Lima jam sebelumnya.
Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia?Dokter yang bekerja dimana dia?Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya.Klise dan naif kedengarannya. Tapi hatinya mengatakan demikian. Maka saat Nicho memintanya untuk menikahi pacarnya bernama Ara itu, hatinya sungguh tidak baik-baik saja. Tapi ia juga tak bisa menolak permintaan Nicho.Bel rumah berdentang nyaring. Dokter Farhan yang ia minta datang beberapa saat lalu akhirnya tiba. Motaz berdiri dari kursi rotan itu dan menyambut Tak lama kemudian, Dokter Farhan tiba. Dokter Farhan yang menangani penyakit Nicho selama ini membawa serta peralatan medisnya dan menuju ke kamar Nicho ditemani oleh Bu Katherine."Apa Nicho hari ini mengalami kejang?" Dokter Farhan memeriksa pupil mata Nicho dan setelahnya mengecek tekanan darahnya."Tidak, Dok." Jawab Bu Katherine."Saya akan pasangkan infus untuk membantu memulihkan tenaganya. Tekanan darahnya sangat rendah. Saturasi oksigennya juga tidak stabil. Saya sarankan ibu memanggil satu perawat kemari untuk memantau kondisi Nicho. Atau akan lebih baik dibawa ke rumah sakit karena peralatan di sana lebih memadai." Ucap sang dokter.Bu Katherine mengangguk mengerti, tapi.."Nich, nggak ma-u, Bu.." Nicho yang baru membuka matanya menyahut dengan suara sangat lemah."Di rumah sakit akan banyak yang mengawasimu, Nicho. Dokter yang jaga pasti lebih mudah memeriksa dan melakukan yang terbaik untukmu." Bujuk Bu Katherine memandangi wajah Nicho yang semakin pucat.Nicho menggeleng lemah. Ia merasakan kakinya mulai dingin tapi telapak tangannya berkeringat.Napas Nicho sempat tersengal sejenak karena saturasi oksigennya yang naik turun tak stabil. Sebenarnya Dokter Farhan bisa saja membawa Nicho segera ke rumah sakit, tapi Nicho terus menerus menolaknya.Motaz muncul di ambang pintu kamar itu dengan wajah datar.Lalu berjalan mendekati ranjang tempat adiknya berbaring. Tangan Nicho yang berkeringat digenggamnya sangat erat."Nich.. Dengar.. Aku janji akan menikahi Ara. Kamu bisa memegang janji Abang. Kamu percaya padaku, kan? Aku akan menikahinya tapi kamu harus ke rumah sakit sekarang." Ucap Motaz datar tapi cukup tegas."Bang..""Kamu mau aku menikahi Ara, kan? Baik! Akan aku lakukan, tapi kamu harus ke rumah sakit sekarang." Ulang Motaz sekali lagi. Sekaligus meyakinkan pada Nicho.Apa Motaz sungguh-sungguh memegang janjinya?Ya. Dia sudah memutuskannya. Bagaimana nanti soal wanita itu? Entahlah. Yang Motaz pikirkan saat ini adalah Nicho harus mendapatkan perawatan segera dan sembuh.Agar...Meskipun dia telah menjanjikan, namun ia tetap berharap adiknya yang akan menikahi pacarnya sendiri. Bukan dirinya. Sudah seharusnya begitu 'kan?"Saya akan panggilkan seseorang untuk membawa ambulance kemari." Ujar Dokter Farhan."Ja-ngan di rum-ah sakit ayah." Pinta Nicho yang sangat keras kepala itu. Ia takut kondisinya akan diketahui oleh Mutiara kalau ia tetap berada di rumah sakit itu milik ayahnya itu."Di sana fasilitasnya lebih lengkap. Pengobatannya juga lebih baik. Kita punya dokter kompeten yang seharusnya tak boleh disia-siakan." Tegas Motaz."Bawakan ambulance kemari, Dok." Pinta Motaz pada Dokte Farhan."Baik, Pak."Motaz mengeluarkan ponselnya bersamaan dengan Dokter Farhan juga menghubungi supir ambulance, Motaz menghubungi staff di rumah sakitnya."Siapkan satu kamar VVIP sekarang juga."Ambulance itu tiba lima belas menit kemudian. Dengan infus dan selang oksigen yang terpasang di hidung, Nicho di bawa ke rumah sakit ayahnya. Tempat Mutiara dan Motaz bekerja."Ibu di rumah, nunggu ayah. Biar Motaz yang menemani Nicho di ambulance. Ibu bisa nyusul nanti bersama ayah.""Kapan ayahmu sampai?" Tanya Bu Katherine dengan kedua tangan tergenggam di depan dada. Perasaannya benar-benar tak enak."Ayah mengirim pesan tadi saat boarding pukul 11.30. Mungkin tiba satu jam lagi." Jawab Motaz.Ayahnya sedang melakukan perjalanan bisnis untuk pembangunan rumah sakit baru di Bali kemarin lusa. Saat ini mungkin beliau masih di langit-langit Yogyakarta menuju Jakarta."Berangkatlah. Jaga adikmu, Motaz." Pesan Bu Katherine.Beliau terus memandangi ambulance itu dari Motaz naik ke dalamnya, sampai ambulance itu lenyap di balik pagar tinggi rumahnya. Hatinya cemas. Kesedihan yang bertubi-tubi seketika menderanya.Kaki beliau seketika ikut lemah seiring perginya ambulance itu."Kau harus bertahan, Nak." Ratapnya.Tiba-tiba beliau teringat pada Ara. Pasti Ara masih berada di ruang operasi. Mustahil jika menghubunginya sekarang.Pak Anggara, suami Ibu Khaterine, ayah dari Motaz dan Nicho tiba di rumah dua jam kemudian. Kondisi jalanan yang macet parah saat sore hari membuat beliau tiba lebih lambat dengan perasaan campur aduk.Ibu Katherine menangis tersedu-sedu saat menelpon tadi. Kondisi Nicho semakin lemah, dan tanda-tanda itu rasanya sudah semakin dekat.Saat mereka tiba di rumah sakit, tubuh Nicho sudah terpasang bermacam-macam alat. Bu Katherine merangsek ke sisi kiri brankar Nicho."Ibu.. Ayah.. Nicho kritis. Dia sudah tidak sadarkan diri sejak tiba di rumah sakit." Ucap Motaz penuh penyesalan. Ia berusaha tetap berada di samping adiknya dan mengikuti perkembangan demi perkembangan kondisi Nicho."Kenapa kamu nggak mengabari Ibu sejak tadi?" Teriak Bu Katherine panik.Motaz tak menjawab apapun. Reaksi itu sudah bisa diprediksinya dan normal. Dia pasti akan begitu jika berada di posisi ibunya.Detik demi detik kemudian berganti menit, lalu jam demi jam berlalu Bu Katherine terus merapalkan doa sambil menggenggam tangan anak bungsunya.Motaz dan ayahnya dudukdi sofa dekat brankar juga sibuk dengan doa masing-masing.Lalu..Bu Katherine terperanjat saat merasakan tangan Nicho bergerak."Nich.. Kamu bangun, Nak.."Motaz dan Pak Anggara serentak berdiri mendekati brankar."Ra.. Ara.." Suara Nicho yang lirih semakin tidak jelas karena teredam ventilator oksigen. Matanya mengerjap tipis.Bu Katherine mendekatkan telinganya ke dekat mulut Nicho."Ara.." Lirih Nicho."Ara? Ibu akan panggil Ara kemari.." Sahutnya lembut di dekat telinga Nicho.Ibu Katherine mengambil ponselnya dan kembali menghubungi Mutiara. Namun, nihil. Mutiara mungkin saja masih berada di ruang operasi. Lalu beliau mengirimkan pesan tempat Nicho dirawat sekarang.Beliau melirik jam dinding besar di kamar itu. Masih pukul 17.00.Setelah mengirimkan pesan itu, Ibu Katherine kembali ke dekat Nicho dan membisikinya, "Ara masih di ruang operasi, Nich.. Tunggulah, Nak. Ara pasti datang.." Air mata Ibu Katherine sudah berurai banyak sekali.Melihat napas Nicho yang tersengal-sengal membuat dadanya sakit dan juga ikut kesulitan bernapas.Jam demi jam berganti.Nicho kembali memejamkan matanya, lalu mengerjap lemah saat merasakan tangan kirinya digenggam oleh tangan hangat dan suara tangisan."Ini suara Ara.." Ucapnya tapi tak mengeluarkan suara.---"Selamat tinggal, Sayang..""Aku titip Mutiara, Bang.."Kemudian suara mesin ekokardiograf berdenging nyaring menunjukkan garis lurus. Detak jantungnya sudah hilang.Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka
Motaz memperlambat gerakannya tanpa sadar. Mematut diri di cermin berlama-lama di sana. Menyimpulkan dasi yang senada dengan warna jasnya. Kali itu ia mengenakan jas berwarna cokelat tua. Kakinya melangkah sedikit canggung keluar dari kamarnya. Melirik tangga yang nampak sepi. Memangnya sejak kapan tangga itu mampu mengeluarkan suara-suara sendiri dan ramai? Motaz meletakkan clutch-nya di atas meja makan, kemudian menyiapkan sarapan. Hanya dua helai roti dimasukkan dalam toaster, 30 detik kemudian toaster berdenting lalu rotinya menyembul keluar. Motaz meletakkan masing-masing di piring kecil. Satu untuknya dan satu lagi untuk Mutiara. Lantas menuangkan susu hangat ke dalam gelas. Satu gelas lagi juga untuk Mutiara. Sejujurnya, ia sempat berhenti sejenak termenung dengan apa yang ia lakukan. Kenapa dia menyiapkan sarapan untuk Mutiara? Lalu otaknya berputar cepat mencari alasan, dia harus menjaga Mutiara 'kan? Dia hanya melakukan kebaikan dari seorang manusia ke manusia lain. Ti