Share

Kesepakatan

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” seru Willson.

“B-bicara? Denganku?”

“Ya.”

Berhubung kantor Willson searah dengan lokasi pemotretan Helena, jadi pria itu mengajak Helena untuk berangkat bersama tanpa sepengetahuan siapa pun. Tentu saja Helena merasa keberatan dan ingin menolak. Tapi mengetahui bahwa Willson ingin membicarakan sesuatu dengannya, pada akhirnya Helena menerima ajakan tersebut.

Keheningan menyelimuti Helena dan Willson. Meskipun mereka sedang bersama, namun suasananya hampa seakan mereka sedang tidak bersama siapa-siapa. Merasa sedikit gugup saat berdekatan dengan Willson, sebisa mungkin Helena memberikan jarak cukup jauh di antara mereka.

“Sebenarnya apa yang ingin dia katakan? Mengapa sejak tadi hanya diam saja? Apakah ini ada kaitannya dengan kejadian semalam? Tapi kenapa dia terlihat tenang sekali? Atau jangan-jangan dia sudah melupakannya dan ingin membicarakan tentang hal lain?” batin Helena dengan segala pertanyaannya.

Namun, sayangnya itu semua tidak seperti yang Helena pikirkan. Meski visualnya tampak tenang, tapi tidak dengan pikirannya.

Sejak tadi pagi Willson tak henti-henti berperang dengan pikirannya sendiri. Ia mencaci maki, merutuki, dan mengeluarkan kata-kata umpatan untuk dirinya. Willson sungguh tak percaya bahwa dia telah merusak wanita ini hanya dalam satu malam.

Saat terjaga dari tidurnya, Willson mendapati kepalanya terasa sangat ngilu. Ia mendesis sambil memandangi kamar tempat ia berada. Tak butuh waktu lama untuk dirinya mengenali bahwa itu adalah kamar Dion yang dipenuhi dekorasi khas pengantin baru.

“Sialan, apa-apaan ini?” umpat Willson.

Lelaki itu sempat mengira ini semua hanyalah mimpi. Bagaimana bisa dia tidur di kamar adiknya sendiri? Tetapi dugaan tersebut langsung terpatahkan saat ia melihat ada seorang wanita di sampingnya dengan tubuh polos yang hanya diselimuti selembar kain tipis.

Willson tertegun. Dengan sedikit ragu ia menyentuh tubuh indah yang tengah membelakanginya dan mencoba untuk melihat wajah wanita itu.

“Helena,” seru batinnya. Dunia seakan runtuh dalam sekejap. Willson belum pernah melihat wanita tersebut sebelumnya. Tapi dia yakin bahwa ini adalah Helena, adik iparnya sendiri.

Dengan gesit Willson bangkit dan hendak meninggalkan ranjang pengantin itu. Tetapi di saat yang bersamaan, ia juga mendapati banyak bercak darah segar yang menghiasi sprei putih di bawahnya.

“Tidak. Ini semua omong kosong. Tidak mungkin aku dan dia melakukannya.” Willson terus menggelengkan kepala sambil tertawa getir.

Sekeras apa pun ia mencoba menyangkal, sekeras itu jugalah memorinya berusaha mengingat semua kejadian semalam. Setelah berpikir cukup lama, dia pun berhasil mengingatnya.

Kala itu, Willson yang tengah berada di bawah pengaruh alkohol mendapatkan kabar bahwa Dion baru saja mengacaukan proyek besar yang selama ini ia nantikan. Tanpa ba-bi-bu lagi, Willson segera bertolak ke rumah dengan maksud melabrak Dion meskipun dia tahu pasti lelaki itu tengah bersiap untuk malam pertamanya.

Willson mengetuk pintu kamar Dion dengan gentar dan ternyata bidadari cantiklah yang menyambutnya. Lalu entah bagaimana, dia merasa terdorong untuk menyentuh wanita itu. Dan bodohnya lagi, dia malah melupakan tujuan awalnya dan justru melakukan hal gila yang tidak seharusnya ia lakukan.

“Maaf.”

Deg.

Satu kata pembuka terlontar dari bibir tipisnya Willson. Lelaki itu bergumam dengan datar. Helena masih mengunci mulutnya. Ia menunggu apa yang akan Willson katakan selanjutnya.

“Maafkan aku karena sudah merusakmu.” Kali ini Willson menoleh dan menatap Helena. Suara pria itu terdengar dingin. Tapi sorot matanya seakan menunjukkan banyak sekali penyesalan.

“Seandainya semalam aku tidak mabuk, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Aku telah merenggut kehormatanmu, mengambil kesucianmu, dan juga merusak masa depanmu dengan Dion,” imbuhnya.

Helena beralih menatap kaca jendela dan melihat kemacetan kota di luar sana. Syukurlah Willson masih ingat dengan kejadian tersebut. Ia pikir lelaki itu telah melupakannya begitu saja.

“Semua sudah terjadi. Kita telah melakukannya dan tak ada gunanya menyesali. Lagipula ini bukan salah Kakak. Saat itu hanya akulah satu-satunya yang sadar. Dan aku jugalah yang ceroboh karena tidak memastikan terlebih dahulu apakah Kakak adalah Dion atau bukan,” seru Helena.

“Apakah Dion sudah mengetahuinya?”

“Belum,” singkat Helena.

“Kamu akan bicara jujur padanya?” Willson kembali bertanya.

“Tidak. Aku akan bilang bahwa aku pernah berhubungan dengan pria lain dan bukan Kakak.”

Willson mengernyit. “Dengan berkata seperti itu, kamu justru terkesan merendahkan dirimu sendiri. Dion bisa semakin kecewa padamu.”

“Mau aku menyebutkan nama Kakak atau tidak, dia akan tetap kecewa saat tahu aku sudah tidak suci lagi, ‘kan?”

Ucapan Helena cukup dapat diterima oleh akal sehatnya Willson.

“Jadi biarkan aku mengatasi masalahku sendiri. Kakak tidak perlu ikut campur lagi. Mulai sekarang bersikaplah seolah-olah tak pernah terjadi apa pun di antara kita,” gumam Helena.

Sungguh Helena tak mau Willson dibenci oleh keluarganya. Ia sadar ini tak sepenuhnya kesalahan Willson. Jadi biarlah dia menanggung semuanya sendirian. Namun, meskipun begitu Willson tetap tidak percaya dengan keputusan Helena. Di saat dia telah merusak kehidupannya, justru wanita itu masih berusaha menjaga nama baiknya di hadapan dunia.

“Dan ... apakah aku boleh meminta sesuatu pada Kakak?”

“Hm, katakanlah.”

“Tolong sembunyikan rahasia ini dari semua orang. Aku mohon.”

Willson diam sejenak. Dia ragu apakah menuruti keinginan wanita ini merupakan tindakan yang tepat? Tetapi melihat Helena memohon dengan begitu lirih, pada akhirnya ia mengangguk. Dirinya berjanji akan menutupi aib mereka demi kebaikan bersama.

Pulang dari pemotretan, Helena bergegas untuk segera mandi. Badannya terasa gerah dan lengket. Terlalu banyak aktivitas yang ia lakukan hari ini. Tapi meskipun begitu, setidaknya Helena masih memiliki kesibukan tersendiri tatkala suaminya sibuk di kantor.

Helena keluar hanya dengan tubuh polos berbalut handuk tebal. Wanita itu pikir Dion belum pulang ke rumah saat ini. Tapi siapa sangka kalau ternyata dugaannya salah. Ia menemukan suaminya yang tengah bersandar pada kepala ranjang dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Buru-buru Helena berusaha menutupi tubuhnya meskipun ia sudah memakai handuk. Entahlah, masih ada sedikit rasa malu yang membelenggu dalam diri wanita itu.

“Sialan. Ternyata dia jauh lebih menarik dari yang ku pikirkan,” batin Dion dengan pertahanan yang mulai goyah.

“Ma-maaf, aku lupa membawa pakaianku.” Helena buru-buru mengambil pakaiannya dan segera kembali menuju kamar mandi.

“Tunggu sebentar,” seru Dion.

Tiba-tiba Helena berhenti melangkah. Ia tak berani menatap Dion. Baginya pria itu sangat menakutkan. Nada bicaranya yang tinggi dan angkuh serta perlakuannya yang kasar tentu meninggalkan trauma tersendiri bagi Helena.

“Kemarilah,” perintahnya.

“Tapi, Mas. Aku masih dalam keadaan seperti ini.” Helena mencari alasan.

“Aku bilang kemari.”

Tak bisa menolak lagi, dengan berat ia mengambil langkah menuju suaminya.

“Cepat!!” pekik Dion. Pria itu kesal karena Helena terlalu lambat.

“I-iya, Mas.” Helena mempercepat langkahnya dan setelah posisi mereka cukup dekat, Dion langsung menariknya ke atas ranjang. Pria itu mengungkung Helena di bawah tubuhnya.

Saat Dion menatapnya dengan penuh gairah, Helena berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan itu. Dia sangat takut. Dia takut dengan suaminya sendiri.

Dion mencengkeram pipi Helena dengan keras, membuat wanita itu meringis kesakitan.

“Puaskan aku sekarang,” pinta Dion. Mata Helena langsung membeliak seketika. Seharusnya sejak tadi dia sudah tahu apa yang ingin Dion lakukan padanya dalam situasi seperti ini.

Helena menggelengkan kepala. Dia masih belum siap jika Dion mengetahui bahwa dirinya sudah tidak gadis lagi. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu setelah membuktikannya sendiri.

“Tidak, Mas. Ku mohon jangan.” Helena mulai berlinang air mata. Dia tidak bisa menahan rasa takutnya lagi.

“Kamu tidak menghormati suamimu?” Dion mengerutkan dahi, sangat tak suka dengan penolakan Helena.

“Bu-bukan begitu. Hanya saja aku—“

Dion mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan dari kalimat yang ingin dilontarkan wanita itu.

Namun, Helena tidak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya terlalu mendadak. Haruskah dia membiarkan Dion melakukannya dan menunjukkan secara langsung bahwa dirinya telah rusak?

“Kamu kenapa, Helena?!” Dion mendesaknya untuk kembali berbicara. Suara pria itu terdengar tidak sabar. Dia benci karena Helena terlalu lama melanjutkan perkataannya.

“Aku tidak ingin melakukannya, Mas.”

Dion menatap heran sebelum akhirnya tertawa sinis. “Tapi sayangnya aku tidak membutuhkan kesiapanmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status