sedikit terbuka.

“Astaga, dasar wanita murahan. Aku kasihan padamu karena telah menikahi dia, Mas.” Monica menyandarkan kepalanya di bahu Dion.

“Kalau bukan karena permintaan Mama dan Papa, aku tidak akan mau menikah dengannya. Semua ini kulakukan agar mereka semakin percaya padaku dan menyerahkan sebagian tanggung jawab perusahaan mereka. Selama ini hanya Willson-lah yang mereka percayai.”

“Sabar, Mas. Aku yakin sebentar lagi posisi Willson akan tergantikan olehmu, kok.”

Dion tersenyum lantas mengecup dahi Monica. “Aku senang memiliki wanita sepertimu, sayang.”

Monica sangat bangga mendengarnya. Ia pun memeluk tubuh Dion dengan manja. Tidak bisa menahan diri lagi, mereka berdua bercanda ria dan ‘bersenang-senang’ sesaat.

Tetapi meskipun begitu, rasa senang Monica tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan sesuatu. Tanpa segan Monica bertanya apakah Dion juga memberikan uang bulanan pada Helena atau tidak.

Sesuai yang diharapkan, Dion berkata tidak. Selama ini Helena menanggung kebutuhan hidupnya sendiri. Dan syukurlah wanita itu juga tak pernah memintanya.

Di akhir percakapan sebelum tidur bersama, Monica menyampaikan pesan agar Dion berhati-hati dengan Helena. Jangan sampai pria itu termakan oleh tipu dayanya. Monica selalu bersemangat memanas-manasi Dion agar lelaki itu semakin membenci sang istri.

Kalau saja Dion tidak mengiming-imingi tambahan uang jajan pada Monica, pasti wanita itu tak akan mengizinkan Dion untuk menikah dengan Helena sejak awal. Sudah jelas semua ini Monica lakukan demi keuntungan pribadi.

Beberapa hari terakhir ini Dion menginap di apartemen pribadinya dengan tujuan menenangkan diri. Namun, pagi ini dia harus kembali ke rumah karena orang tuanya sudah rewel dan terus menghubunginya.

Mereka merasa kasihan pada Helena. Belum ada sebulan menikah, tapi Dion sudah keluyuran tidak jelas dan terus meninggalkannya. Pria itu menjadikan kesibukan kantor sebagai bahan alasan.

Seperti biasa, keluarga Maverick selalu berkumpul saat waktu sarapan tiba. Di hadapan semua orang, Dion memperlakukan Helena bak seorang ratu.

“Sayang, coba kamu cicipi yang ini, ya?” Dion menunjuk ke salah satu menu sarapan di meja makan tersebut.

Helena membalasnya dengan anggukan kecil. Ia benar-benar tak bisa merespon lebih. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Willson memperhatikan gerak-gerik Dion dengan perasaan jijik.

“Duh, romantis banget sih kalian. Setiap hari ada saja kelakuan yang membuat kami iri,” gumam sang bibi.

“Namanya juga anak muda, Ma,” balas suaminya.

Di saat yang sama, adik Rebecca itu melirik Willson dengan sinis.

“Kamu kapan menikah, Will? Adik kamu saja sudah duluan. Nanti jadi perjaka tua, lho.”

Dalam sekejap semua mata langsung tertuju pada Willson saat bibinya berkata demikian.

“Bukan urusan kalian.”

“Will, benar apa yang dikatakan bibimu. Akan lebih baik jika kamu mencari pasangan juga. Tidak mungkin ‘kan kamu akan sendirian terus? Kamu butuh pendamping hidup,” tutur ayahnya.

Willson hanya diam. Daripada membalas obrolan basi itu, lebih baik dia menahan diri. Lagipula apa yang dikatakan sang ayah tidak sepenuhnya salah. Dia memang ingin berumah tangga seperti yang lain. Tapi tidak untuk saat ini. Hatinya masih menantikan masa lalunya.

“Permisi, Tuan. Dokter yang Anda panggil sudah datang,” ujar seorang pelayan.

“Suruh dia masuk sekarang.”

“Baik.”

Lagi. Untuk kesekian kalinya semua mata tertuju pada Willson. Kali ini sorot mereka seolah dipenuhi tanda tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status