Motaz akhirnya menyandang status sebagai suami dari wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya. Kematian Nicho, adik Motaz yang kemudian meninggalkan surat wasiat agar supaya Motaz menikahi Mutiara membuat pernikahan itu berlangsung bukan karena keinginannya. Motaz hanya menjalankan kewajibannya lantas setelah kewajiban itu ditunaikan, ia justru terlilit janji dari ibunya untuk selalu menjaga Mutiara.
Lihat lebih banyak"Ayo, lagi.." Nada bicara Mutiara hanpir seperti rengekan.Mutiara nyaris bergidik setelah mengatakan hal itu. Bibirnya terkatup kemudian. Tersentak sejenak atas keberanian mentitah suaminya yang sedang menggagahinya.Mutiara memejam karena malu luar biasa. Motaz sedang melemparkan senyuman lebar yang membuat Mutiara semakin salah tingkah.Tangannya pun terangkat menutup muka. Tetapi tak lama bertengger di sana. Karena Motaz dengan terampil menyingkirkannya."Jangan ditutup, Abang mau lihat. Kamu cantik dari atas sini." Katanya sambil kembali mengayun perlahan."Udah, ah.. malu.."Mutiara memejam tetapi desahannya terdengar jelas mengudara di kamar yang luas itu. Ia terlalu malu untuk melihat permainan itu. Malu dengan apa yang beberapa saat tadi ia mintakan pada sang suami. Mutiara merasa harganya dirinya lenyap, meski itu adalah permintaan pada suaminya sendiri.Ayunan itu sekaligus menghunjam semakin dalam. Motaz hampir gila saat kejantanan miliknya diapit rapat oleh celah Mutiara.
"Aku bisa mandi lagi.."Mutiara tidak bisa menjawab kecuali membalas pagutan yang intens dari suaminya itu.Bersandar pada pintu kamar mandi dengan tangan Motaz yang meraba lembut pinggangnya. Remasan lembut itu kalau dirasa-rasa seirama dengan pagutan serta lumatan yang sedang dilancarkan oleh Motaz.Satu tangan Motaz melingkupi leher Mutiara dengan ibu jari mengusap bawah dagu istrinya.Kecupan, lumatan dan pagutan itu nyatanya tak berhenti begitu saja hanya pada bibir Mutiara yang sepertinya sekarang telah menjadi favorit lelaki itu.Bibir mungil Mutiara persis seperti ungkapan dalam lagu yang sedang hits saat itu, "My heaven is on your lips".Surganya Motaz saat ini adalah pada bibir Mutiara yang selalu bisa menghipnotisnya baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan.Saat ini, ia tengah menikmati itu.Balasan atas pagutan yang diberikan Mutiara membuatnya semakin tersulut dan ingin melancarkan serangan lainnya.Kecupan di leher Mutiara yang membuat wanita itu mendongak pasrah na
Malam merayap dan lama-lama membingkai sebagian lapisan bumi. Membenamkan seluruh cahaya sang surya menuju kegelapan sempurna. Mutiara tak benar-benar mengikuti nasihat Dea yang mengakatakan agar membiarkan Motaz sendirian. Bagaimana bisa sementara dirinya didera rasa bersalah yang semakin membumbung tinggi menyesakkan dadanya? Ponselnya tak berhenti menghubungi Motaz sejak ia keluar dari rumah sakit sore tadi. Hasilnya, tidak ada satu panggilan pun yang tersambung kecuali hanya suara cantik operator yang menjengkelkan. "Please, Bang.. angkat!" Mutiara melirik jam dinding, sudah pukul 22.00 dan Motaz belum juga kembali. Sejak selesai menunaikan ibadah empat raka'atnya beberapa jam lalu, Mutiara tak berhenti mondar-mandir ruang tamu, teras, ruang keluarga dan kembali ke teras demi menanti kembalinya sang suami. Lalu Mutiara menatapi jam dinding lagi. Waktu berputar sangat lambat rasanya. Ia merasa sudah lama sekali berdiri dan mondar-mandir di rumah itu tetapi waktu hanya berlalu
Mutiara tersentak karena mimpinya. Sepertinya pun, ia tersadar bahwa ia mengigau. Kalimatnya memanggil-manggil Nicho dan memohon ampun pada mendiang Nicho yang ia temui di mimpi sepertinya terucap lantang dari mulutnya langsung di dunia nyata, bukan hanya dalam mimpi. Mutiara mengerjap ketika tak mendapati suaminya di sampingnya. Matanya segera mencari lelaki yang tadi malam menidurinya dengan bergairah begitu tersadar dari mimpinya. "Abang..." Panggilnya kemudian beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda aktifitas di dalamnya. Sebenarnya Mutiara terbangun tak lama setelah pintu depan ditutup oleh Motaz yang memutuskan berangkat kerja di pagi buta. "Abang.." Panggilnya sekali lagi sembari membuka pintu kamar. Kaki Mutiara melangkah menuju dapur di mana biasanya Motaz berada saat pagi. Namun pagi itu dapur kosong. Bahkan tidak ada jejak kegiatan apapun meski sekedar memanggang roti. Mutiara mendesah kasar dan meraup wajahnya. "Gimana kalau ternyata Abang deng
"Kamu nggak apa-apa dengan press conference yang dilakukan ayah?" Tanya Motaz begitu duduk di ranjang di samping Mutiara yang tengah bersandar di headboard sambil membaca buku. Ia memastikan lagi bahwa jawaban Mutiara siang tadi benar-benar jujur, bukan hanya untuk melegakan dirinya saja. Mutiara menegakkan tubuhnya. "Ibu sudah ngasih tau aku walaupun tidak secara langsung. Awalnya memang sedikit terganggu apalagi dengan semua cibiran orang, tetapi aku jadi tau siapa-siapa yang benar-benar tulus berteman denganku dan yang tidak." "Lalu?" "Lalu? Tidak ada lalu, yang tidak menyukaiku ya biarin aja, toh nggak akan mengurangi jatah oksigen yang kuhirup setiap hari 'kan. Aku sudah berlatih seperti itu sekian tahun, Bang. Aku tidak hidup untuk mereka, pun tidak butuh penilaian mereka atas diriku dan apa yang aku lakukan. Mereka tidak berkontribusi apapun atas hidupku. Jadi... jadi hanya perlu untuk tidak dihiraukan 'kan?" Ujar Mutiara tenang dengan gerakan menutup buku lalu meletakkan b
Beberapa jam sebelumnya...Di rumah sederhana itu ternyata membuat Mutiara banyak berpikir. Tentang hubungannya dengan mertua. Tentang pekerjaannya di rumah sakit sang mertua. Tentang hubungannya dengan suaminya yang merupakan direktur rumah sakit tempat ia bekerja.Terdengar seperti balas budi memang. Sangat, lagi pula Mutiara tak menampik perasaan itu.Rasa sayang yang muncul pada Nicho sekarang malah dipertanyakannya lagi. Benarkah dulu ia begitu cinta pada lelaki itu?Atau hanya karena simpati dan keinginan kuat untuk balas budi?Lalu bagaimana dengan Motaz, suaminya?Motaz pernah mengatakan bahwa, kecuali padanya ia tak boleh merasa harus membalas budi. Jadi apa?Tidak mungkin cinta ini hadir begitu cepat. Dan terlalu cepat jika dikatakan cinta. Kemudian, layakkah Mutiara menerima dan memberikan cinta itu pada seorang dorektur rumah sakit besar di ibu kota.Ah.. sekarang tidak lagi disebut ibu kota. Hanya tersisa Daerah Khusus saja.Mari kembali ke topik, Mutiara merenung soalnya
Pak Anggara sengaja memakai sisi kiri lobi rumah sakit yang kosong untuk menggelar press conference tersebut.Selain memang tempat itu biasa digunakan oleh para artis untuk menggelar press conference saat kelahiran bayi mereka. Juga beliau akan mengambil kesempatan itu justru untuk mempromosikan rumah sakitnya.Terdengar jahat sebab memanfaatkan situasi? Tidak..Karena apa yang terjadi belakangan ini hanya fitnah receh yang mampir di keluarga beliau.Dalam press conference itu, ada beberapa hal yang harus beliau luruskan dan menurutnya Motaz dan Mutiara tidak perlu terlibat akan hal ini.Karena ini menyangkut Nicholas, anak bungsunya."Terima kasih teman-teman wartawan dan kru yang telah menyempatkan untuk datang ke sini.. Saya berterima kasih karena semangat kalian ingin mengetahui bagaimana cerita keluarga saya." Pak Anggara mengerling pada istrinya, Ibu Katherine mengangguk samar dengan wajah datar."Seperti yang kalian ketahui, anak bungsu saya, mendiang Nicholas Putra Anggara yan
Benar kata Motaz, kru media berbondong-bondong mendatangi kediaman mereka, duduk di sepanjang tepian pagar sambil berbincang dan sesekali melongok ke arah rumah mereka. Mutiara sengaja menuju ke rumah itu, ia penasaran dan tadinya ingin mencoba menghadapi. Ia berhenti cukup jauh dari rumahnya melihat pemandangan kerumunan orang dengan kamera itu. Ia pikir ia akan mampu. Nyatanya, melihat kerumunan orang dengan segala jenis kamera yang digenggaman itu seketika membuat mental Mutiara amblas.Anjlok ke titik paling rendah rasanya.Mutiara yang memakai mobil milik Prof. Ardi segera memutar arah menuju kediaman pribadi miliknya sendiri. Sebuah rumah di tengah-tengah komplek yang sederhana tetapi nyaman.Rumah yang dibeli dengan hasil keringat, perjuangan dan tabungan selama di Jerman.Mutiara menghela napas lega ketika ia telah sampai di rumah itu. Menghela lega tetapi dengan perasaan kalut. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang, Mutiara kepikiran neneknya.Jika berita itu sampai terd
Mutiara termenung di ruangannya dengan ponsel masih menempel di telinga. Ia baru saja mendengar ucapan Motaz yang begitu menggetarkan hatinya dan membuat bulu kuduknya meremang saat itu juga.Dirinya kesulitan mencari kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang sekarang tengah dirasakannya. Kenapa ia begitu merasa berat dengan berita itu padahal harusnya ia sudah terbiasa?Mengapa ia merasa sesak seolah ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya?Mengapa ia merasa hampa dengan semuanya pagi ini?Namun, Motaz menjawab itu semua hanya dengan tiga kata. Dan sekarang Mutiara mengerti."I miss you too.." Lirihnya.Setelah itu, tangisnya kembali pecah sampai suara isak tangisnya memantul di seluruh ruangan itu.Benar sekali. Di antara tangisnya Mutiara mengangguk sepakat bahwa dirinya memang sedang merindukan laki-laki yang tanpa sadar telah memberinya kenyamanan dan rasa aman itu."Padahal baru beberapa jam tapi rasanya sudah sekangen ini..." Katanya sambil membasuh muka di toilet di ruan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.