Bulik Nunik sampai harus menampar pipinya sendiri ketika melihat Mutiara duduk di sampingnya. Beliau mengingat-ingat lagi, sudah berapa lama? Gadis kecil remaja yang dulu sangat kurus dan begit menyedihkan dilihat sekarang sudah tumbuh tinggi dan ayu.Mutiara sekarang benar-benar berada di kampung ini lagi. Hadir di sini di depan jenazah sang nenek yang sesungguhnya begitu merinduinya. Begitu menyayanginya sampai rela menahan sakitnya rindu karena tak ingin Mutiara semakin banyak tertoreh luka.Bulek Nunik lupa memperhatikan tampilan Mutiara yang berantakan. Apa karena dulu Mutiara memang seperti itu kesehariannya?Tentu saja tidak. Tidak. Bulik Nunik hanya terpaku seolah berada di alam mimpi. Duka, lara dan rasa terkejut berkumpul menjadi satu malam itu.Rinai hujan di laur sudah tak begitu deras. Semua orang juga dengan cepat berkumpul karena begitulah kehidupan desa."Bu.. Aku ambilin baju buat Mbak Muti dulu, ya.. Aku lupa tadi." Bisik Ayu di belakang ibunya."Hmm? Iya..iya, Nduk.
Sejak awal semuanya memang terasa begitu janggal di kepala Motaz. Rumah sakit yang sekarang dalam tahap pembangunan itu berada di tangan seorang ahli bisnis yang seharusnya mengerti benar apa itu managemen resiko.Beliau sejak awal memaksa ingin bergabung karena menyodorkan keahliannya itu. Pun Pak Ali -orang tua Motaz- nyatanya menerima dalam diam meski Motaz curiga ayahnya memiliki rencana lain.Orang itu adalah orang tua Mia. Dokter Mia yang pernah ia pecat karena ketidak kompetenannya menjalankan amanah sebaga dokter."Aku punya dugaan, tapi semoga dugaanku ini benar. Aku sudah lama menyelidikinya tapi bukti yang kutemukan belum cukup untuk mengadili beliau." Ucap Motaz membolak-balik laporan keuangan yang kacau sekali di matanya.Tatapannya memang berada di atas kertas yang sedang dibolak-balikkannya. Tapi pikiran dan hatinya seolah ditarik menjauh dari sana.Motaz merasa dadanya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas."Boleh minta isiin cangkir ini lagi?""Kamu udah dua ge
"Mobilnya sudah siap, Pak Lan?" Tanya Pak Ali pada supirnya sebegitu memutus panggilannya dengan Motaz. "Sudah siap, Pak." "Apa tidak sebaiknya pakai pesawat saja?" Tanya Ibu Katherine pada suaminya. Ia setengah khawtair dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh. Mereka sudah lama sekali tidak melakukan perjalanan darat untuk durasi waktu lebih dari lima jam. "Pesawat menuju Solo biasanya terlalu banyak delay dan berputar-putar. Semakin lama. Dari bandara Solo ke kampung Mutiara masih sekitar dua sampai tiga jam lagi. Lebih cepat efisien pakai mobil, kalau waktunya pas, bisa sekalian jemput Motaz di Bandara Solo." Terang Pak Ali memegang bahu kanan istrinya. Nampak sekali gurat kesedihan dan penyesalan pada laki-laki sepuh itu. Pak Ali menyesali situasi ini karena Motaz sedang tidak bisa diandalkan. Urusan rumah sakit dan kepemimpinannya terkadang bahkan seringkali membuat Motaz terhanyut hingga mengabaikan urusan lainnya yang mungkin lebih darurat. Karena penyesalannya
Puluhan tahun bergabung dan menjadi sekretaris pribadi keluarga Pak Ali juga sekaligus sebagai teman bermain kedua anaknya, Aini tak pernah sekalipun melihat Motaz selinglung, sekosong dan sehampa itu.Aini tak tahu benar apa yang dirasakan Motaz, bisa jadi karena rasa bersalah pada Mutiara karena tidak ada disana ketika istrinya sangat membutuhkannya. Bisa jadi karena dirinya merasa menjadi tak berguna disaat seseorang yang sangatd dekat dengannya disaat-saat genting.Keduanya terdengar memang sama saja. Tapi yang kedua, mungkin perasaan itu yang lebih besar dirasakan Motaz sekarang. Ia yang tak pernah setengah-setengah membantu orang dan selalu memberikan yang terbaik bagi orang terdekatnya, berusaha keras membuat orang terdekatnya bahagia namun di situasi seperti ini ia sama sekali tidak bisa diandalkan. "Nenek dari istri Pak Motaz meninggal dunia semalam, Bapak-bapak. Saya mohon keleluasaan hati Bapak-bapak sekalian untuk ikut mendoakan. Namanya Nek Sugi." Ucap Aini di depan par
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai." Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo. "SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang. Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'. Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri? Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya. Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara beke
Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena
Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di